Artara's 41st (2)

20.3K 1.8K 46
                                    

.

Lapangan indoor dan hall yang bersebelahan telah disetting sedemikian rupa. Kini, lapangan tersebut telah dipenuhi oleh siswa-siswi baik SMA Artara maupun SMA-SMA yang mendapat undangan untuk pertandingan basket sebagai pembuka peringatan HUT SMA Artara yang ke-41.

Juna baru saja menutup pintu lokernya ketika seseorang menepuk bahunya. Ia menoleh dan mendapati ruang ganti yang sudah sepi. Tinggal dirinya dan Arvin yang masih di sana.

"Bentar lagi resmi nih, Kapten?" Ledek Arvin yang kini membenahi lokernya sendiri.

Juna terkekeh pelan. Ia bersandar di pintu loker yang telah ditutup sambil menekan-nekan layar ponselnya.

"Nggak nyangka aja. Dulu ada yang pernah bilang gue bakal jadi kapten, kejadian beneran," sahutnya.

Arvin meliriknya sebentar. Senyum miringnya tercetak sempurna.

"Biasanya yang diomongin Luna emang kejadian beneran," tanggapnya sambil terkekeh tanpa menghiraukan Juna yang kini menatapnya tajam.

Melihat Juna tampak tidak ingin merespon, Arvin memilih untuk menghadap cowok itu.

"Maksud lo apa?" Ujar Juna.

Arvin mengedikkan bahunya, "Ngomongin Luna? Kenapa? Lo nggak sadar lo duluan yang ngungkit-ngungkit Luna barusan?"

"Udahlah. Gue udahan sama dia. Bukannya harusnya lo seneng?"

Arvin tidak menjawab. Ia membenarkan tali sepatunya dan menutup lokernya sendiri.

"Gue tau, kok. Lo putus sama Luna bukan karena Diandra," Arvin menyunggingkan senyum kemenangan. "Tapi karena gue."

Nada itu sarat akan ejekan. Juna tampak terkejut meski ia bisa menyamarkannya. Jauh dalam hatinya, ia membenarkan perkataan Arvin. Karena itulah ia hanya bungkam.

"Lo egois," lanjut Arvin. "Lo udah milikin hatinya, semuanya. Tapi lo nyuruh dia jauhin gue. Yang jelas-jelas nggak bakal dilirik sama dia."

Arvin menghela napas berat. Kemudian, ia menghempaskan punggungnya pada loker hingga menimbulkan suara yang cukup keras.

"Lo nggak tau, Luna sayang banget sama lo. Dan lo, nggak pantes dapetin itu," tambahnya sambil menepuk-nepuk bahu Juna.

"Cuma pengecut yang jadiin cewek pelarian."

Juna menoleh, menatap Arvin tajam yang kini melangkah keluar. Kata 'pengecut' membuat kilatan dimatanya tampak kentara. Baginya, pengecut hampir setara dengan brengsek, dan levelnya lebih menjijikkan.

"Gue bukan pengecut," desisnya.

"Kita liat nanti. Kapan lo buang Diandra kaya lo buang Luna."

******

"Kenapa, sih, muka lo ditekuk mulu?"

Luna menoleh pada Kania yang duduk di sebelahnya. Matanya mengedar ke penjuru tribun yang sudah dipenuhi anak-anak SMA dengan seragam yang berbeda-beda. Ia tidak begitu fokus kali ini. Bukan hanya karena masalah hatinya yang belum juga membaik tiap melihat Juna, tapi juga hari kemarin. Hari dimana ia membulatkan cita-citanya untuk menjadi dokter. Apa mungkin?

"Biarin. Gue, sih, ditekuk-tekuk aja tetep cantik. Emang lo," tanggap Luna malas.

Kania balik menatap Luna malas. "Najis," cibirnya sambil beranjak berdiri dan pergi ke kumpulan anak cheers yang sudah berdiri di tepi lapangan.

Luna masih ingin duduk. Ingin sekali matanya melirik ke sebelah kiri, karena ia tahu sekali, Juna juga sedang duduk di sana. Sekitar tiga meter dari posisinya. Ia mengedarkan pandangan ke manapun asal bukan Juna. Tiba-tiba, seseorang mengangkat dagunya, membuatnya mendongak.

The Ex [Completed]Onde histórias criam vida. Descubra agora