9. Rindu Dendam

52.4K 1.7K 106
                                    

Aku terbangun oleh sinar matahari yang menembus kisi-kisi gorden ruangan santai di Apartemen, sepenuhnya aku sadar kalau ini akhir pekan dan itu artinya adalah hari bermalas-malasanku sudah datang sehingga aku tidak perlu peduli dengan urusan kantor.

Lagipula atasanku tercinta, Hegel, ada disampingku. Tertidur nyenyak sambil memeluk pinggangku dengan erat. Dengkuran halusnya terdengar bagai deru nafas kucing yang mengusik kenyamanan tidurku nyaris semalam suntuk.

Aku memberengut kesal. Harusnya aku tahu dia pasti akan merusak akhir pekanku dengan cara ini, aku tidak pernah berencana menghabiskan sepanjang malam dengan menonton film Horor Thailand favoritnya dan berakhir dengan mendapat nuansa pagi ala hubby wifey begini.

Tapi mungkin aku sudah gila karena tidak menendangnya dari sampingku dan malah –dengan sangat berhati-hati- membebaskan diri dari pelukannya tanpa bersuara sedikitpun, kemudian aku menuju pantry untuk membuatkan Hegel sarapan pagi sambil memaki-maki diri sendiri.

‘Oh! betapa mulianya kau Seruni!!’

........................................................

Satu bulan yang lalu, di Jepang, aku hampir mati konyol karena kaget dengan candaannya yang tidak lucu itu.

Pengakuan tentang dirinya yang sakit parah pada awalnya membuat aku hanya mampu menatap terpaku dengan bibir terbuka separuh. Kemudian fase penolakan yang sangat khas aku terjadi.

“Itu tidak mungkin!!” aku berseru dengan nafas sesak, seketika aku merasakan seluruh tubuhku gemetar dengan hebat.

“Mana mungkin...Hegel, tidak mungkin kau...” suaraku terhenti, lalu berubah jadi isak tangisan yang memekakkan seluruh ruangan dikamar tempat kami menginap.

Aku terus menangis sambil memukul-mukul dadanya dengan kalap. Waktu itu yang ada dipikiranku cuma satu. Dari sekian banyak orang kenapa harus Hegel yang sakit, kenapa dia.

Semacam  perasaan tidak rela dan rasa takut membuatku tidak menghiraukannya yang memanggil-manggil namaku, aku sibuk sendiri dengan tangis dan berbagai pikiran buruk yang merasuki kepala.

Aku menangis dan menangis bagai orang gila, hanya berhenti setelah Hegel –dengan cara paksa- mencium bibirku dengan satu lumatan panjang, posesif dan kasar.

Itu syok terapi tahap dua setelah pengakuannya, tapi ajaibnyatangisku berhenti begitu saja dan aku kembali memandang Hegel seperti diawal, melotot dengan mata kabur oleh hujan airmata dan bibir terbuka kaget.

“Maaf” katanya sambil menatapku cemas “Aku seharusnya tidak melakukan ini tapi aku tidak tahu bagaimana caranya membuatmu diam Seruni.”

“Aku tidak ingin diam” aku berkata kesal sambil kembali sesenggukan “Aku masih ingin menangis.”

“Kumohon!” serunya panik “Jangan lagi, tadi itu aku hanya bercanda oke!”

Badless LoveWhere stories live. Discover now