Bab 18 - Hari Saat Aku Melihat Lukisan Itu

640 121 0
                                    

"Maybe I should think before I talk. I get emotional and words come out all wrong." – Astrid S.

Aku melihat Oliwa berdiri di depan penginapan saat mobil memasuki pekarangan. Teman Kai itu memang berkata akan datang ke penginapan hari ini untuk menunjukkan lukisan yang mereka temukan.

"Ada berapa yang lo temuin, Lie?" tanyaku saat kami memasuki penginapan. Oliwa membawaku langsung ke ruangan kedua di lantai dasar. Kamar eyang puteri sedang dalam tahap akhir dari renovasi sementara di lantai dua, seluruh rangka atap sedang dalam proses penggantian dari kayu ke baja ringan.

"Lo pasti kaget. Kami nemuin 24 kotak lukisan. Nggak semuanya karya pelukis terkenal. Banyak juga yang sepertinya karya amatir. Mungkin eyang Kai yang ngelukis itu."

Fakta yang diungkapkan Oliwa membuat dahiku mengernyit. Selama mengenal Kai dan keluarganya, tidak satu pun yang mengatakan kalau eyang Aurio senang melukis. Atau mungkinkah itu eyang puteri yang melukisnya?

Kami memasuki ruangan dengan tumpukan kotak kayu yang mencolok di bagian tengah. Melihat kotak dari kayu jati dengan fungsi yang luar biasa sampai mampu menjaga lukisan, aku tahu kalau kotak-kotak itu memiliki harga yang tidak main-main.

"Lo bakal kaget. Di kotak itu ada karya Rembrandt dan Van Gogh. Gila! Orang kaya emang nggak main-main koleksinya." Oliwa berkata dengan penuh semangat sambil membuka kotak-kotak yang dia sebutkan.

Aku tidak paham tentang lukisan, hanya saja saat kotak itu terbuka, aku tahu kalau benda di dalamnya sungguh berharga. Kai benar! Jika kami bisa menjual satu lukisan itu saja, segala macam rencana pinjam dana ke bank akan batal karena harga lukisan ini bisa mencapai milyaran rupiah.

Oliwa kemudian membuka lukisan-lukisan lain. Ada lukisan yang menggambarkan seorang perempuan duduk di gazebo penginapan dan menatap gunung Pangrango. Entah mengapa, rasanya hatiku sakit saat melihat lukisan itu. Mataku melihat lukisan lain yang separuh jadi. Potret keluarga namun tidak ada wajah di sana. Bulu kudukku merinding bukan karena seram, melainkan karena lukisan ini seolah mengisyaratkan rasa putus asa.

"Lo bener, Ollie. Ini lukisan yang dibuat eyang Aurio atau eyang puteri. Mungkin Mang Asep tahu tentang hal ini." Aku berdiri dan menatap Oliwa yang sedang melihatku seolah kaget.

"Kenapa, lo?"

"Oh. Nggak. Tadi gue kaget lo manggil gue pakai nama panggilan. Nggak gue sangka masih bisa dengar suara lo manggil nama gue kaya tadi." Oliwa tersenyum lebar dan aku terhenyak kaget.

Mungkin keputusan datang ke tempat ini dan bertemu Oliwa tanpa Kai merupakan ide buruk. Oliwa bersandar di dinding masih dengan senyum lebar. Seperti Kai, Oliwa juga bertubuh jangkung. Dia dan Kai seringkali bermain basket bersama. Itulah yang mempertemukan mereka berdua pada awalnya.

Aku berusaha mengabaikan ucapan Oliwa lalu melangkah keluar dari kamar, berniat menemui mang Asep. Penjaga penginapan itu pasti tahu tentang lukisan-lukisan ini. Saat melewati Oliwa, laki-laki itu tiba-tiba saja mencengkram lengan kananku.

"La, gue minta maaf buat yang waktu itu. Gue udah bikin hubungan kita nggak nyaman."

Kutatap mata Oliwa yang berwarna cokelat gelap lalu tersenyum. Mungkin seumur hidup aku akan berterima kasih pada perasaan yang diberikan Oliwa dulu. Perasaan yang membuatku tahu bagaimana kesungguhan Kai padaku. Namun, laki-laki di hadapanku ini juga harus bahagia.

"Itu masa lalu, Ollie. Udahlah, setelah ini lo harus janji sama gue buat ketemu orang yang tepat. Nah, sekarang gue mau ketemu sama mang Asep setelah tahu kemajuan pekerjaan di sini." Pembicaraanku dengan Oliwa tentang masa lalu biarlah selesai di sini. Aku melangkah ke lantai dua melihat kayu di mana-mana. Dengan tiga orang pekerja, renovasi ini akan memakan waktu cukup lama.

I'm Inn Love (Tamat) Where stories live. Discover now