2. Ibu Kota

1.6K 269 14
                                    

Jakarta, tiga tahun yang lalu.

"Masih lama, Jun?"

"Nggak kok, Bu. Ini udah masuk ke bus."

"Oh ya udah, hati-hati ya."

Pratama Arjuna Ali menganggap ibu kota adalah tempat untuk dirinya berjuang hidup. Dalam babak barunya di tahun ini, dia harus mengalahkan banyak orang untuk bisa mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan kendaraan terbesar di Indonesia.

Juna memang tidak menjabat sebagai manajer, direktur perusahaan, ataupun posisi penting lainnya. Dia hanya anak tim dari bagian pemasaran di kantornya. Posisi memang boleh kecil, tapi ia tak merasa keberatan walau hanya menjadi anak buah.

Yang terpenting adalah ia membutuhkan uang. Sekali pun pekerjaan ini terus menekannya, setidaknya ia butuh uang itu untuk terus menghidupi dirinya dan keluarganya.

Pukul sebelas pagi di hari Rabu yang cerah ini, senyuman pria muda itu mengembang saat menatap lalu lalang orang-orang yang berada di luar bus. Terminal selalu ramai setiap menjelang musim liburan. Sekarang sudah akhir tahun, Juna ingin segera pulang untuk menemui keluarganya di kampung.

Ia memeluk erat tasnya di saat satu tangannya sibuk mematikan ponselnya, setelah panggilan terakhir dari ibu baru saja berlangsung. Setiap pulang ke kampung, Juna juga tak lupa membawa sedikit oleh-oleh untuk keluarganya. Baju daster untuk ibu, sarung dan kemeja batik untuk ayah, dan sepatu untuk adiknya, Nora.

Selain semua oleh-oleh itu, Juna juga ingin memberikan sebagian gajinya kepada orang tuanya. Hal yang sudah sering ia lakukan di setiap awal bulan saat ia masih bekerja. Ia akan mentransfer sejumlah uang ke rekening adiknya dan menyuruhnya untuk segera membagikan kepada orang tua mereka.

Kenek dan sopir bus di depan sana saling memberi kode, kemudian mereka memberi tahu kepada penumpang bahwa bus akan berangkat sekarang. Maka dimulailah perjalan pulang itu.

Waktu terus berlalu seiring melajunya bus ini di jalanan. Satu jam lebih telah dilewati, Juna masih tetap terjaga selama perjalanan itu. Karena merasa bosan, akhirnya ia membuka kembali ponselnya.

Selama benda itu mati, ia tak sadar bahwa ada satu pesan masuk yang berasal dari nomor adiknya. Langsung saja ia membuka isinya.

Nora
Bang, di rumah ibu masak sambal kentang sama ayam kaliwang. Cepetan balik ya, hati-hati dan jangan lupa baca doa sebelum jalan nanti.
11:45

Senyumnya lantas mengembang. Membaca isinya membuat ia semakin tak sabar unuk pulang. Nora memberitahukan bahwa di rumah sudah ada masakan favoritnya yang menunggu kepulangannya.

"Awas, Pak!"

"Heh! Pelan-pelan!!"

"YA ALLAH!!"

Semua yang dibayangkannya lantas berubah menjadi sesuatu yang tak ia harapkan. Juna terhentak saat mendengar banyak pekikan dan suara cemas di sekitarnya. Tubuhnya langsung saja terdorong hebat dan kehilangan kendali dari pegangannya di kursi depan.

Semua orang di dalam sana berteriak histeris saat bus kehilangan kendali. Kendaraan itu tak dapat mengontrol lajunya saat melewati tikungan tajam di jalan lintas provinsi. Sang sopir bus sudah berusaha setengah mati mengendalikan kemudinya dan orang-orang masih terus saja berteriak.

TIIN!!! TIIIIN!!

BRUUUK!!

Mata Juna terpejam sambil memeluk erat tasnya. Detik berikutnya, tak ada lagi yang bisa terselamatkan dari dalam sini. Bus menabrak tronton besar di depannya. Setengah badan kendaraan ini lantas hancur parah dan langsung menarik banyak penumpang ke dalam lautan darah.

butterfly disaster Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang