35. Dejavu

480 72 11
                                    

Ayah seneng kalo kamu udah dapet kerjaan di sana. Maaf kalo ayah gak bisa dateng ke tempat kamu. Jaga diri kamu baik-baik...

Terhitung sampai hari ini, sudah seminggu sejak kepergian ayah meninggalkan keluarganya. Anora masih sering dihantui kalimat-kalimat itu, dari pesan yang masuk di ponsel ataupun ucapan terakhir beliau di setiap kali mereka menelpon.

Dirinya begitu kehilangan akan sosok tersebut dan kerap kali terguncang apabila mengingat bahwa ia tak berada di sampingnya pada detik-detik terakhir di masa hidupnya. Namun, dunia di sekitar juga harus menyadarinya. Anora tak punya pilihan untuk terus bekerja dibandingkan berlarut-larut dalam kesedihan.

Sambil mengabaikan sakit yang mencekat di tenggorokannya, ia mencoba tersenyum pada cermin toilet di hadapannya. Senin pertama setelah libur dan di Elephant Love pagi ini akan ada banyak murid baru yang berdatangan.

Kelas baru dimulai tepat pada pukul sepuluh. Beberapa wajah baru yang penuh dengan rasa penasaran mengisi suasana di ruangan ini. Tak banyak yang mengambil kelas kerajinan tembikar ini, selain orang tua hanya menganggap ini adalah kelas permainan dan hanya melatih kreativitas untuk sementara saja.

Anora tak masalah, ia tetap akan menyambut mereka dengan gembira. Maka dimulailah kelas pagi ini dan berlangsung selama dua jam. Karena ini adalah hari pertama, maka isinya lebih banyak pengenalan saja dan juga membuat kerajinan pertama mereka.

Kelas berakhir tepat pada pukul dua belas siang. Satu persatu muridnya dijemput oleh orang tua mereka dan dengan sabar Anora juga menuntun mereka untuk membersihkan tangan mereka yang telah kotor dan menjanjikan bahwa hasil kerajinan akan selesai setelah melewati masa pengeringan pada lusa nanti.

TOK TOK...

Di sela-sela ia yang sedang sibuk membersihkan meja yang kotor itu, ada satu suara yang muncul dari ambang pintu sana. Anora berbalik dan menemukan ada sesosok yang cukup tak asing di sana.

Seorang perempuan yang datang dengan pakaian formal santai berwarna putih biru. Di satu sisi, pandangannya tertuju pada sebuah paperbag besar yang dibawanya itu.

"Ada yang bisa dibantu?" Sambut Anora.

Senyuman itu perlahan mengembang dengan sedikit kaku.

"Kamu Anora, 'kan? Saya boleh minta tolong sama kamu?"

"Anda... mamanya Violet?"

"Iya."

Tak ingin membuat tamunya tak nyaman, Anora lantas mengajaknya masuk untuk duduk di dalam ruangan ini. Di satu sisi, sosok yang tak lain adalah Iris itu ikut terduduk di sampingnya.

"Saya ingin minta tolong sama kamu," buka Iris dan diserahkannya langsung tas yang ia bawa itu. Anora pun tertegun dan mau tak mau menerima pemberian itu.

"Tolong kasihin ini ke Violet. Saya.. gak bisa ngasih langsung ke dia."

Satu tatapan penasaran langsung tertuju pada Iris.

"Kamu pasti udah tahu apa yang terjadi antara saya sama papanya. Mungkin Vio masih sulit nerima kenyataan bahwa keluarganya gak bisa kayak dulu lagi. Saya pun di satu sisi gak bisa ngambil hak asuh dia. Saya belum merasa cukup untuk jadi mama yang baik... ini hari terakhir saya di Indonesia. Besok saya bakalan pindah ke luar negeri. Saya gak yakin bakalan bisa balik lagi atau nggak. Jaga baik-baik Vio.."

"...."

"Mas Raka juga. Anora, kamu orang yang pernah dia cari dulu."

Kalimat terakhirnya membuat Anora terpaku di tempat. Iris tak memberinya sedikit pun jedah untuk bertanya, karena wanita itu langsung beranjak dari tempatnya.

butterfly disaster Where stories live. Discover now