6. Ashida Effect

65.8K 2.2K 94
                                    

Berbeda dengan kemoderenan yang mampu berbaur dengan ketradisional khas Jepang di Tokyo, aku mendapati kalauYokohama, khususnya distrik Minato Mirai 21 justru memiliki nuansa Internasional lebih kental.

Setiap bangunan gedung disini membuatku merasa bagai tidak sedang berada di Jepang saja, jajaran rumah-rumah bergaya Eropa maupun taman-taman yang merupakan kolaborasi taman bergaya Jepang dengan taman Eropa sebagai bentuk representasi terbaik dari taman pada era Taisho. Ini tidak mengherankan karena Yokohama adalah pelabuhan pertama yang dibuka pada masa Restorasi setelah Kaisar Meiji menghapuskan politik isolasi terhadap negaranya.

Dan disinilah aku berada sekarang, didalam lift tercepat nomor dua didunia yang sedang merangsek naik menuju kelantai lima puluh empat, tempat dimana kamar hotel tempat aku dan Hegel menginap dan Yokohama Business Summit akan dilaksanakan.

“Kita sekamar, sayang” dia mengacungkan card keynya tepat dihadapanku. Sekamar dengan Hegel seharusnya tidak akan menjadi masalah –kalau saja, dia tidak pernah melamarku.

Aku mengernyitkan dahi sekilas “kenapa itu kini terdengar seperti ajakan mesum?” tukasku terheran-heran sendiri, dan itu membuat Hegel tergelak pelan.
“Maunya aku sih memang gitu” sambutnya tanpa ragu “tapi aku janji enggak bakalan macem-macem sama kamu, entar kamu tinggalin aku bisa berabe akibatnya” dia berkata sambil tersenyum kecut.

Aku tahu itu benar. Meski bertubuh tinggi, atletis, serta jago taekwondo, Hegel tetap tidak berhasil mengatasi phobia tempat sempit dan sepi yang dipicu oleh peristiwa penculikan saat dia masih berusia tujuh tahun.

Ketika itu aku sendiri yang menyaksikan saat dia digeret paksa masuk kedalam mobil sang penculik. Aku tidak pernah tahu detail apa saja yang dilakukan oleh para penculik terhadap Hegel, yang jelas ketika polisi berhasil membebaskannya aku jadi sering melihat Hegel sesak nafas dan nyaris pingsan setiap habis keluar dari kamar mandi. Dan aku yakin itu enggak ada hubungannya dengan aroma tidak sedap yang muncul setiap usai bab.

Setiap kali ingat itu aku hanya bisa mengumpat kesal dan terpaksa harus memberi pemakluman luar biasa untuk Hegel, yang kubisa kemudian hanyalah menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan sama panjangnya hhhhhhh…..fiiuuuuuuuhhh….

“Yeah! aku masih memegang sumpahmu untuk tidak memanfaatkanku secara seksual dalam bentuk apapun dan…jika itu kau langgar, dengan senang hati aku akan hengkang selamanya dari sisimu. Ingat itu ya! SE-LA-MA-NYA” aku memberi penekanan diakhir kalimatku.

Hegel mengangkat bahunya sekilas “sepertinya memang begitu” nada menggerutu tersirat dalam ucapannya “makanya kita cepetan nikah yok Run..”
Aku hanya membalas kalimatnya dengan pelototan tersadis.
“Enggak!” ketusku cepat “:sebelum aku yakin aku juga cinta sama kamu tidak akan pernah ada pernikahan diantara kita, oke”

Dia mengangkat alisnya sambil tersenyum, terlihat sangat terpaksa “terserah kamu deh Run..”
…………………..


Yokohama Business Summit dibuka pada sore yang sama, acara pembukaan tak lebih dari sekedar perkenalan dan keakraban antara delegasi tamu dan tuan rumah. Menurut Hegel diacara yang sama dia berhasil mencitrakan dirinya sebagai pengusaha muda yang menawarkan kesempatan kerja sama paling potensial di Indonesia lewat lahan tambang batubara yang masih butuh investor besar untuk digarap.

Aku sedang menikmati secangkir kopi ketika seseorang duduk disampingku dan menyapaku dengan ramah, dia adalah pegawai kedutaan yang sempat membuat Hegel ingin pulang tempo hari.
“Hai..” sapanya hangat, dan aku melihat ditangannya juga ada secangkir kopi “boleh aku duduk disini?”

“Oh!” aku berseru kaku “silahkan”.
Aku mencoba-coba mengingat namanya dan ketika aku berhasil dia sudah duduk manis dikursi panjang yang aku duduki, entah untuk beberapa lama kami hanya saling berdiam diri sambil menatap layar lcd lebar yang menayangkan suasana business meeting didalam conference center tempat dimana pertemuan berlangsung.

Aku melihat ketua penyenggara acara berdiri dengan tangan terulur kearah sisi kirinya, dan nyaris semua peserta rapat berdiri saat seseorang naik keatas panggung podium menghampiri sang ketua.

Orang yang naik keatas podium itu, dia sama seperti peserta rapat lainnya. Berpakaian jas hitam dan terlihat begitu formal, namun ketika lensa kamera fokus menyorot wajahnya aku langsung tertegun ditempat dudukku.

“Dia masih begitu muda bukan?” suara gadis disebelahku sama sekali tidak membantuku untuk memulihkan kesadaranku yang terlanjur hilang “tapi dia sudah jadi pengusaha paling berpengaruh di Jepang sejak masih berusia 24 tahun.”

“S-siapa dia?” tanyaku kaku, rasa tidak percaya mendatangi bagai guyuran air dingin yang ditumpahkan kepuncak kepala.

“Ashida-sama, presiden direktur dari Ashida Corporation, Ultra grup yang menguasai perekonomian Jepang” aku melihat Nadinara Kaifa menyeringai dengan penuh kebanggaan atas pengetahuannya tentang orang itu… dia nyaris mirip peserta kuis who want to be millionaire yang tahu persis jawaban atas pertanyaan pemandu acara.

“Dia Domyoji Tsukasa-nya Jepang versi dunia nyata.”
Oh! Please. Bagaimana mungkin?.
Dia itu –aku yakin- adalah orang yang sama dengan yang menyelinapkan lidahnya pada –anu- ku malam yang lalu, dan aku yakin kejadian tempo hari bukanlah mimpi. Aku mendesah disaat gelitikan sensasi menimbulkan rasa geli yang mendadak menyerang anggota tubuh bawah. Dan aku, mau tak mau teringat kembali dengan jurus sexjutsu ninja Ashida.
Diam-diam aku merapatkan kedua paha untuk menghalangi ingatan jurus ‘silat lidah’ yang telah dilakukan Tuan –yang baru aku tahu- Presdir Ashida, namun aku tahu itu percuma karena aku mulai merasa diriku lembab dimana-mana.

“Dia begitu kaya dan berkuasa” gadis disebelahku terus bercoleteh, tatapannya tertuju lurus pada layar lcd lebar yang sedang menayangkan ninja seksiku berpidato diatas podium “tampan dan benar-benar sempurna.”

Ah ya Tuhan, andai saja gadis itu tahu kalau aroma tubuh Reizen Ashida mampu membuat para wanita menitikkan air liur,  “Kau benar” aku mengangguk setuju, menyesali kebodohanku sendiri yang tidak mampu mengenali hal yang sangat menonjol dari seorang Reizen Ashida. Itu bahkan tidak mampu dia sembunyikan sejak perkenalan pertama kami.

Kesan mewah selalu melekat pada dirinya, entah pada wajahnya, pakaian, mobil, rumah, bahkan dirinya sendiri secara keseluruhannya menjelaskan kalau dia produk dari keluarga kaya serta keberhasilan diusia muda.
Bagaimana mungkin aku mengabaikan segalanya dengan enteng.

“Ada gosip yang menyatakan kalau dia sebenarnya pucuk pimpinan mafia Jepang, orang yang paling bertanggung jawab atas tingginya angka kredit macet perbankan yang mengakibatkan krisis ekonomi akhir-akhir ini, tapi gosip itu sama meragukannya dengan gosip lain yang santer beredar kalau dia adalah anak haram dari salah satu kerabat dekat Tenno Heika*”

Bagian diantara kedua alisku berkerut, anak haram keluarga kekaisaran! Well, itu sangat luaaaaarrrr biasa.
“Oh ya!” aku memasang wajah penuh asumsiku dan kemudian melihat kalau gadis itu mengiyakan dengan anggukan ringan.
“Tapi yang jelas dia sangat tampan kan?”

Aku tersenyum, memangnya kami butuh pengakuan dari mana lagi sih tentang itu? MUI atau Balai POM?.
“Dia mimpi indah setiap wanita” kata-kataku lebih menyerupai bisikan kecil diantara kami “mimpi indah yang nikmat” aku membatin sambil tersenyum datar.

Aku dan Nadinara Kaifa kemudian saling berdiam diri lagi, masih dengan cangkir kopi ditangan masing-masing dan entah beberapa lama waktu telah terlampaui ketika aku melihat Reizen Ashida telah menyelesaikan pidatonya, saat itulah aku baru menyadari akan satu hal…

“Kenapa dia berpidato diforum ini? dia bukan orang pemerintahankan?” cecaran pertanyaanku disambut dengan kekehan kecil Nadin.

“Memang bukan, kenapa kau baru menyadarinya sih!” serunya seraya menatapku dengan kedua alis tersambung membentuk kerutan mencemooh akan keingin tahuanku “tentu saja dia perlu melakukan sesuatu untuk menyambut tamunya”

“Tamu!” ulangku, kali ini kedua aliskulah yang berkerut heran.
“Ya, Ashida-sama berhak melakukannya karena distrik ini sebelum dikelola oleh perusahaan pemerintah dulunya berdiri diatas galangan kapal milik kakeknya…jadi bisa dikatakan kalau dia adalah Landlord dari Minato Mirai 21”

 “Jangan bilang kalau kakeknya Aristotle Onassis versi Jepang” gumamku sinis, aku tahu kalau sebelum dijadikan kawasan pemukiman elit di Yokohama distrik Minato Mirai tak lebih hanyalah komplek pelabuhan serta dok kapal yang sudah tidak terpakai lagi.

Guratan samar tapi misterius Nadin kembali terkuak “memang bukan.”
Aku mengangkat bahuku tak acuh “itu sedikit melegakan” tukasku sambil tersenyum lebar.

Sunggingan senyum Nadin berubah jadi seringai misterius yang penuh dengan teka-teki “Kakeknya bukan raja kapal dari Jepang, tapi lebih hebat dari itu, Hitoshi Ashida salah satu mantan perdana menteri Jepang dari era Showa.

Rahangku mengatup dan terbuka berkali kali hanya dalam dua detik, aku bahkan bisa merasakan itu sebagai gerakan wajar seperti kepak sayap kupu-kupu atau kumbang.

“What the he…” umpatan itu terhenti saat aku melihat pintu masuk keruang konferensi terbuka lebar dan seseorang yang harus kuakui sangat dan sangat berkharisma keluar diiringi oleh puluhan tamu dan tuan rumah peserta summit yang lain.

Kutelan ludah gugup sambil bergegas meletakkan cangkirku kesamping sofa tempat duduk “aku harus kekamar kecil” pamitku pada Nadin sebelum bangkit dan bergegas kabur dari situ dengan diam-diam, berusaha untuk tidak menarik perhatian orang-orang disekitar.
 
Demi sepuluh hal paling memalukan yang pernah kulakukan dalam hidup, aku masih belum mampu balas menatap kemata milik lelaki yang pernah menikmati ‘kepolosanku’. Kalau dia berpura-pura tidak kenal aku itu jauh lebih baik, tapi kalau dia sampai tega mengatakan pada seluruh dunia kalau aku.. kalau aku…sempat minta ditiduri olehnya…ckk, lebih baik suruh aku melakukan harakiri saja.
……………………


Aku duduk diatas toilet yang tertutup sambil mengirim email kepada Hegel untuk memberitahukan bahwa aku sudah kembali kedalam kamar kami, menunggu beberapa detik untuk mendapatkan balasan darinya, dan ketika emailnya tiba dan memberi tahukan kalau dia masih harus meladeni ajakan dari beberapa investor Jepang untuk membicarakan peluang bisnis aku merasa sedikit lega dan segera keluar dari dalam toilet dan menuju ke wastafel.

Didepan wastafel aku segera menghidupkan keran dan membasuh wajah kemudian menyekanya dengan tisu. Rasa lembab dikulit wajah kembali menyegarkan meski demikian sama sekali tidak mampu menghapus ekspresi wajahku yang terlihat sedikit tegang.

‘Sedikit’ Itu enggak benar, aku tegang terus  sejak tadi. Pikiranku, emosiku dan bahkan otot-otot dibawah perutpun ikut mengencang.

Untuk pikiran dan emosi, aku tahu ada begitu banyak alasan untuk membuatku stres, putus dari Julian, lamaran Hegel dan kejutan dari  tuan ninja Ashida…semuanya jika digabungkan menjadi satu tentu membuat akumulasi daftar stres tingkat tinggi.

Tapi, untuk bagian dibawah sana, apa alasannya?.
Aku menghela nafas panjang dengan putus asa sambil mengeluh dalam hati. Demi tuhan, pengalaman seksku begitu minim, jika bisa dibilang seperti itu mengingat satu-satunya sexual experience-ku hanyalah malam dimana aku menatap bulan sambil dioral oleh host palsu yang ternyata adalah raja para tycoon Jepang dan cucu mantan perdana menteri.

Aku baru tahu kalau  foreplay bisa mengakibatkan frustasi, dan itu rasanya tidak enak, bagai seseorang dengan sengaja memasangkan tali dengan kuat disekitar perut dan menarik-nariknya sampai jadi lebih kencang lagi setiap detik demi detik dan aku tidak tahu harus melampiaskan kebutuhan primitif itu kemana.

Aku memutar mata saat mengingat jawaban kasarku yang sering muncul diacara gossip time antara aku dan teman-teman wanitaku yang lain. Setiap kali ada yang bilang betapa mereka merindukan malam-malam panas entah dengan suami, kekasih ataupun selingkuhan dengan santai aku menyuruh mereka untuk menggesek anunya kepintu saja. Dan sekarang, tadaaaaaa…..senjata makan tuan, aku nyengir sedikit pada bayanganku dicermin saat memikirkan andai teman-temanku tahu apa yang kurasa saat ini.

Mereka dengan senang hati pasti akan menarikku secara paksa kepintu terdekat supaya aku mau menggesek diriku sendiri ahhh…ya ampyuuuun. Kuusap dahiku dengan gaya persis abg alay yang kebetulan mengidap penyakit ratu drama, kemudian menarik keluar sebatang lipgloss dari dalam clutch tempat dimana aku menyimpan kosmetik wajahku. Udara dingin di Jepang cenderung menghilangkan kelembaban dibibir membuatku lebih suka memakai lipgloss ketimbang lipstik.

Dengan akurat kuulas kuas bulat lipgloss kebibir, efek kilapnya membuat bibir tipisku terlihat penuh.dan warna peachnya membuatku sedikit berbangga hati karena merasa seseksi model lipstik di majalah mode edisi terbaru.

Aku sedang membuka dan mengatupkan kedua bagian bibirku beberapa kali ketika mendengar suara pintu kamar mandi terbuka dan aku bisa melihat seseorang masuk dari luar sana dari cermin wastafel.
Kesadaran tentang siapa yang sedang masuk membuatku menjatuhkan batang lipgloss kedalam mangkuk wastafel.

“WHAT ARE YOU DOING HERE….” Teriakku tak percaya sambil berbalik memunggungi cermin dengan cepat, hanya untuk menemukan Lord Of Minato Mirai tersenyum padaku.
……………………


“Kau pikir apa?” dia balik bertanya masih dengan senyum yang terkembang dibibir, dalam balutan jas formal dia terlihat begitu…hmm…tampan dan enak dimakan.

Kedua telapak tanganku mencengkram erat pada porselen wastafel yang licin dan dingin. Rasa dingin yang sama bahkan mengalir cepat kesel-sel syarafku melumpuhkan dan memaku aku kelantai tempatku berdiri, efek yang tidak pernah aku rasakan menyerang akibat dipandangi oleh mahluk berjenis laki-laki dari spesies manapun yang pernah membuatku tertarik.

Bukan berarti aku pernah kencan dengan spesies selain manusia normal tapi kadang aku berpikir kalau aku sudah sejak lama terjebak dalam dunia ‘buayanya’ Hegel dan hidup menjijikkan ala Julian sikecoa sampah.

“I-ini toilet cewek” sahutku gagap. Sementara batinku menggerutu sendiri mendengar jawaban aneh itu.

Reizen Ashida mengedarkan matanya kesekeliling ruangan sebelum kembali memfokuskan pandangannya kepadaku “Ya! Aku bisa melihat bedanya dengan toilet disebelah” sahutnya dengan suara geli.

“Ja-jadi..kau mau apa disini?” pertanyaan polos itu membuat batinku marah besar pada diriku sendiri.

“Aku mendapat laporan dari staf yang kusuruh mengawasi ruang tunggu kalau kau bergegas kabur ketoilet saat aku keluar dari ruang konferensi, dan aku tahu kau mengirim email pada bosmu dari sini…”

Demi Tuhaaaaaaaaannn, aku berteriak dalam hati “kau memata-matai akuuuu…” tuduhku tak senang.

Dan Reizen Ashida langsung mengangguk dengan enteng “menyenangkan sekali bisa melakukan itu…aku jadi merasa bagai tokoh fiksi kaya raya kurang kerjaan didalam novel cinta-cintaan” bibirnya meringis sedikit saat mengatakan itu

Dia gila. Dia pasti gila.
Apasih yang ada dipikirannya? Memata-matai aku huuuhhh…aku menatap lurus-lurus kewajahnya dengan pandangan mengancam terbaik yang biasa aku tunjukkan pada Hegel, dan aku yakin sekilas melihat dia menaikkan sebelah alisnya tapi itu hanya sebentar karena yang aku temukan setelahnya adalah sorot mata lembut yang selalu bisa membuatku siap sedia menenggelamkan diriku sendiri disana .

“Aku menunggumu didepan toilet sejak tadi. tapi karena kau tidak keluar-keluar juga maka aku menduga kalau mungkinkau pingsan setelah melihat Hanako.”

Hanako! Siapa hanako?.

“Hanako…” katanya “urban legend tentang hantu anak perempuan penghuni toilet yang suka mengganggu siapa saja yang masuk kedalam toilet dan berlama-lama disana” dia menjawab pertanyaan dalam benakku disaat yang tepat.

Astagaaaa… “k-kau tidak serius bukan?” reflekku kemudian adalah melepaskan cengkraman tanganku dari tepi wastafel dan bergegas mengambil lipglossku dari dalam mangkuknya dan buru-buru bergerak hendak keluar dari tempat itu sampai kemudian sesuatu yang kuat menghalangi aku.

Entah kapan dan bagaimana tahu-tahu saja aku sudah berada sangat dekat dengannya, dan lagi-lagi aroma kelezatan tubuh Reizen Ashida membuat darahku bergolak membara dan mengalirkan panas lava kekedalaman palung dibawah sana.

Disaat aku mendongakkan kepala aku menemukan wajahnya menunduk untuk memandangiku. Caranya melakukan itu langsung membuatku berhenti bernafas.
“To-long menja-uh..” pintaku dengan dada yang terasa sesak.
“Tidak akan.”
“Ku-mohon..” pintaku sekali lagi, dan aku benar-benar sudah sesak nafas sekarang “K-kalau kita berlama-lama seperti ini…a-aku hanya akan keluar… dari sini dengan cara dibawa dalam kantung mayat.”

Matanya melebar kaget dan seketika dia melepaskan cekalannya dilenganku “demi tuhan Runee-chan aku tidak sedang berusaha membunuhmu” ucapnya dengan wajah serius “aku hanya memegangi lenganmu bukan mencekik lehermu” desisnya lagi.

Aku terbatuk-batuk oleh udara yang kuhirup terburu-buru begitu dia melepaskan pegangannya “aku tahu” aku menyahutinya, kemudian terbatuk lagi “hanya saja aku tidak bisa bernafas dengan benar kalau kau terlalu dekat denganku.”

Mata Reizen Ashida membelalak syok namun sedetik setelahnya dia tertawa, tawa tak percaya yang lepas begitu saja. Aku melihatnya kemudian meraupkan telapak tangan kanan kewajah “konyol” serunya geli dan aku seketika melemparkan tatapan antagonis penuh kebencian akan kalimatnya barusan.

Pernahkah ada yang bilang padanya kalau dia selalu melakukannya, maksudku mempesona dan menimbulkan efek lumpuh sementara pada orang yang dia pandangi, aku yakin tidak, karena kemungkinan besar semua wanita yang dia pandangi langsung mati lemas kehabisan nafas.

“Ada apa?” dia bertanya saat aku terus berdiam diri sambil memandanginya.
Dan aku memilih untuk memberitahukan kabar buruk itu padanya secara langsung agar dia tidak terlalu kaget saat mengetahui kebenaran tentang efek negatif dipandangi Tuan Ashida pada diriku “Kau pandai membuat orang berhenti bernapas” kalimat itu lebih mirip tuduhan ketimbang pemberitahuan.

”Demi tuhan…aku bukan malaikat pencabut nyawa” caranya menanggapiku terdengar sangat serius, mirip gaya seorang korporat gusar yang sedang menghadapi tuduhan kalau perusahaannya telah menyebabkan bencana serta pencemaran lingkungan yang parah, aku percaya kalau aku menyerangnya seputar masalah Ashida effect lebih lanjut lagi, bisa dipastikan kalau dia pasti akan segera memanggil tim pengacara korporasi untuk melepaskan diri dari segala tuduhan.
 
Memikirkan hal itu saja sudah membuat bibirku bergerak membentuk cibiran sinis khusus untuknya “Pesonamu yang melakukan itu Tuan Ashida” jawabku ketus dan dia memandangi aku dengan tatapan seakan mengatakan kalau aku sudah sinting.

Aku sinting! Itu bukan kabar baru. Aku sinting sejak bertemu dengannya dan memintanya tidur denganku, padahal aku sudah mempertahankan keperawananku selama lebih dari seperempat abad lamanya tapi begitu bertemu dia dengan enteng aku memasang pita bunga diatas kepala dan mengkadokan tubuhku begitu saja. Cih untung saja dia cuma membuka ‘bungkusku’ dan sedikit menjilat saja, coba kalau sampai lebih dari itu….

Aku langsung lumpuh lagi saat isi pikiranku menyimpulkan sesuatu yang luar biasa mengejutkan. Kalau saja malam itu kami berbuat lebih…maka aku, aku akan...kutelan ludah dengan susah payah sebelum mengakui betapa itu mungkin akan jadi malam yang sangat berkesan sepanjang usiaku.

Pikiran yang baru saja kuakui itu telah membuatku sangat terkejut, aku mengerutkan alisku dengan lagak bosan, mencoba untuk menutupi kegugupan yang muncul akibat kehadirannya,  “kau harusnya lebih sering menonton infotainment dan mendengar gosip-gosip yang beredar dijalanan tentang dirimu…”

Ninja Cunnilingusku tertawa datar sambil menggelengkan kepalanya “aku tidak pernah membaca apapun selain The Wall Street Journal dan Nihon Keiza Shimbun dipagi hari.”

“Ckk…hidup membosankan ala orang kaya” cetusku tanpa disengaja.
“Yeah! Kau pikir apa setiap milyarder punya kehidupan sesempurna yang diceritakan dalam tv seri?”
“Harusnya begitu” lagi-lagi bibirku menjawab begitu saja pertanyaannya “kau tinggal contoh saja Bruce Wayne dan Christian Grey.”

Senyumnya mengembang lagi, dan aku benci efek dari hal sederhana itu pada jantungku.
“Orang tuaku tidak mati dibunuh oleh siapapun jadi kurasa aku tidak perlu keluyuran untuk membalas dendam seperti Bruce -pria kelelawar kurang kerjaan- Wayne…”

Aku menahan tawaku, berusaha untuk tidak memperlihatkan kalau selera humornya sungguh mengena dihati, tapi kurasa dia bisa tahu kalau aku sudah sedikit lebih melunak dibanding tadi.
 
“Dan aku pria biasa dengan selera seks kasual, yang tidak suka mengikat wanita dengan dasi, tali apalagi mencambuki teman kencan seperti Christian Grey, maaf kalau aku mengecewakan imajinasimu dengan hal itu Runee-chan...tapi aku benar-benar tidak punya Red Room of Paint dirumah Daimyo-ku…interiornya benar-benar tidak cocok dengan gaya arsitektur Bushido serta taman Zen ku” dia mengangkat bahunya, sedapat mungkin berusaha terlihat sedih dengan kenyataan itu namun aku bisa melihat binar jenaka dan humor yang tersembunyi dikedua matanya.

Aku terkikik kecil seraya menutupi wajahku dengan sebelah tangan. “Sialan’ makiku dalam hati, harus kuakui kalau aku benar-benar menyukai sense of humor-nya.

“Jadi..” serunya masih dengan senyum terkembang dibibir “apakah tidak lebih baik kalau kita bicara diluar, aku tahu toilet hotel ini benar-benar memanjakan wanita –dan kujamin tidak pernah ada tamu yang melaporkan kalau dia melihat Hanako disini, tapi aku terlarang untuk berlama-lama disini…”

Oh! Astaga sial, ini toilet. Aku baru sadar akan keberadaan kami. Perlahan aku menganggukkan kepala “memang lebih baik kalau kita keluar.”

“Aku setuju” sahutnya sambil mengulurkan tangan kepadaku, dan aku, dengan begitu gegabah langsung menerima uluran tangan itu, baru berpikir lebih jauh setelah merasakan remasan jemarinya yang hangat disana namun untuk menarik diri dari sentuhannya kurasa aku tidak mampu dan tidak akan rela.
Reizen Ashida menarik pintu toilet dan membimbingku keluar dari sana.

Didepan pintu aku tidak melihat siapapun, bahkan tidak ada pengawal yang berjaga-jaga disekeliling Reizen Ashida seperti saat kami diklub malam itu, padahal ketika kami keluar kukira aku akan menemukan antrian manusia yang butuh toilet.

“Bagaimana caramu masuk kesini?” aku bertanya sambil menatap terheran-heran padanya, saat itu kami telah berada dilorong panjang menuju entah kemana.

“Itu” dia menunjuk sesuatu tepat dibelakang kepalaku dan aku menemukan sebuah kertas tergantung didinding pintu pemberitahuan dalam dua bahasa bahwa toilet sedang diperbaiki, aku mengangkat sebelah alisku lagi saat menatapnya.
“Cerdik” pujiku tulus dan itu membuatnya tersenyum satu kali lagi.
“Terima kasih” sahutnya sambil menarikku agar lebih merapat padanya, hal yang kembali mengingatkan aku pada malam pertemuan pertama kami.

“Kau…akan membawaku kemana?” pikiranku berharap akan sesuatu penawaran yang lebih baik dari apa yang diperlihatkannya padaku dua malam yang lalu.

“Biei.”

Jawabannya membuatku mengernyit, Biei setahuku berada jauh di sebelah utara Jepang, dipulau Hokkaido tepatnya, dan itu kurasa cukup jauh dari sini, kurasa aku harus memastikan kalau aku tidak akan salah tempat tujuan “Biei di Furano?” desakku dan dia mengangguk.

Langkah kakiku terhenti begitu saja “Oh tidak, kurasa aku tak dapat ikut denganmu, itu terlalu jauh, maaf dapatkah kita tetap berada disini saja, aku tak dapat jauh dari bosku..”

“Bosmu pasti akan sibuk sekali seharian ini” sahutnya datar “dia akan segera menandatangani persetujuan kerja sama dengan salah satu anak perusahaanku dan perlu mempelajari kontrak kerja sama yang biasa kami berlakukan pada rekanan”
 Jangan bilang kalau dia tertarik merambah bisnis tambang dengan Hegel, demi tuhan orang satu ini bisa membeli saham Freeport atau Newmont kalau dia mau tapi kenapa dia justru memilih bekerja sama dengan Hegel??.

“Jepang sudah lama nyaris tidak tergantung lagi dengan energi yang berasal dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sebenarnya aku justru tertarik membeli lahan diwilayah bencana lumpur disalah satu provinsi di negaramu untuk dimanfaatkan panas buminya, tapi pemerintah negaramu menolak melepas pemanfaatannya secara penuh pada anak perusahaanku.”

Aku menelan ludahku kelu, terlalu takjub dengan pemikirannya saat menyadari kalau hanya orang Jepang yang mampu berpikir secara kreatif tentang mengolah daerah bencana menjadi sumber energi baru.
“Lalu kenapa kau tertarik bekerja sama dengan bosku?” desakku penasaran sambil mendongakkan kepala untuk menatap jelas kewajahnya, meneliti semua kemungkinan samar yang bisa kutangkap dari ekspresi wajahnya.

Tapi pancaran cahaya dari mata teduhnya terlalu membuatku hanyut dalam sejuta pesona Ashida. Aku hanya diam saja saat dia merapikan anak rambutku kebalik telinga kemudian membelai rambut panjangku dengan jemarinya yang panjang, kemudian membawa helaian itu kedekat wajahnya sendiri. Aku mengeluarkan suara terkesiap kaget saat melihat dia mencium ujung rambutku, mengalirkan efek Ashida yang sama berbahayanya dengan limbah nuklir kesegenap simpul syaraf.
Kulit kepalaku meresponnya dengan sensasi rasa merinding yang membingungkan dan aku gemetar oleh gairahku sendiri saat mata kami kembali bertemu pandang.

“Aku ingin bosmu sibuk..”desahnya lembut “agar ia bisa melepasmu untukku.”
“Tolong jangan permainkan dia” pintaku “segera suruh anak buahmu membatalkan semua rencanamu dengan perusahaan kami, dan aku pastikan kalau aku akan tetap bersedia pergi denganmu kemanapun yang kau mau…”

“Sungguh?”
“Ya!”
“Kemanapun yang kumau?” keindahan dalam suaranya menggelitik pendengaran dengan tidak berdaya kuanggukkan kepala. Kemudian aku melihat Reizen Ashida mengeluarkan ponselnya dari salah satu saku jas yang dia kenakan, tepat didetik pertama setelah telepon itu terangkat dia berbicara dengan seseorang dalam bahasa Jepang, suaranya terdengar sangat tegas dan dingin, berbeda sekali dengan caranya saat bicara padaku.

Hanya lima detik dia melakukannya, memberi perintah-perintah dalam bahasa yang sama sekali tidak aku mengerti sebelum akhirnya mengakhiri panggilan dan kembali menyimpan ponselnya kesaku, kembali tersenyum hanya untukku.

“Ayo!” dia mengulurkan tangannya kembali “Biei, sudah menunggu kita”
“Tidak” sergahku panik “bosku…”
“Dia aman.”
“Aman?”
“Dia akan sangat sibuk sampai besok pagi”
“Tapi, bagaimana mungkin…”

Kalimatku terhenti oleh sentuhan panas membara dibibirku, dan dari sentuhan nafasnya aku tahu kalau dia telah merenggut sisa nafasku lewat bibirnya.
Sentuhannya membuatku terguncang secara emosional, melemah tak berdaya dan kembali membuat aku memiliki lutut bersendi lunglai bagai jelly. 
  
“Bisakah kau hanya memikirkan aku?” dia menanyakan itu disela ciuman kami, untuk sebuah alasan suara permohonannya terdengar sangat putus asa, dan tidak tahu apa sebabnya.
“Kenapa harus begitu?” tanyaku tidak dapat memahami permintaannya itu.
Dia menciumku satu kali lagi, pelukannya membawaku semakin rapat ketubuhnya secara keseluruhan itu tidak menjawab keingin tahuanku malah membuatku semakin bingung saja saat dia berhenti melakukannya aku tetap menatapnya, menuntut jawaban.

Reizen Ashida menghela nafas panjang tanpa melepas kontak matanya denganku “Your extremely beautiful” dia berbisik pelan “dan aku sangat menginginkanmu.”
…………………..
 
Note:
*Tenno Heika : panggilan untuk kaisar jepang yang artinya adalah “His Majesty the Heavenly Sovereign



Badless LoveDove le storie prendono vita. Scoprilo ora