33. Kelana [II]: Cerita di Sisi Lainnya

481 84 2
                                    

Ini pertama kalinya Azka terbangun kesiangan. Ia selalu diajarkan untuk disiplin waktu termasuk bangun pagi. Pagi ini ia dibuat sedikit kacau sekaligus panik, begitu melihat jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

Ia beranjak dari kasurnya yang sudah cukup berantakan itu. Begitu kakinya menapak, ia menginjak selembar kertas di bawahnya. Matanya berpendar melihat banyak kertas berserakan di bawah sana. Semalam ia baru pulang saja pulang dari perjalanan dinasnya di London sekitar pukul tiga pagi.

Azka bisa saja terus melanjutkan tidurnya, namun pagi ini akan menjadi agenda yang sangat penting dan tak boleh dilewatkan,

Golf bersama kakek.

Ia menyalahi keteledorannya yang lupa memasang alarm dan tak memberitahu ke asistennya untuk membangunkannya pukul enam pagi ini. Maka segera saja ia bergerak untuk membersihkan dirinya, lalu meminta sang asisten di apartemennya untuk menyiapkan perlengkapan bermain golf.

Perjalanan menuju tempat yang dituju tak memakan waktu yang banyak. Lalu lintas terbilang normal, Azka meminta Pak Yadi- supirnya itu untuk melaju lebih cepat. Perjalanan yang ditempuh selama lima belas menit itu akhirnya berakhir juga, mereka telah tiba di tempatnya.

Azka langsung masuk begitu saja, beberapa orang yang menyadari kedatangannya itu langsung mengarahkannya segera ke salah satu tempat yang sudah disiapkan khusus untuknya.

Pria muda ini segera menghampiri sang kakek, namun perhatiannya segera tertuju begitu melihat dua orang pria paruh baya dan satu perempuan sedang mengobrol bersama.

Ini bukan permainan seperti biasa. Ada rencana terselubung yang tak ia ketahui.

"Kenapa baru dateng jam segini?"

Jika biasanya kakek tak akan menggubrisnya apabila ia melakukan suatu kesalahan, maka kali ini ia yang mengalah duluan hanya sekedar untuk menyapanya dengan satu pertanyaan di pagi hari.

Azka tahu permainannya, ia tersenyum tipis membalasnya, "Semalem baru pulang dari dinas ke London."

Dua orang asing di dekat kakek tadi tergugah mendengar jawabannya. Urusan bisnis mana lagi yang harus ia ikuti sekarang.

"Ini Purnomo sama James. Dulu kita pernah ketemu waktu di Singapura."

Azka menjabat kedua tangan orang tua tersebut.

"Ini anak saya, Catherine. Dia mau ikut papanya main juga."

Dan satu lagi perempuan yang Azka kira seorang caddy golf rupanya anak dari salah satu di antara mereka. Ia pun membalas jabatan tangan tersebut.

"Kalian bisa main bareng aja. Sambil kenalan gitu." Kakek tertawa senang dan beliau kembali mengobrol bersama dua orang pria paruh baya itu meninggalkan Azka dan perempuan ini.

"Hai."

"Hai."

"Aku denger kamu lulusan dari Columbia, New York, ya?"

Ia melirik sedetik ke arah gadis itu. Azka yang masih sibuk memilih tongkat golfnya hanya mengangguk pelan.

"Aku juga dari sana. Tapi kayaknya kamu lebih senior dari aku."

Keduanya bermain tanpa berucap satu katapun, hanya ada satu lemparan bola dari tongkat golf masing-masing. Azka terus melemparkan bolanya, namun tak satu pun yang masuk ke dalam lubangnya.

Menyadari dirinya hilang fokus sejak tadi. Alhasil, ia pun memutuskan untuk beristirahat sebentar. Selagi meneguk botol minumnya, ada sosok lain yang datang tak jauh darinya. Semakin mendekat, Azka seperti mengenal sosok itu.

butterfly disaster Where stories live. Discover now