37. Malam Pameran

444 73 14
                                    

Pagi hari ini Azka harus terpaksa menyetir seorang diri untuk menuju ke salah-satu kediaman rumah teman kakek. Sekitar jam empat pagi beliau menelponnya dan meminta untuk mengantarkan anak dari temannya itu yang tentunya akan digadang menjadi calon menantunya nanti.

Ya, peran kakek telah menjadi sosok ayah juga di dalam hidupnya. Ini terjadi setelah beliau sendiri membenci sosok ayah kandungnya. Bahkan di waktu kematiannya, kakek tak sekalipun mendatangi pemakaman anaknya itu.

Azka tak bisa berbuat banyak selain berterima kasih karena kakek juga telah menyelamatkannya dari kekejaman ibu kandungnya sendiri di waktu ia kecil dulu. Ia pun menuruti semua permintaannya termasuk yang satu ini.

Sedan hitamnya baru saja berhenti di salah satu perumahan mewah. Ia keluar dari dalamnya dan menatap satu rumah besar dengan arsitektur modern yang satu ini. Masih ingat dengan Catherine? Hari ini ia akan menemui gadis itu.

"Udah lama nunggu?"

Sekitar sepuluh menitan Azka menunggu di luar sini. Salah satu penjaga sudah menyuruhnya untuk masuk, tapi ia tetap ingin berada di sini. Akhirnya orang yang ia tunggu pun keluar juga. Gadis itu datang dengan pakaian santai, sweatpants dan hoodie crop top berwarana abu-abu senada, satu tangannya membawa tas olahraga dan sepasang sepatu balet.

"Kamu gak perlu nunggu aku."

"Aku gak nunggu kamu. Aku ada urusan habis ini."

Keduanya pun lantas memasuki mobilnya segera. Azka hanya akan mengantar Catherine menuju tempatnya dan sudahnya ia akan kembali ke kantornya. Selama di perjalanan mereka lebih banyak terdiam dan demi meredam kesunyian itu, Azka menghidupkan radio dengan suara pelan di mobilnya.

"Kamu main balet?" Pria ini akhirnya mulai membuka obrolan mereka begitu berhenti di lampu merah.

Catherine mengangguk.

"Sejak kapan?"

"Aku mulai dari umur tujuh tahun waktu tinggal di New York dulu."

"..."

"Aku sempet stop balet, sampe di Indo mama nyuruh aku buat main lagi," jelasnya.

Mobil kembali melaju setelah lampu berubah warna hijau. Melihat apa yang dilakukannya, mengingatkan Azka dengan sosok Helena. Ada banyak pertanyaan juga yang ingin ajukan kepada gadis itu. Dari kapan ia memulainya sampai bagaimana bisa gadis itu masuk lebih dalam ke dunia balet?

Balet bukan permainan yang mudah maupun murah, untuk latihan saja akan menguras uang yang tak sedikit. Belum lagi setiap pementasan dan biaya kostumnya.

"Kamu udah tahu rencana papaku sama kakek kamu?" buka Catherine tiba-tiba. Azka berpaling sedetik ke arahnya. Pria ini hanya mengangguk membalasnya.

"Kamu— sorry, beneran nerima?"

"Aku gak tahu."

Satu jawaban itu sudah cukup untuknya. Catherine tahu bahwa Azka tak akan menerima perjodohan itu, bahkan dari pertama kali mereka bertemu. Dan gadis ini tak mau mengambil pusing, ia akan melakukan hal yang sama.

___________

Panggilan dari sanggar di hari ini membuat Helena harus meninggalkan rumahnya segera. Ia mendapatkan berita bahwa akan ada pementasan lagi dan kali ini Swan Lake yang akan dimainkan. Karena berita itu, satu grupnya lantas mengheboh.

Pelatih akan mengumumkan segera siapa saja yang memainkannya. Helena turut senang mendengar kabar tersebut, tapi ia tak ingin berharap dirinya akan menjadi salah satu pemeran penting di sana. Ia pernah memainkan drama tersebut hanya sebagai penari sampingan angsa putih saja.

butterfly disaster Where stories live. Discover now