Bab 6 - Hari Saat Kami Berdebat

1K 178 7
                                    

"Tetaplah bersamaku jadi teman hidupku. Berdua kita hadapi dunia." – Tulus.

Jika tiga hari yang lalu aku berhasil menarik Kai keluar dari gua pertapaannya yang penuh derai air mata dan penyesalan, maka kali ini aku tidak berhasil membujuknya. Kai terus menerus marah setelah pembacaan warisan selesai. Dia menolak mentah-mentah wasiat eyang untuk mengurus penginapan tua.

Tindakan Kai yang menolak tentu sudah kuduga. Seumur hidup Kai berusaha lepas dari bayang-bayang nama besar Wiryawan. Dia tidak mau berbisnis lalu dibicarakan sebagai aji mumpung. Selain itu, Kai berkata kalau menjadi trainer adalah jalan hidup yang dia mau.

Sebagai internal trainer di perusahaan start-up yang saat ini berkembang pesat menjadi unicorn, adalah impiannya. Dia senang berhadapan dengan banyak orang, berdiskusi dan terutama belajar.

Saat ini Kai sibuk di ruang kerja. Dia memang menyudahi cuti berdukanya untuk memberikan training kepada karyawan baru. Namun aku tahu kalau dia juga sedang mencari tahu cara untuk membatalkan wasiatnya.

Aku mencicipi teh dan berdecak puas saat merasakan manis yang pas di lidah. Biasanya sore-sore seperti ini aku memang membuat teh dan panganan sore. Hari ini cukuplah pisang goreng. Bagiku perpaduan teh hangat aroma melati dan pisang goreng merupakan hal yang sangat istimewa. Kutata mug teh dan piring berisi pisang goreng di atas nampan supaya mudah membawanya. Lupakan cangkir, menurutku lebih puas minum dari mug.

Kuketuk pintu ruang kerja saat tidak lagi terdengar suara Kai mengajar. Kai terdengar lelah saat menyuruhku masuk. Laki-laki kesayanganku itu sedang berdiri sambil meregangkan tubuh lalu duduk di sofa jendela. Dia menepuk sofa sebagai isyarat agar aku duduk di sana. Kuletakkan nampan di antara kami.

Kai tersenyum saat melihat panganan yang kubuat. Aroma vanili dari pisang goreng berpadu dengan aroma melati teh. Kurasa itu bisa membuat perasaan Kai membaik. Dia menyesap teh perlahan lalu memejamkan mata untuk meresapi aromanya. Sesaat kami berdua duduk berdampingan dan menyesap teh tanpa kata. Rasanya sangat menenangkan dan menyenangkan.

Kuperhatikan ruang dengan dinding berwarna biru lembut ini. Hanya ada beberapa perabot di sini. Sengaja, supaya ruangan tidak terlalu sempit. Kebanyakan interior dan dekorasi adalah barang-barang yang kupilih. Aku senang karena Kai bisa merasakan auraku saat bekerja di dalam sini.

Selama bekerja dari rumah, aku memang senang menulis di mana-mana. Berantakan, kata Kai. Namun aku suka berpindah-pindah tempat untuk merasakan suasana yang berbeda. Jika Kai bekerja di kantor, aku bisa bebas meletakkan barang-barang. Sedangkan jika Kai di rumah, aku harus siaga untuk membereskan segala sesuatu. Kai benci melihat barang tidak pada tempatnya. Percayalah, dia hafal semua letak barang-barang kecuali deretan buku di perpustakaan mini punyaku yang ada di pojok ruangan ini.

Memang hanya masalah waktu sampai Kai merapikan koleksi buku dan novelku lalu menyusunnya secara dramatis. Namun untuk saat ini, itu bukan kekhawatiran utamaku. Ada hal yang lebih penting lagi terkait dengan warisan.

"Sore ini cerah," kata Kai sambil melihat langit.

Aku menyetujui ucapan Kai. Sepertinya langit baru saja dicuci bersih sebab tidak ada awan sama sekali. Biru langit dan cahaya matahari sore yang telah melembut membuatku merasa tenang. Ini ketenangan pertama yang kurasakan sejak kepergian eyang.

"Ila, masalah wasiat eyang ...." Kai menggantung kalimatnya. Dia menatap mug teh dengan raut serius sampai aku tidak berani menyela dengan pertanyaan. Kai menghela napas kemudian menatapku.

"Aku tetap menolak wasiat eyang. Sungguh hal yang mustahil menerimanya."

Giliranku menghela napas. Kata-kata yang diucapkan eyang terus terngiang. Rupanya eyang sudah menyadari kalau cucu kesayangannya yang keras kepala ini akan menolak permintaan itu.

I'm Inn Love (Tamat) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora