12. Flying Butterflies

63.3K 1.6K 109
                                    

Saran saya sih baca ini saat santai ya, sambil selonjoran, kipas-kipas trus diiringi musik romantis. Kalo enggak sih jangan salahkan saya kalo pas selesai baca rasanya kayak dapet ‘He-eh’ yang tertunda ehe he he...

Tidak pernah aku setakut ini sebelumnya. Yang paling konyol adalah karena sumber ketakutan hanyalah dua kata perpisahan sederhana yang seharusnya bisa dengan mudah aku kirimkan untuk pria yang seumur hidup telah menjadi segalanya untukku.

Ibu jariku bergerak ragu untuk menekan tombol kirim di atas layar yang menunggu untuk disentuh.

Perlukah? Hatiku bertanya.

Dan aku tidak tahu apakah aku memang permanen meninggalkannya atau masih akan kembali lagi.

Untuk satu alasan aku merasa kalau pilihan pertama adalah suatu hal yang tidak masuk di akal. Meninggalkan Hegel selamanya adalah hal yang tak terbayangkan.

Kugelengkan kepala perlahan sambil tertawa kecut, bahkan untuk mengirim dua kata itu saja aku butuh banyak waktu untuk memikirkannya. Kuhela nafas panjang dengan kesal. Kesal karena menyadari betapa akhir-akhir ini aku telah kehilangan jati diriku.

Tuhan! Bagaimana ini bisa terjadi. Aku membisikkan itu didalam hati saat semua kegilaan dan kebodohan yang kulakukan bagai diputar ulang oleh ingatan. Aku tidak dapat membayangkan kecanggungan macam apa jika besok masih harus bertemu dengan Hegel.

Kepalaku menggeleng sambil bergerak mendongak, menatap langit-langit kamar. Dari luar ruangan aku bisa mendengar suara Reizen Ashida sedang berbicara di ponsel, entah dengan siapa.

Aku harus cepat mengambil keputusan, pikirku resah. Dan jika aku masih belum bisa memutuskan apa yang harus kulakukan maka lebih baik kalau aku berdiam diri dan tidak melakukan apapun.

Kepalaku tertunduk menatap benda di tanganku. Aku menghela nafas panjang sekali lagi, sebelum dengan satu kali tekan saja menonaktifkan tablet itu dan kemudian kulemparkan ke atas tempat tidur.

Kakiku melangkah menuju pintu kamar sambil menyeret travel bag hijau bersamaku. Aku keluar dari kamar dan menghampiri Reizen Ashida yang baru saja menyelesaikan percakapannya di ponsel.

“Runee-chan,” panggilnya “kau sudah siap?”

Aku tersenyum dan mengangguk padanya, menerima uluran tangannya yang tertuju untukku. Sementara sebelah tangannya yang bebas dia gunakan untuk membelai sisi wajahku dan turun sampai keleher.

“Aku suka gaunmu,” bisiknya sambil menatap tube dress batik bunga-bunga, berwarna biru laguna yang aku kenakan. Ini masih shubuh, tapi kami pasti akan tiba di Bangkok pagi hari jadi akulebih memilih langsung memakai gaun santaiku demi alasan kepraktisan.

Aku nyengir sekilas “Baju pantai,” gumamku sambil menelusuri bahan katun yang kukenakan, merasa nyaman karena kesejukannya “bukankah Thailand artinya pantai?” tanyaku.

Sekilas Ninjaku menatap ragu, “Uhm,” gumamnya seraya memasang tampang bersalah “aku tidak yakin, kuharap kau tidak akan terlalu kecewa nantinya Runee, chan.”

Kecewa! Saat aku bersamanya? Oh, aku sangat ingin tahu kapan itu terjadi.

Aku mengangkat separuh alisku saat menatapnya dengan lebih intens, “Bahkan jika aku hanya bisa duduk disebelahmu dalam sebuah meeting penting yang memakan waktu seumur hidup, maka aku akan tetap bersuka cita dengan itu.”aku berkata tak kenal malu.

Dan Ninjaku balas tersenyum, “Tentu aku tidak akan membiarkan kita melakukan yang seperti yang kau pikirkan, Runee-chan. Kita harus punya waktu lebih banyak untuk berdua, akan aku pikirkan caranya setibanya kita di Bangkok nanti.”

Badless LoveWhere stories live. Discover now