Bab 8 - Hari Setelah Perang Dingin

992 165 4
                                    

"Buka kita buka jalan yang baru tebarkan senyum wajah gembira damai suasana baru. Bukalah bukalah semangat baru." – Ello, Barry, Ipank, Lala Karmela.

Sepanjang 28 tahun usiaku, tidak pernah aku mendengar kisah cinta yang mengharukan. Malam itu, aku bercerita pada Kai tentang penginapan. Mengandalkan ingatan, aku menuturkan isi dan bentuk masing-masing ruangan. Begitu sampai di cerita tentang pohon Tabebuya yang dibawa jauh-jauh dari Brasil. Aku tahu konglomerat bisa berbuat gila-gilaan dengan uang mereka, tetapi tetap saja membawa pohon demi orang yang dicintai adalah hal yang romantis menurutku.

Kai tercenung beberapa saat setelah mendengarkan ceritaku. Wajah yang tadinya ketus sudah mulai melembut dan beberapa kali senyumnya terbit saat mendengarkan ceritaku. Sepertinya gunung es mulai mencair.

"Kai, kamu ingat pernah ke sana?" tanyaku sambil melirik foto yang tergeletak di hadapan kami di meja makan.

Ibu pernah bilang kalau perut adalah jalan keluar hampir dari semua masalah. Jadi setelah Kai melepasku dengan enggan untuk membersihkan diri dan menyiapkan makan malam, aku juga mengeluarkan puding dan membuat teh hangat.

Mendengar pertanyaanku, mata Kai ikut melirik foto dengan dirinya tersenyum lebar di antara eyang Aurio dan eyang puteri. Dahinya berkerut seolah berpikir keras lalu Kai tersenyum lembut.

"Kamu ingat, Kai?" tanyaku lagi.

"Nggak," jawab Kai langsung. Senyum langsung hilang dari wajah tampannya.

Aku langsung melempar serbet yang dia tangkap sambil tertawa. Diam-diam aku merasa lega karena laki-laki yang iseng ini sudah tidak marah-marah lagi. Kai memang terlihat dewasa dan perfeksionis, padahal aslinya dia ini iseng dan manja, ditambah lagi suka merajuk.

"Tapi serius, La. Ingatan terakhirku itu sama eyang puteri di rumah sakit. Itu pas aku umur enam atau tujuh, ya? Ini berarti waktu aku lebih muda lagi. Aku bahkan nggak bisa bayangin ruangan-ruangan yang kamu ceritain tadi."

Hening sejenak selama kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku melihat Kai memainkan fotonya.

"Kamu tahu kalau nggak suka menggunakan nama keluarga untuk memulai bisnis kan, La?" tanya tiba-tiba.

"Iya! Aku tahu, Kai. Kamu nggak mau berbisnis karena kalau berhasil nanti kamu dianggap menggunakan nama besar keluarga. Kamu nggak mau kalau dianggap apa yang kamu perjuangkan adalah efek dari nama Wiryawan. Aku tahu semua yang kamu rasain, Kai," jawabku tidak sabar. Kai ini kenapa sih suka sekali mengulang pernyataan dan pertanyaan seperti kakek-kakek?

"Terus kenapa kamu bersikeras sekarang?" tantangnya.

Ya, Tuhan! Aku bisa gila bicara dengan Kai. Ini seperti bicara dengan tembok. Apa Kai tidak mendengar semua ucapanku kemarin-kemarin? Kuteguk air mineral dalam satu tegukan sampai Kai terlihat kaget.

"Dengar, ya, Akamu Kaimana Wiryawan! Aku sudah berulang kali mengatakan ini. Jadi ini adalah kata-kata terakhirku. Setelah itu terserah padamu untuk menerima atau menolak warisan eyang." Dadaku bergemuruh oleh amarah.

"Pertama! Eyang Aurio sendiri yang meminta tolong padaku untuk menyampaikan padamu agar mau mengurus penginapannya. Dia menitipkan cintanya padamu. Kedua! Pesan itu sejalan dengan wasiatnya. Ketiga! Aku mau membuktikan sendiri kalau eyang bukan sedang mencoba menjerumuskanmu untuk menjalankan bisnis. Dia hanya ingin menitipkan cintanya padamu, Kai. Kalaupun tempat itu dijadikan vila keluarga pada akhirnya, eyang juga pasti nggak keberatan." Napasku terengah-engah setelah mengucapkan kalimat panjang sarat dengan emosi.

"Nah, itu dia! Kenapa penginapannya nggak dijadiin vila keluarga?" tanya Kai mengernyit.

"Mana ku tahu! Cari tahu sendiri sana!"

I'm Inn Love (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang