Bab 30 - Hari Ketika Semua Menjadi Jernih

2.6K 204 19
                                    

"This is how you fall in love. Let go and I'll hold you up. So pull me tight and close your eyes. Oh, my love, side to side." - Jeremy Zucker, Chelsea Cutler.

Aku duduk dengan gelisah di hadapan Kak Loni. Tidak tahu harus berkata apa pada kakak perempuan Kai ini. Bagaimana kalau dia tidak terima aku menginggalkan Kai begitu saja? Apalagi kondisi Kai nyaris mengenaskan. Aku saja tadi nyaris memekik kaget saat melihat penampilan Kai. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas. Dia jelas habis bercukur, tetapi hal itu justru memperlihatkan betapa tirus pipinya.

Belum sempat aku berkata apa-apa, Kak Loni sudah mengambil alih dengan berdiri di hadapanku dan tersenyum. Aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membiarkan mereka masuk. Setelah mencuci tangan, Kak Loni meminta izin pada Ibu untuk mengobrol denganku. Sementara Ibu mengajak Kai untuk mencicipi teh bunga kebanggaannya.

Seperti diriku yang memiliki koleksi teh bunga, Ibu juga melakukan hal yang sama. Malah kebiasaanku itu menurun dari Ibu. Kak Loni mengikuti ke arah kamar masa remajaku. Seperti pembawaannya yang santai, Kak Loni juga tidak canggung berada di tempat baru.

"Aku sudah diberi tahu Kai tentang masalah kalian, Ila," kata Kak Loni sambil duduk di kursi santai tempatku biasa membaca buku.

Hal itu sudah kuduga mengingat Kai pasti butuh teman bicara. Aku duduk di kursi kayu setelah membereskan buku-buku yang bertebaran.

"Ide menjual rumah kalian itu dari aku, Ila. Kai waktu itu hanya berkata kalau akan membicarakannya denganmu dulu. Salahku adalah langsung bicara padamu dan tanpa sadar menimbulkan kesalahpahaman ini." Kak Loni menghela napas panjang.

"Kamu tahu, sepanjang 29 tahun hidupnya, Kai tidak pernah seperti ini. Dia terstruktur, memiliki rencana jangka panjang dan pendek serta teratur. Selain tukang bersih-bersih ya, La." Kak Loni terkekeh sendiri saat membicarakan Kai.

Aku tahu sekali apa maksud Kak Loni. Kai memang memiliki kelebihan sebagai seorang perencana, pembuat strategi dan dengan konsisten menjalaninya. Dibandingkan denganku yang hidup mengalir apa adanya, hidup Kai tentu saja jauh lebih teratur.

"Suatu hari, dia berubah. Kai lebih banyak tertawa dan tersenyum. Dia juga tiba-tiba saja tidak masalah jika apa yang sudah direncanakannya berubah. Itu adalah saat dia mengenalmu, La. Meskipun masih hobi beres-beres kaya mama Mili, tapi Kai mulai luwes dalam bersikap."

Pembicaraan ini membuatku bingung. Kenapa juga Kak Loni jadi membicarakan masa lalu Kai? Kakak perempuan Kai itu tersenyum saat melihatku bingung. Dia menghela napas sekali lagi lalu mulai bercerita.

Kai kecil dulu anak yang spontan dan ceria. Dia senang sekali bercanda. Bagi Kai ada dua orang yang sangat disayanginya, eyang Aurio dan eyang puteri. Ketika Kai berusaha lima tahun, eyang Aurio membeli penginapan di kaki gunung Pangrango itu sebagai tempat peristirahatan karena demensia eyang puteri bertambah parah.

Awalnya hanya berfungsi sebagai rumah peristirahatan, tetapi eyang puteri kesepian dan berkata ingin membuat tempat itu sebagai penginapan. Sejak berubah fungsi, tempat itu menjadi ramai. Eyang puteri bisa menyesuaikan diri dan demensia itu seolah berhenti di tempat. Tidak membaik, tetapi juga tidak bertambah buruk.

Suatu hari, Kai yang datang melihat eyang melukis di halaman belakang. Ini adalah lukisan mama Mili. Melihat eyang yang pandai melukis, Kai pun merengek ingin belajar melukis. Maka dia tinggal di penginapan itu menemani eyang puteri. Untuk Kai belajar, eyang Aurio membayar seorang guru pribadi.

"Keberadaan Kai membuat eyang puteri sedikit membaik. Namun suatu hari, perawat eyang puteri izin untuk pergi sebentar karena suaminya sakit. Hanya ada Bi Neneng yang menemani. Itu adalah hari ketika penyakit eyang puteri kumat. Ketika melihat Kai melintas, eyang puteri bertanya siapa dia. Kai masih terlalu kecil dan dia marah, mengira eyang puteri benar-benar melupakannya."

I'm Inn Love (Tamat) Where stories live. Discover now