14. (b) Kehilangan Besar

36.7K 1.3K 49
                                    

Entah sudah berapa lama aku menangis tanpa suara di antara semak-semak itu saat akhirnya aku mulai bisa berpikir jernih dan mulai merindukan kenyamanan menangis di atas ranjang berlapis selimut tebal yang sejuk. Pelan-pelan aku menghapus mata dan pipi dengan punggung tanganku.

Tanaka-san menyodorkan saputangannya. Aku menatap benda itu kemudian memutuskan untuk menerimanya. “Meskipun kau musuh, kurasa aku tetap harus berterimakasih,” pelan aku bicara.

“Aku tidak ingin kau masukkan dalam daftar musuhmu Runee-chan.” Jawaban itu membuatku beku.

Itu bukan suara Tanaka-san, itu suara Reizen. Aku mendongakkan wajah dan menemukannya membungkuk tepat di depanku. Wajah kami bahkan hanya terpisah beberapa sentimeter saja.

Dari mataku yang kabur bisa kulihat matanya menyorotkan penyesalan. Tapi aku terlalu marah untuk sudi bertanya.

“Kita perlu bicara,” Reizen menyambung kalimatnya, “jelas sekali kita butuh itu, Runee-chan.”

Aku sedang ingin jadi patung, makanya aku hanya membisu dan tidak mengatakan apapun sebagai reaksi, aku terlalu lelah sekarang. Juga mengantuk.

Kubiarkan saja ketika Reizen menarikku dari semak-semak Peoni, membantuku berdiri dan membersihkan daun dan kelopak bunga yang lengket di pakaian.

“Aku akan membiarkan kau pulang ke negaramu Runee … “

Kepalaku menengadah cepat mencari wajahnya, berusaha menemukan kebohongannya untuk kata-katanya barusan, ketika tidak menemukannya aku berpaling dari mata yang selalu melimpahiku dengan pemujaan dan cinta itu seraya tertawa sinis.

“Apa alasan di balik perubahanmu Zen-sama?” Tanyaku dingin. “Kau tidak memberiku ini dengan cuma-cuma-kan?”

Helaan nafasnya terdengar frustasi, aku tahu dia tersinggung atau malah marah dengan tuduhanku barusan. Tapi aku sedang tidak ingin bersikap lunak pada Tuan Ninja.

“Tidak,” desahnya datar, “kita sedang berkompromi Runee-chan, tapi jangan mempersulit ini dengan bersikap dingin padaku, aku tidak suka.”

Aku tertawa sinis sambil menatapnya, “Setelah semuanya kau minta aku bersikap toleran … tidakkah kau tahu aku masih sangat marah? Ya! aku memang wanita sumbu dinamit, jadi jangan coba-coba menyulut amarahku Tuan Ashida yang terhormat.”

“Runee-chan …” selanya datar, “kumohon dengarkan aku dulu …”

“TIDAK!!” jeritku marah, “aku tidak akan melakukan apapun perintahmu.” Kudorong dadanya dengan kesal sambil berusaha berdiri dari posisiku.

“Ini bukan perintah!” serunya, “aku meminta, Runee-chan … bersikaplah kooperatif …”

“Brengsek, bahkan pilihan katamu benar-benar membuatku merasa bagai tawanan perang.” Aku menyeka ingus dengan punggung tanganku, lalu mengelapnya dengan sapu tangan yang diberi oleh Tuan Ninjaku tadi. Konyol sekali sebenarnya, tapi aku benar-benar kehilangan kewarasanku sekarang.

Kedua tanganku mencengkram rambutku keras, kepalaku pusing akibat terlalu banyak menangis, aku lelah secara fisik dan mental, dan masalahku bahkan masih jauh dari kata selesai.

Aku baru saja hendak melangkah saat tarikan keras ditanganku membuatku kembali berbalik menghadap Reizen.

“Kapan kau bisa belajar untuk lebih peka dengan keinginan orang lain Runee-chan?” Bisiknya geram, kilat kemarahan pada matanya membuat lidahku kelu seketika. “Kapan kau bisa belajar bertoleransi dan memahami apa yang ingin dilakukan orang lain untukmu?” Suara Reizen terdengar kasar oleh riak emosi tertahan, aku terkesiap saat baru menyadari jika tangannya sudah tidak lagi mencengkram pergelangan tanganku. Jemarinya membelai halus lipatan kerah leher cowl v neck pada  gaun rajutan berlengan lebar yang aku kenakan.

Badless LoveWhere stories live. Discover now