Bab 22 - Hari Saat Kami Dinobatkan Sebagai Raja dan Ratu (Bucin)

715 126 6
                                    

"Dan kau hadir merubah segalanya. Menjadi lebih indah. Kau bawa cintaku setinggi angkasa. Membuatku merasa sempurna." – Adera.

Malam itu kami berbaring telungkup di tempat tidur dan memeriksa bersama-sama surat eyang. Kai mendengarkan ceritaku sambil sesekali mengambil surat. Dia bilang rasanya aneh mendengar orang lain bercerita tentang masa lalu di mana dia sama sekali tidak ingat. Hal yang kusyukuri adalah sakit kepala Kai tidak kumat.

"Kepalamu baik-baik saja, Kai?" tanyaku pada Kai yang sedang membaca surat ketiga.

"Baik, La."

Meskipun begitu aku tetap berjaga-jaga. Tanpa Kai tahu, aku sudah memilah surat-surat yang kuanggap aman untuk dia baca. Tadi aku juga sempat mengobrol dengan Kia, yang tentu saja setuju dengan tindakanku itu.

Kai tertawa saat membaca surat yang menceritakan kenakalannya. Kemudian matanya kembali berkaca-kaca saat menyadari kalau eyang Aurio terus mengulang-ulang informasi. Dia menoleh dan aku mengerti arti tatapannya.

"Ini memang seperti 50 first dates. Hanya saja eyang menggunakan media surat." Aku mengubah posisi menjadi duduk bersila.

"Tindakan eyang ini sungguh romantis. Bayangkan rasanya tidak bisa dekat dengan orang yang kamu cintai sementara orang itu berjuang mempertahankan ingatan. Ini adalah hal terbaik yang bisa dilakukan eyang selain mencari dokter dan perawatan." Aku mengelus surat-surat itu dengan sayang.

"Sekarang kamu ngerti kan, Kai? Kenapa penginapan ini jatuh padamu? Karena menurut eyang kamu pernah menjadi bagian dari cara eyang mempertahankan ingatan eyang puteri. Kamu adalah saksi hidup selain mang Asep dan Bi Neneng akan cinta tanpa batas eyang Aurio pada eyang puteri Leia. Itu sebabnya dia berkata di surat wasiat aku menitipkan cintaku padamu." Air mata menetes di pipiku. Tindakan eyang adalah hal paling romantis sekaligus paling menyedihkan bagiku.

Kai bangkit dari posisi telungkup lalu memelukku erat. Dia pasti menangis karena aku merasakan bahunya berguncang. Kami saling berpelukan dan menangis. Malam itu kami merindukan mereka yang telah pergi dan tidak akan kembali lagi.

Banyak hal kami bicarakan malam itu termasuk hubungan naik turun kami untuk saling menyesuaikan diri. Aku jadi ingat bagaimana Kai mengabaikan tumpahan air di depan pintu kamar tadi siang. Itu memberikanku contoh bahwa orang mungkin bisa berubah. Kami mungkin bisa berubah untuk saling menyesuaikan diri.

"Kurasa pindah ke sini adalah hal terbaik yang kita lakukan. Setidaknya kita sudah mengurangi frekuensi bertengkar," kata Kai sambil mengecup pipiku.

"Itu karena tempat ini belum perlu banyak dibersihkan. Lihat saja kalau sudah selesai renovasi, pasti kamu akan menyuruh-nyuruhku untuk mengelap sampai ke plafon-plafon," cibirku yang disambut dengan tawa Kai.

Tentu saja itu akan terjadi, tetapi aku tahu kalau itu terjadi Kai pasti mengambil pekerjaan yang paling berat. Meskipun cerewet untuk masalah kebersihan dan kerapian, dia selalu tidak tega untuk membiarkanku bekerja terlalu berat.

*

Keputusan untuk lukisan yang akan dijual sudah dibuat. Kami akan menjual satu lukisan Van Gogh dan satu lukisan Jackson Pollock. Kai sudah menghubungi pengacara kantor orang tuanya untuk membantu mengecek harga lukisan itu sekaligus memeriksakannya ke seorang kurator kenalan papa Ansell.

"Jangan berharap harganya tinggi, La. Kita nggak tahu itu lukisan asli atau palsu," kata Kai sambil mengaduk cornflakes. Hari ini menu sarapan yang dipilih Kai seperti menu anak-anak. Segelas susu dan semangkuk cornflakes dengan susu cokelat.

"Teganya kamu, Kai. Masa eyang Aurio kamu tuduh beli lukisan palsu," kataku sambil menyendok bubur buatan Bi Neneng. Aku ini tim bubur tidak diaduk. Jadi aku memakan bubur dengan topingnya secara berputar dan teratur. Mana bisa aku kenyang kalau hanya makan cornflakes. Bisa-bisa aku lemas saat harus berpikir tulisan-tulisan yang kuketik kalau kurang asupan energi.

I'm Inn Love (Tamat) Место, где живут истории. Откройте их для себя