16. (b) Au revoir

45.6K 1.6K 329
                                    

“Ah ya ampun!” aku mengatakan itu berkali-kali untuk menarik perhatian atau—sedikit saja—belas kasih Reizen padaku. Kami beradadi private room Jetquay  Commercially Important People-nya terminal Changi. Seperti yang dikatakannya padaku, Zen tak bisa langsung terbang ke Macau. Dia harus memastikan beberapa hal sudah siap sebelum kembali terbang. Sedang aku tak bisa pergi ke rumah sakit tanpa mengenakan celana dalam. jadi pilihan sementara setelah melewati proses transit a la VVIP yang benar-benar membuatku merasa bagai sedang mengencani Putra Mahkota Jepang adalah berdiam sampai kami menyelesaikan urusan kami masing-masing.

            Reizen mengabaikanku sepenuhnya dengan terus saja bersibuk ria dengan ponselnya. Ketika tidak ada tanda-tanda Zen akan peduli dengan kondisi selangkanganku aku mendesis muak dan berdiri hendak menuju ke toilet. Aku bersumpah melihat Zen melirikku sedikit lebih lama, alisnya terangkat kemudian dia lanjut berbicara dengan seseorang yang sepertinya adalah Pangeran Tien—terbukti dari percakapan yang sepenuhnya berlangsung dalam bahasa Inggris. Aku meraih clutch-ku dengan sebal, Tanaka-san langsung menghampiri saat aku beranjak menuju ke pintu keluar lounge.

            “Runee-chan ...”

            “Aku tahu,” semburku sebelum ia mulai menceramahiku agar aku menjaga sikap dengan tidak berusaha kabur dari Zen. “Tapi aku butuh pakaian dalam—kau tau—ini situasi darurat di ...,” aku menelan ludah sebelum nekad melanjutkan kalimatku, “diantara kedua kakiku.”

            “Maaf Runee-chan?” Tanaka-san terlihat bingung, sementara suara tawa bergetar seseorang di belakangku terdengar luar biasa menyebalkan.

            “Thanks, sudah berbaik hati menolong,” kecamku, saat tahu pria menyebalkan itu sudah berada didekatku. 

“Tanaka-san, tolong hubungi private service, katakan jika kita butuh pakaian dalam wanita.”

“Pakaian dalam wanita?” Tanaka-san jelas terperangah mendengar permintaan itu.

“Bukan untuk kalian,” ketusku menahan malu. “Tapi untukku.”

Reizen merespon rasa jengahku dengan tertawa, sementara perintah singkatnya langsung diterima oleh kaki tangannya dengan sikap penuh rasa hormat seakan-akan situasi darurat selangkanganku sama pentingnya dengan situasi darurat pasca bocornya reaktor nuklir di Fukushima. “Kalau saja kau bisa sabar sedikit aku sendiri yang akan mengantarmu berbelanja,” gumamnya seakan tampak menyesal.

Aku berdecak tak percaya, “Tidak perlu, tapi terima kasih. Kau dan aku berbelanja pakaian dalam kurasa adalah satu masalah besar, bisa dipastikan aku tak akan pernah mengenakan celana dalam lagi setelah itu.”

Zen merengkuh pinggangku dan membuatku bergerak sampai menghadapnya, dengan satu sentakan kuat ia membawa tubuhku-dari dada sampai ke perut bagian bawah menempel ketat di tubuhnya sendiri. Mataku membelalak terkejut saat merasakan sesuatu yang keras mendesakku tepat di perut dari balik celana yang ia kenakan.“Satu-satunya masalah saat ini adalah ... kupikir tidak memiliki pakaian dalam adalah yang paling cocok untukmu.”

“Enggg ...,” suaraku bergetar entah karena apa. Tapi yang kutahu aku sangat ingin menggulingkan tubuhnya yang kekar ke lantai untuk kutunggangi. “kau keras?”

“Ya.” Zen tersenyum seraya menempelkan dahinya ke dahiku.

“Tapi kita ...”

Zen terkekeh kecil, saat melakukannya matanya menghilang dan ia memang jadi terlihat lebih ‘Jepang’ ketimbang saat matanya terbuka dan menatap sekeliling dengan tatapan falcon-nya yang jelas penuh tipu daya. “Kau tahu Runee-chan, melihatmu menarik nafas saja bisa membuatku sangat terangsang.”

Badless LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang