Bab 2 - Hari Saat Tawa dan Amarah Bertemu

2K 254 17
                                    

"Let's just celebrate today, tomorrow's too far away." – Float

Sepanjang perjalanan menuju rumah makan Pagi Sore, aku berusaha melirik Kai. Laki-laki itu menopangkan dagu sambil menatap ke luar jendela. Sepertinya Kai masih merajuk setelah sesi sayang-sayang terputus begitu saja.

"Kai, masih sakit?" Aku mencoba mendekat. Bagus! Suamiku ini bahkan tidak menoleh.

"Maaf, ya. Aku kaget tadi." Senyumku sedikit terangkat ketika Kai melirik.

"Nggak apa-apa kok, sayang. Cuma tadi aku juga kaget."

Aku bisa melihat, pandangan Kai cepat ke arah Pak Sarno, supir kepercayaan Kak Loni. Pasti dia tidak mau memperlihatkan sisi menggemaskannya saat merajuk karena takut diadukan ke Kak Loni. Senyumku semakin melebar ketika jemari Kai menggenggam jemariku perlahan.

Bagiku, Kai seperti campuran antara laki-laki dewasa dan kekanakan. Dia bisa bersikap manis, tegas tetapi juga menggemaskan. Aku menatap laki-laki yang masih memalingkan wajah ke arah jendela, tetapi telinganya terlihat memerah.

"Kalau orang-orang lihat Kai seperti ini, mereka pasti nggak akan percaya," bisikku sambil mendekat. Aku bisa merasakan Kai tersenyum.

"Biar kamu saja yang lihat aku seperti ini. Aku kan sekarang milik kamu."

Aku berlagak seolah akan pingsan lalu kami tertawa bersama-sama. Rasanya hari itu sangat menyenangkan. Setelah makan, aku dan Kai menyempatkan diri berbelanja barang-barang untuk kebutuhan rumah. Kai memang sudah melengkapi rumah dengan tempat tidur, kompor dan barang-barang dasar lainnya. Namun masih banyak yang harus dibeli supaya rumah itu mulai terasa seperti rumah.

Kami hanya betah di hotel selama tiga hari. Rasanya lebih senang ada di rumah dan mengaturnya sesuka hati. Aku sampai menyempatkan diri untuk video call dengan Kiana, sahabatku yang menjadi designer interior.

"Lo bahagia ya, Nek?" Kia tidak bertanya. Kalimatnya seperti pernyataan saat melihatku tersenyum dan berkeliling memperlihatkan seluruh bagian rumah.

"So instagramable ya rumah lo," ucap Kia lagi.

Kiana adalah sahabatku sejak zaman kuda gigit besi. Itu adalah istilah yang ibuku gunakan untuk mengungkapkan betapa lamanya aku dan Kiana bersahabat. Kami tumbuh besar bersama dan meskipun memiliki jalan yang berbeda dalam hal pekerjaan atau jodoh, kami tetap bersahabat.

"Jangan lupa nanti main-main ke rumah gue, Ki," kataku setelah kami selesai berdiskusi untuk barang yang akan diletakkan di ruang tengah.

Baru saja sambungan telepon dengan Kia terputus, terdengar suara mobil. Aku tersenyum lebar saat menyadari kalau itu adalah kedatangan Kak Loni. Pak Sarno tadi memang berkata kalau Kak Loni akan datang.

Aku selalu menyukai kakak Kai yang satu ini. Aura wanita yang kuat dan mandiri terlihat pada dirinya. Selain itu, yang lebih kusukai lagi adalah kedatangan laki-laki kecil yang saat ini berlari melintasi carport.

"Auntieee ...." Aberama Harola, keponakan Kai yang baru berusia empat tahun itu berlari secepat yang dia bisa lalu langsung melompat dalam pelukanku. Rasanya seperti tertabrak minibus mengingat manusia kecil dengan rambut ikal ini beratnya sudah 25 kilogram. Untung saja Kai ada di belakangku. Tangannya cepat menahan punggungku supaya tidak jatuh tertimpa Abe.

"Abe ... ingat kata Bunda! Jangan lompat-lompat ke aunty Ila. Bisa patah punggung aunty-nya kalau kamu lompat kaya gitu. Cuci tangan dulu sebelum masuk ke rumah. Maskernya digantung dalam posisi tertutup." Kak Loni mengambil alih Abe lalu menuntunnya untuk mencuci tangan.

Sejak pandemi merebak, rasanya rutinitas berkunjung semakin ketat. Kami diharuskan untuk mencuci tangan sebelum masuk dan tetap mengenakan masker saat berkunjung. Pernikahanku dan Kai juga tidak terlalu besar. Cukup sederhana untuk keluarga Wiryawan.

I'm Inn Love (Tamat) Where stories live. Discover now