Bab 10 - Hari Saat Hitungan Dimulai

905 158 5
                                    

"Harta yang paling berharga, adalah keluarga." – Bunga Citra Lestari.

Ayah dan Ibu menyambut saat kami datang. Sementara aku dan Kai mencuci tangan dulu sebelum memasuki rumah, Ibu sudah berteriak memanggil adikku untuk turun. Hari ini aku dan Kai memang sengaja datang mengunjungi orang tuaku. Selain menjenguk, kami juga akan membicarakan hal penting.

Adikku, Keanu Havika yang terpaut hanya tiga tahun denganku, terlihat berjalan santai. Dia bersalaman dengan Kai lalu ikut duduk di ruang tamu. Kami sudah lama sekali tidak bertemu karena pandemi ini membuat kami harus berdiam di rumah. Biasanya kami berkomunikasi melalui video call atau kalau mau mengobrol beramai-ramai, kami menggunakan Zoom.

Sebenarnya aku rindu sekali dengan suasana saat kami sekeluarga berkumpul. Apa daya, aku tidak mau memberikan resiko kepada kedua orang tuaku. Apalagi Kai terkadang masih harus masuk ke kantor. Namun saat ini aku dan Kai diminta datang khusus untuk membicarakan renovasi penginapan. Itu sebabnya kemarin kami berdua melakukan test dan setelah dinyatakan negatif dari virus, kami mengunjungi orang tuaku.

"Kalian sudah ke sana?" tanya Ayah saat kami menjelaskan rencana renovasi penginapan setelah makan siang.

Aku melirik Kai saat mendengar pertanyaan Ayah. Kai sudah datang ke penginapan bersamaku sebelum kami menghitung perkiraan biaya renovasi. Saat itu dia lama sekali termangu menatap bangunan tua tempat di mana eyang puteri pernah tinggal beberapa tahun. Mungkin seperti aku, dalam benak Kai timbul banyak pertanyaan. Kenapa eyang puteri tinggal di sini? Apa yang terjadi pada masa lalu?

Saat itu Mang Asep tergopoh-gopoh menghampiri dan matanya berkaca-kaca saat tahu kalau laki-laki di sampingku itu adalah Kai. Istri Mang Asep malah langsung tersedu terharu. Aku ingat sekali bagaimana canggungnya kami menghadapi dua orang tua yang menangis.

Setelah itu, Mang Asep menemani Kai mengelilingi penginapan seperti dulu dia mengajakku berkeliling. Mas Asep lalu meninggalkanku bersama Kai di Gazebo setelah selesai berkeliling.

Kami duduk berdua menatap pohon Tabebuya yang sedang bersiap untuk berbunga. Angin semilir dan cuaca yang cerah namun tidak terlalu terik, membawa kami berdua ke dalam suasana melankolis. Gunung Pangrango terlihat jelas dari tempat kami duduk.

"Aku masih belum ingat kenapa aku bisa melupakan tempat ini? Kenapa eyang nggak pernah cerita sama aku selama ini? Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan, La. Tapi mama bilang kalau aku harus mencari jawabannya sendiri. Masalahnya, aku tidak tahu harus memulai dari mana." Kai berkata dengan mata menerawang.

Kai adalah laki-laki dengan kehidupan yang teratur dan terencana. Dia bisa memperkirakan kemampuan dan tujuan hidupnya dengan baik. Mendapat warisan secara tiba-tiba berupa penginapan yang dia lupakan pasti akan mengacaukan pikirannya yang teratur.

Sore hari di bawah kaki gunung Pangrango itu, aku tertegun mendengar pertanyaan Kai. Aku hanya merasa kalau eyang meninggalkan teka-teki untuk cucu kesayangannya ini. Teka-teki yang mungkin harus kubantu menjawabnya.

"Kita bisa mulai dari merenovasi penginapan ini." Jawabanku disambut dengan senyum lembut Kai.

Sore itu aku bertekad untuk membantu Kai menemukan jawaban selagi merenovasi penginapan ini. Hanya saja, masih ada satu hal yang kusembunyikan. Bukan bermaksud tidak menceritakannya pada Kai, aku hanya merasa belum tepat untuk memberitahunya.

Suara dehaman Ayah mengalihkan pikiranku dari lamunan saat kami berdua datang ke penginapan. Kai memutus kontak mata kami dan mengangguk. Dia menjelaskan pada Ayah bahwa kami sudah datang dan memeriksa serta mencatat bagian-bagian mana yang butuh perbaikan atau perubahan.

Mang Asep memang banyak sekali membantu untuk memperbaiki peralatan yang rusak. Aku tahu kalau eyang Aurio mengucurkan dana yang cukup besar supaya Mang Asep bisa memperbaiki kerusakan. Itu sebabnya di bagian perbaikan, biaya yang diperlukan tidak terlalu banyak.

I'm Inn Love (Tamat) Where stories live. Discover now