Bab 5 - Hari Setelah Kepergiannya

1K 190 12
                                    

"Di daun yang ikut mengalir lembut. Terbawa sungai ke ujung mata." - Letto

Sudah tiga hari ini Kai seolah menjauh dari hidupku. Dia memang masih ada di rumah tetapi nyaris tidak bersuara. Aku hanya bertemu Kai saat di meja makan dan menjelang tidur. Dia sudah bangun sebelum subuh lalu mengurung di kamar sebelah yang disulap menjadi ruang kerja. Padahal dia sudah mengambil cuti selama seminggu dengan alasan berkabung.

Kalau saja sebelum eyang meninggal ada yang berkata Kai bisa jadi pendiam dan tertutup, tentu aku akan tertawa. Aku menghela napas saat melihat laki-laki yang biasanya ceria ini menjadi begitu pendiam. Dia bahkan tidak bereaksi ketika aku lupa menurunkan tutup toilet setelah menggunakan dan lupa mematikan lampu kamar mandi.

Aku duduk bertopang dagu, memandang kepulan uap teh panas beraroma melati yang biasanya membuat Kai bergegas datang karena dia sangat menyukai aromanya. Aku bahkan berusaha membuat cheese tart yang membuat dapur seperti habis terkena ledakan bom nuklir. Namun lagi-lagi dapur berantakan itu pun tidak mampu menggoyahkan lidah Kai untuk bicara. Dia berkabung, masuk ke dalam dunia yang tidak bisa dicapai olehku. Aku tidak tahan lagi.

"Kai!" seruku langsung membuka pintu ruang kerja setelah mengetuk perlahan.

Rupanya saat itu Kai sedang meminum air mineral yang memang selalu kusediakan di ruang kerja. Dia kaget dan langsung tersedak. Setengah berlari, aku menghampiri Kai lalu menepuk punggungnya perlahan seraya meminta maaf.

"Kenapa sih, La?" Kai memelototiku karena kesal.

Oh, haruskah kukatakan kalau aku bahkan rindu dengan omelannya? Kutarik napas sambil berusaha agar nada suaraku tidak bergetar.

"Ini udah hari ketiga, Kai. Kamu nyaris tidak menyentuh makanan, hanya satu dua suap lalu kembali masuk ke dalam gua pertapamu," ujarku dengan mata berkaca-kaca. Wajah Kai terlihat pucat dengan lingkaran hitam di sekeliling matanya, rambut berantakan dan cambang serta kumis yang tumbuh berantakan. Ini sungguh bukan Kai. Setidaknya selama aku mengenal Kai, dia tidak pernah terlihat seperti ini.

"Aku sedang berduka, La! Seandainya saja kamu bisa mengerti. Eyang adalah orang yang berarti untukku!" Teriak Kai frustrasi.

"Aku juga berduka, Kai. Aku mengerti! Aku juga sedih dan kehilangan eyang. Tapi bukan seperti ini caranya. Tidak dengan mengurung diri dan melupakan sekitar. Kamu bahkan nggak merawat diri. Bayangkan kalau eyang tahu kamu seperti ini," kataku dengan mata berkaca-kaca.

"Bukan hanya kamu saja yang bersedih, Kai. Sudah cukup tiga hari ini kamu menenangkan diri." Kali ini suaraku pecah dengan isak. Kai menangkup wajahnya dengan sebelah tangan lalu beranjak menuju jendela.

Jendela ruangan ini berukuran besar dengan lis berwarna putih seperti halnya jendela-jendela lain di rumah ini. Namun yang menjadi pembeda adalah di ruangan ini sofa diletakkan di bawah jendela. Kai duduk di sofa itu. Melihat bahunya yang bergetar, aku tahu Kai menangis.

"Tidak apa-apa menangis, sayang. Air mata adalah perayaan menuju kebebasan. Untuk eyang, air matamu adalah perayaan kebebasannya menuju surga." Aku memeluk laki-laki kesayangan yang kini terisak.

"Aku menyesal, La."

"Aku tahu, Kai. Kita memang tidak bisa memutar waktu. Tapi setidaknya kita bisa belajar supaya di masa depan, tidak ada penyesalan lagi." Kutepuk punggung Kai perlahan seperti yang biasa dilakukan Ibu saat aku bersedih.

Kami menangis bersama selama lima belas menit. Berduka memang berat, tetapi jika ada orang di samping kita, beban kesedihan itu akan sedikit berkurang. Aku menatap air mata Kai yang terus saja meleleh. Di tengah-tengah polemik toxic masculinity, bagiku laki-laki yang sedang menangis adalah bukti bahwa mereka adalah manusia. Itu adalah tanda mereka memiliki emosi dan sisi yang rapuh.

I'm Inn Love (Tamat) Where stories live. Discover now