Bab 16 - Hari Saat Dia Cemburu

795 128 0
                                    

"Dia untukku. Bukan untukmu. Dia milikku. Bukan milikmu. Pergilah kamu. Jangan kau ganggu" – Yovie & Nuno.

Aku bersidekap sambil menatap pemandangan di luar jendela. Sejak pandemi, melihat orang berlalu lalang di jalanan dengan mengenakan masker adalah hal biasa. Masih kuingat kalau dulu sedang sakit dan harus bekerja, aku selalu mengenakan masker dan selalu ditatap dengan pandangan aneh oleh orang lain. Dunia memang sudah berubah, manusia juga mulai berubah.

"Ila, sampai kapan ngambeknya?" suara Kai memecahkan keheningan karena dia tidak menyalakan radio.

Kalau saja kami tidak harus pergi ke penginapan untuk mengecek kemajuan, aku juga tidak mau semobil dengan Kai. Setidaknya untuk sekarang. Aku mengdengkus mendengar pertanyaan. Seharusnya dia sadar, bukannya malah bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi.

"Maaf, La. Aku tadi nggak sadar."

Ucapan dilontarkan dengan nada memelas dan malah membuatku kesal. Sedari pagi, Kai sudah ribut mengomel. Tentang toilet yang tidak ditutup setelah digunakan, sampai katanya aku salah menyusun piring yang sudah dicuci. Hal-hal kecil yang menurutku tidak perlu sampai membuatnya mengomel lebih galak daripada ibuku sendiri.

Tanpa menjawab ucapannya, kupilih tetap menatap jalanan. Kai menghela napas dan menyalakan radio sementara aku sibuk melamun. Kupikir menikah dengan Kai akan membuat laki-laki itu berkurang obsesinya terhadap kerapian dan kebersihan, ternyata tidak juga.

"La ... sayang, aku minta maaf. Aku salah udah bentak kamu tadi."

"Konyol tahu, Kai. Masa kamu bentak-bentak aku cuma gara-gara susunan piring? Itu hal paling absurd yang pernah terjadi, tahu?" Kali ini aku meledak marah.

"Sorry, La." Kai berusaha untuk menggenggam jemariku. Demi menjaga supaya mood tetap waras, aku diam saja.

"Aku udah berusaha buat ngurangin bawel kalau melihat hal yang di luar standarku. Kamu tahu itu berat, La? Dan karena tadi malam aku harus mengecek dana kita jadi sepertinya kelelahan membawa pergi akal sehatku juga. Maaf, La."

Kulirik mata Kai yang memang ada lingkaran hitamnya hari ini. Kuhela napas panjang, mungkin aku juga keterlaluan. Kami sama-sama lelah dan hal sekecil apa pun menjadi masalah. Itu hal yang wajar terjadi tetapi memang tidak sebaiknya berlarut-larut.

"Maaf juga kalau standarku belum sepertimu, Kai," gumamku pelan. Remasan di jemariku menandakan kalau kai masih merasa bersalah.

"Tapi kenapa sih kamu suka banget segala hal teratur dan rapi?" Tiba-tiba saja rasa ingin tahu yang selama ini terpendam, membuncah tanpa bisa kutahan lagi. Kai terdiam mendengar pertanyaanku. Mungkin dia juga sedang bertanya-tanya, kenapa bisa seperti itu.

"Kurasa karena eyang puteri yang mengajarkanku. Aku juga lupa, sih. Cuma samar-samar saja ingatnya pas eyang ngeliatin cara ngepel yang benar, cara lap barang-barang dan mengatur segala sesuatu. Mungkin itu pas eyang ngelola penginapan." Kai menjawab setelah berpikir beberapa saat.

Mendengar jawaban itu, aku kembali tercenung. Sampai saat ini aku masih juga belum bertanya pada mama Mili atau kak Loni karena kondisi keluarga Kai sedang tidak baik. Beberapa saat yang lalu, suami Kak Loni demam disusul dengan Abe dan kemudian kak Loni. Mereka bertiga positif menderita COVID-19. Sementara mama Mili yang bertemu dengan kak Loni juga harus menjalani isolasi mandiri.

Kondisi keluarganya ini juga yang membuat emosi Kai mungkin sedikit tidak stabil. Ditambah lagi, kemarin siang kami mendapat kabar kalau Pak Dirza, arsitek kami, juga sedang sakit. Semua pekerjaan Pak Dirza kemudian dialihkan ke salah satu karyawannya. Untuk melengkapi hari yang suram, kami juga mendapat kabar kalau ada masalah di salah satu konstruksi bangunan. Kemungkinan besar, dana renovasi akan membengkak. Inilah yang membuat Kai terpaksa mengecek perhitungan biaya sampai malam.

I'm Inn Love (Tamat) Where stories live. Discover now