Bab 25 - Hari Ketika Badai Datang

745 127 6
                                    

"I'm just crying 'cause I can't escape what could've been." – Jorja Smith.

Hatiku terasa kebas kerena terlalu nyeri. Melihat seseorang yang kucintai seolah luluh lantak dalam satu waktu. Setelah mengucapkan kata-kata bahwa dia mengingat apa penyakit eyang puteri, Kai terdiam. Aku sampai takut kalau dia mengalami hal-hal di luar batas kewajaran.

"Eyang puteri terkena stroke karena aku," ucap Kai pilu.

Melalui ceritanya yang terputus-putus, aku mencoba memahami. Kai hanya ingat kalau dia marah saat eyang puteri mendadak lupa siapa dirinya. Padahal Kai selalu merasa kalau dirinya adalah cucu kesayangan eyang puteri.

Aku bisa membayangkan Kai kecil yang mengamuk dulu. Dia pasti merasa kesal karena eyang puteri melupakannya tanpa tahu kebenaran di balik sikap eyang. Namun aku tidak bisa memahami bagaimana kekesalan anak kecil akan membuat eyang puteri jatuh sakit.

Kai memejamkan mata perlahan. Raut wajahnya seolah bertambah tua beberapa tahun. Ketika bicara lagi, suaranya serak. Aku menggenggam kedua telapak tangan Kai yang lebar itu. Mencoba memberinya kekuatan agar berani menghadapi kenyataan.

"Eyang puteri tidak suka rumah yang berantakan. Hari itu, saat marah aku memberantakkan penginapan ini. Aku juga menyembunyikan sandal eyang. Lalu ...." Kai tersedak oleh tangisnya sendiri sementara aku tergugu saat mendengarkan kisahnya.

Eyang puteri yang mau ke kamar mandi di malam hari tidak bisa menemukan sandal rumah yang biasa dipakainya. Akhirnya eyang masuk ke dalam kamar mandi, tanpa sadar bahwa hawa dingin membuat tubuhnya kaget. Keesokan paginya, orang-orang menemukan eyang pingsan di dalam kamar mandi dengan tubuh separuh kaku.

"Orang-orang berkata kalau eyang jatuh di kamar mandi karena tidak memakai sandal. Itu semua karena aku yang menyembunyikan sandal eyang."

Kuelus rambut Kai dengan lembut sementara laki-laki yang besarnya dua kali tubuhku itu bergelung seolah menahan rasa sakit. Rasa bersalah yang begitu besarnya mampu membuat Kai kecil trauma dan demam selama beberapa hari. Setelah dia sembuh, ingatan akan rasa bersalah ikut lenyap bersama dengan setahun kenangan tinggal di penginapan ini.

Malam itu aku terjaga sementara Kai yang lelah setelah menangis dan menghadapi kenyataan, tertidur. Aku membuka surat-surat eyang lagi. Berharap ada surat setelah eyang puteri masuk ke rumah sakit. Namun nihil. Isi surat eyang Aurio kebanyakan hanya berupa cerita saat keliling dunia mencari lukisan yang disukai eyang puteri.

Menjelang subuh aku bangkit berdiri. Kepalaku pusing karena belum tidur. Mungkin segelas susu akan membantu. Saat menuang susu cair, aku tiba-tiba teringat lukisan separuh jadi tanpa wajah. Sepertinya lukisan itu belum selesai bukan karena demensia eyang bertambah parah melainkan karena eyang jatuh sakit.

Setelah meminum segelas susu, aku merasakan kantuk datang lalu memutuskan untuk tidur. Aku masih sempat memastikan Kai baik-baik saja sebelum masuk ke dalam selimut dan tertidur.

Matahari menyusup masuk melalui jendela saat aku terbangun. Sudah pukul sepuluh pagi. Tidak ada Kai di sampingku dan kamar sudah rapi. Kupikir Kai pasti sudah merasa lebih baik dan saat ini sedang berada di luar untuk memeriksa pekerjaan renovasi seperti yang biasa dia lakukan.

Aku mandi terlebih dulu lalu keluar dan menemukan Bi Neneng sedang memasak di dapur penginapan. Aroma sayur asem menguar. Aku juga bisa melihat ikan yang sedang dibumbui. Nanti siang menunya pasti ikan gurame goreng dan sayur asem. Kusapa Bi Neneng lalu langsung membantunya memasak. Mendekati tengah hari, aku baru sadar kalau Kai tidak turun-turun dari lantai atas.

"Kai lama banget di atas. Tumben," kataku sambil menyiapkan sambal.

Bi Neneng menatap heran dan perasaanku langsung tidak enak.

I'm Inn Love (Tamat) Where stories live. Discover now