Bab 3 - Hari Saat Langit Menangis

1.4K 219 9
                                    

"Dan lihatlah sayang. Hujan terus membasahi. Seolah turun air mata." - Marcel

Bagi sebagian orang, eyang atau kakek dan nenek adalah orang dalam lingkar keluarga yang memanjakan cucu. Bagi Kai, eyang adalah segalanya. Orang tua yang sibuk membangun bisnis membuat Kai lebih sering menghabiskan waktu bersama eyang puteri. Ketika eyang puteri meninggal, eyang kakung pun menumpukan hampir seluruh cintanya pada Kai. Orang-orang sering berkata kalau Kai memiliki fitur wajah mirip sekali dengan eyang puteri.

Kai selalu berkata kalau eyang kakung adalah salah satu dari sedikit orang yang tidak memaksanya untuk melakukan hal yang tidak suka. Bahkan eyang kakung hanya tertawa saat Kai berkata dia tidak mau berbisnis seperti apa yang lazim dilakukan keluarga besarnya.

Rasa cinta Kai pada eyangnya juga keluarga inilah yang membuatku jatuh cinta. Bagiku, orang yang memperlakukan keluarganya dengan baik akan berpeluang memperlakukan keluarganya sendiri dengan baik pula.

Saat berita kalau eyang jatuh dan tidak sadarkan diri, Kai seperti orang linglung. Dia bahkan memakai celana piyama bergaris favoritnya dipadu dengan kaus. Aku hanya menghela napas ketika suami yang sedang panik itu malah membentak dan menyuruhku bergegas.

"Kai, kamu bisa tenang?" tanyaku sambil melirik Kai yang terus menggoyangkan kakinya. Melihat kondisi Kai, aku tidak mengizinkannya untuk menyetir. Untunglah Kai tidak protes meskipun dia memelototiku saat menegur kalau dia salah menggunakan sandal.

"Gimana aku bisa tenang, Ila? Kalau ada apa-apa sama eyang ...." Laki-laki berambut hitam di sampingku ini memalingkan wajah menatap kegelapan di luar. Sore tadi cuaca cerah, tetapi sekarang sepertinya mendung karena tidak ada bulan atau bintang yang terlihat.

Aku ingin sekali memeluk Kai atau hanya sekedar menggenggam jemarinya untuk menenangkan. Namun, Kai paling tidak suka kalau aku memalingkan wajah bahkan hanya untuk beberapa menit saat menyetir. Dia bilang tidak percaya kalau aku biasa menyetir seperti laki-laki. Menurutnya 90% perempuan pasti akan membawa kendaraan dengan sein kanan tetapi belok kiri.

"Eyang orang yang kuat. Beliau pasti bertahan." Aku tahu kata-kata itu terdengar lemah. Sebenarnya kondisi eyang sudah menurun beberapa tahun terakhir. Jantung dan tekanan darah tinggi adalah penyakit yang bersemayam di tubuh tua itu. Kai selalu khawatir kalau eyang terkena stroke atau serangan jantung saat tidak ada orang yang menemani.

"Terima kasih sudah menghibur, La."

Rumah sakit internasional di kawasan Bintaro ini cukup ramai. Berhubung saat ini kondisi pandemi, setiap penjenguk dibatasi dan yang menemani pun harus menjalani tes swab. Tanpa banyak bicara dan setelah memelukku singkat, Kai bersama kedua orang tuanya menjalani tes swab.

"Eyang kena serangan jantung," ucap Kak Loni pelan. Matanya sembab dan berkaca-kaca.

Aku memutuskan untuk menemani Kak Loni dan Abe di dalam mobil mereka. Suami Kak Loni masih berada di luar kota, mengurus bisnis bus antar kota keluarga Wiryawan. Aku mengelus rambut tebal Abe yang tertidur nyenyak.

"Aku punya firasat kalau ini akan jadi yang terakhir." Suara Kak Loni yang sengau terdengar sangat sedih. Aku berusaha memeluk Kak Loni meskipun ada Abe di antara kami.

"Kita doakan saja yang terbaik ya, Kak." Sungguh aku tidak tahu harus berkata apa. Rintik hujan mulai datang. Aroma air hujan bertemu tanah yang biasanya kusukai, malam ini tidak dapat membuat sudut bibir naik dan tersenyum. Kepedihan yang dirasakan keluarga Wiryawan seolah merasuk dalam jiwaku.

Malam itu aku menginap di rumah keluarga besar Wiryawan. Hanya Kai yang tinggal di rumah sakit untuk menunggui eyang. Aku sendiri tidak keberatan, daripada harus kembali seorang diri di rumah kami, lebih baik ada di sini bersama-sama dengan yang lain.

I'm Inn Love (Tamat) Where stories live. Discover now