Bab 9 - Hari Saat Aku Mengenang Hari Itu

897 158 2
                                    

"Maka ijinkanlah, aku mencintaimu. Atau bolehkan aku sekadar sayang padamu." – Chrisye

Seharusnya di hari yang cerah pada akhir pekan seperti ini, kami bisa melakukan kegiatan menyenangkan berdua. Berkebun misalnya atau hanya tidur-tiduran di kamar. Nyatanya kami berdua ada di dalam ruang kerja, sibuk menghitung-hitung biaya renovasi.

Aku melirik Kai yang terlihat serius dalam membuat perkiraan biaya. Kalau dipikir-pikir, suamiku ini memang tampan. Dia juga pintar, sesuatu hal yang mungkin tidak kumiliki. Lihat saja dia! Membuat perkiraan biaya dengan begitu rinci sampai kepalaku sakit. Mungkin bakatku hanya melamun dan mengetik cepat saja.

"Kenapa ngeliatin aku?" tanya Kai tanpa mengangkat kepalanya.

"Kamu ganteng," ucapku begitu saja lalu menghela napas.

Kali ini Kai mengangkat kepala lalu tertawa. Saat dia tertawa, matanya menyipit dan suaranya membuat perutku tergelitik. Aku sangat menikmati suaranya yang sedang tertawa, membuatku ingin terus membuatnya senang.

"Kamu ada-ada saja, La! Ya, udah pasti ganteng, dong. Makanya kamu terima lamaranku, kan?"

Aku cemberut. Dalam memilih pasangan hidup tentu saja aku tidak sedangkal itu. Menerima cintanya hanya karena tampang. Kalau itu saja sudah pasti hidupku akan menjadi dua hal, sengsara dan membosankan.

"Kai ... kalau aku terima kamu cuma karena tampang, udah pasti aku nggak akan ada di sini, repot-repot ngurusin warisan," sahutku kesal.

"Jadi kamu mau nikah sama aku karena tahu kalau aku akan terima warisan." Mata Kai mengerjap seolah terkejut.

"Iyalah." Ini hanya pembalasan karena Kai menggodaku dengan penilaian dangkal itu.

"Jadi cuma tampang dan harta? Nggak ada yang lain?"

Kupejamkan mata karena kesal. Sepertinya tamu bulananku benar-benar akan datang karena aku mudah terpancing dengan hal-hal kecil seperti ini.

"Ada, dong! Kamu pinter kalau urusan cium mencium." Akhirnya kujawab asal saja sambil menunduk dan menekuni daftar pekerjaan renovasi yang kami buat.

Tidak kuduga, Kai yang duduk berhadapan denganku malah berdiri. Dia memutari meja untuk mengangkatku berdiri dan langsung memeluk. Karena kaget, aku hanya membalas pelukan dan menepuk-nepuk punggungnya pelan.

"Beneran kamu suka aku cuma segitunya?" tanya Kai.

Aku harus mendongak untuk menatap wajah tampan yang terlihat sedih itu.

"Kamu beneran segitu dangkalnya menilai perasaanku?" balasku ingin tahu.

"Aku, kan, nggak tahu apa yang ada di pikiran kamu, La. Perempuan itu makhluk yang paling sulit dimengerti. Jadi aku percaya saja ucapanmu."

Wajah Kai yang memelas membuatku ingin tertawa. Dia memang lucu sekali. Meskipun terlahir di keluarga yang berada dan hidup berkecukupan, Kai tidak sedikit pun sombong. Dia bahkan seolah tidak tahu kalau dulu banyak perempuan yang mengincarnya untuk dijadikan suami hanya karena hartanya.

"Kenapa dulu kamu nggak pacaran, Kai?" tanyaku tiba-tiba.

"Malas. Orang-orang itu cuma tertarik sama aku karena nama keluargaku mungkin bisa menjamin hidup mereka."

Tentang hal itu aku juga tahu. Namun aku tidak tahu apa yang menggerakkan Kai untuk mendekati, berpacaran dan menikah denganku. Dia selalu bilang kalau bertemu denganku adalah takdirnya.

"Terus kenapa kamu tertarik sama aku?"

"Karena kamu beda. Kamu nggak ingat waktu pertama kali kita bertemu?" Kali ini Kai balas bertanya dengan senyum menggoda.

I'm Inn Love (Tamat) Where stories live. Discover now