Bab 23 - Hari Saat Angin Bertiup

677 135 5
                                    

"Bila kau merasa sedih. Ingatlah bahwa kau tak sendiri. Tanpamu tak akan sama, tanpamu semua berbeda." – Nidji.

Aku menyeduh teh beraroma mawar yang menenangkan sementara sudut mataku terus melihat reaksi Kai. Laki-laki yang biasanya berisik menyuruhku membersihkan rumah pagi-pagi, saat ini hanya tercenung menatap layar televisi yang tidak dinyalakan.

Sambil menghela napas, kuletakkan dua cangkir teh yang masih mengepulkan uap di atas baki bersama dengan roti-roti panggang. Sudah 30 menit Kai berdiam seperti itu tanpa suara.

"Kai, minum dulu tehnya." Tahu kalau hanya bicara dengan udara, kuangkat tangan Kai dan meletakkan cangkir teh di sana. Secara naluri, Kai langsung menggenggam cangkir itu dengan kedua tangannya. Dia menghirup perlahan, merasakan aroma dan kehangatan menyebar dalam tubuh.

"Kamu nggak bisa terus diam bengong-bengong gini, Kai." Aku ikut menghirup teh dan memejamkan mata. Apa pun yang terjadi, baik atau buruk, bagiku teh adalah teman terbaik yang pernah ada.

Aku menyukai teh dalam berbagai aroma. Itu sebabnya teman-temanku seringkali mengirimkan teh dalam berbagai rasa yang kutata dalam toples-toples kaca cantik sebagai penghias dapur.

"Aku udah bingung harus bagaimana lagi, La," keluh Kai perlahan.

Saat matanya terangkat, aku sungguh melihat bahwa dia sangat kecewa. Sinar mata yang biasanya bersinar usil, sekarang padam. Kuhela napas perlahan. Aku juga sebenarnya sangat kecewa tetapi tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali mencoba mencari jalan lain.

Pagi-pagi sekali, ada telepon masuk ke dalam ponsel Kai. Suamiku itu sedang berolahraga serius di halaman belakang saat kuberikan ponsel yang terus menerus berbunyi. Aku ingat sekali Kai mengambil ponsel dengan tangan kanan dan handuk kecil dengan tangan kiri untuk menyeka keringatnya sambil tersenyum. Lalu seperti mendung yang menghalangi sinar matahari dalam sekejap, senyum itu hilang.

Pagi tadi, eyang Aaron, adik dari eyang Aurio menelepon. Dia jelas keberatan kalau kami menjual lukisan-lukisan yang telah dibeli oleh eyang Aurio dengan susah payah. Bukan hanya keberatan, eyang Aaron juga memarahi Kai yang katanya mau menguasai harta eyang Aurio sendirian. Ucapan itu telak menghantam Kai. Seumur hidupnya dia berusaha untuk lepas dari bayang-bayang nama keluarga besar karena tidak mau terlihat menarik keuntungan sedikit pun dari nama besar keluarga. Pagi ini, usaha itu dihancurkan tanpa sisa.

Aku tahu Kai adalah laki-laki yang penuh rasa bangga pada kemampuan dirinya sendiri. Dia pintar, luwes dalam bergaul dan mudah dicintai oleh lingkungannya. Selama bertahun-tahun orang mengenalnya sebagai Akamu Kaimana tanpa embel-embel Wiryawan setelah melihat kemampuannya.

Kusentuh lembut lengan Kai yang masih lengket oleh keringat olahraga. Biasanya akhir pekan seperti ini Kai akan langsung mandi setelah berolahraga lalu baru bermalas-malasan. Baru kali ini aku melihat laki-laki bermata cokelat yang sekarang menatap sayu ke arah televisi, mengabaikan kebiasaannya.

"Aku nggak pernah minta penginapan ini, La," ujarnya dengan nada sedih.

Mendengar suara dengan nada itu membuat dadaku perih. Kurengkuh Kai dalam pelukan sementara dia menyenderkan kepalanya dengan pasrah. Seperti anak kecil yang sedang bersedih dan membutuhkan kekuatan dari ibunya.

"Aku tahu, Kai." Perlahan kuusap rambutnya yang legam, merasakan kelembutan dan aroma khas Kai.

"Aku nggak pernah minta dilahirkan dengan nama Wiryawan."

Kali ini aku terdiam. Kai dan semua ego yang mungkin tumbuh sejak kecil.

"Ada sebuah cerita, alkisah ada seorang Raja yang berusaha melawan takdir. Raja itu didatangi oleh kakek yang mengatakan kalau penggantinya kelak bukan berasal dari keluarganya. Suatu hari Raja berburu dan tersesat. Di hutan itu dia hanya menemukan nyala lampu gubuk kecil. Sang Raja pun meminta izin untuk tinggal. Malam itu sang Raja bermimpi kalau anak yang akan lahir di malam itu akan menjadi penggantinya."

I'm Inn Love (Tamat) Where stories live. Discover now