Bab 17 - Hari Saat Dua Pendapat Bertemu

735 129 1
                                    

"Aku tak pernah melihat gunung menangis, biarpun matahari membakar tubuhnya." – Payung Teduh.

Hidup bersama Kai beberapa bulan belakangan membuatku paham kenapa pernikahan dianggap hal yang sakral. Dua kepala di dalam satu rumah kerap membuat kami berdebat atau bertengkar tentang hal yang remeh. Contohnya adalah pagi ini saat Kai tiba-tiba memutuskan untuk menyapu dan mengepel setelah subuh sedangkan aku malah mau kembali masuk ke dalam selimut.

"Harusnya kamu langsung nyapu ngepel dong, La. Aku kan nanti ada meeting terus lanjut harus kasih pelatihan ke anak-anak. Aku nggak mau kamu nanti mondar-mandir pas aku lagi kerja." Kai menggerutu saat aku turun dari tempat tidur dengan bibir cemberut.

Dua hari kemarin kami memang bolak-balik ke penginapan. Aku capek sekali dan hanya mau tidur lebih lama. Namun Kai terus menggerutu sampai akhirnya aku tidak tahan dan langsung bangun untuk membereskan rumah. Sambil mengerjakan pekerjaan rumah, aku berpikir hal apa yang bisa dilakukan untuk membalas Kai.

Saat aku menyapu kedua kalinya, tercium aroma telur goreng. Salah satu kelebihan Kai adalah dia tidak pernah membebankan seluruh pekerjaan rumah tangga padaku. Kami terbiasa bekerja sama supaya semua cepat selesai.

Setelah membereskan rumah dengan standar tinggi ala Kai yang mampu membuat seorang balita tidak berani menurunkan kakinya ke lantai saking bersihnya, aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kai paling tidak suka kalau duduk di meja makan dengan badan berkeringat. Dia sendiri sudah rapi dengan polo shirt meskipun dipadu dengan celana pendek. Katanya tidak perlu pakai celana panjang karena tidak terlihat di layar Zoom.

"Kamu mau ngapain hari ini, La?" tanya Kai.

"Tidur. Aku capek." Aku memang merasa Lelah. Aneh sekali rasanya tubuhku. Tidak seperti biasanya.

Mendengar jawabanku, Kai berhenti menyuapkan nasi goreng telurnya. Dia menatapku tajam lalu tiba-tiba saja bangkit untuk mengambil thermometer. Kuputar bola mata saat Kai memaksaku untuk mengecek suhu.

"I'm okay, Kai. Mungkin cuma capek," kilahku saat Kai menyuruhku untuk minum vitamin lalu langsung tidur. Hal yang tentu saja kuprotes. Aku tidak mau tidur setelah makan.

"Kenapa nggak mau, sih?" tanya Kai mulai tidak sabar. Aku sampai khawatir dia akan memanggul lalu melemparku ke tempat tidur.

"Nanti gendut, ah. Kamu mah enak. Makan nggak bikin buncit. Lah, aku? Lihat iklan kue aja nambah sekilo," sungutku kesal. Mendengar ucapanku itu, Kai terbahak-bahak.

"Makanya kalau aku ajak olahraga serius itu, kamu mau."

Kai memang terbiasa olahraga serius. Otot-otot di badannya tidak jadi begitu saja. Dia senang berolahraga. Hobinya yang utama adalah capoeira. Meskipun tergolong bela diri, tetapi Kai bilang itu hanya olahraga serius.

Aku mendengkus mendengar ucapan Kai. Awalnya aku mau saja saat Kai mengajariku dasar capoeira. Namun setelahnya aku tidak bisa jalan tiga hari karena kulit telapak kakiku lecet dan mengelupas parah. Ini membuatku heran karena gerakan awal capoeira itu lebih mirip tarian daripada bela diri, masa lecetnya bisa begitu parah?

"Sorry, Kai. Aku masih mau bisa jalan pakai kaki sendiri."

"Ok, sayang. Nanti boleh pilih olahraga serius sendiri. Yoga misalnya." Kai masih saja tergelak melihat wajah cemberutku.

Usulan Kai sebenarnya tidak buruk. Yoga sepertinya menyenangkan. Tidak perlu banyak bergerak heboh tetapi bisa membantu menguatkan badan. Aku jadi ingat Kia karena sahabatku itu mengikuti kelas yoga secara virtual selama pandemi ini.

"Yoga sepertinya lebih baik daripada olahraga seriusmu itu," kataku sambil berjalan menuju kamar setelah meminum vitamin. Di sampingku Kai tersenyum lebar.

I'm Inn Love (Tamat) Where stories live. Discover now