Flashlight

16.6K 1.5K 66
                                    

I got all I need when I got you and I,
I look around me and see a sweet life,
Stuck in the dark but you're my flashlight,
You're getting me through the night."

Flashlight - Jessie J

*****

Anterior cruciate ligament adalah urat yang menjaga kestabilan gerak lutut. Cedera ACL biasa terjadi saat berlari cepat kemudian berputar arah, atau lompat dan jatuh dengan lutut terpelintir. Seperti yang Anda bilang bahwa sebelumnya pasien sempat terjatuh ketika berlari dan tengah melakukan gerakan pemanduk sorak.

Setelah 1-2 hari bisa ditindak lanjuti dengan operasi. Kami tidak bisa menjanjikan apa-apa. Setelah operasi, dia baru bisa benar-benar pulih setelah 6 bulan. Dia bisa berjalan seperti biasa, namun tidak bisa melakukan kegiatan yang berat.

Harap Bapak dan Ibu mengerti. Setelah operasi, meskipun akan baik-baik saja, mungkin tidak akan sama lagi.

Arvin menyentil dahi Luna yang tengah tertidur pulas. Usai mendapat kabar dari beberapa siswa yang menyaksikan kejadian naas dilapangan tadi, ia langsung pergi dari sekolah dan menuju ke Rumah Sakit Citra Medika.

Dengan pelan, ia mengusap rambut cewek yang tengah terbaring damai tersebut.

"Setelah ini, pasti akan sulit banget buat lo."

"Sulit kenapa?" Luna tiba-tiba membuka matanya dan menatap Arvin dengan jenaka.

"Bentar lagi juga sembuh paling. Nggak sakit-sakit banget, kok!"

Arvin hanya tersenyum kecut.

Pintu terketuk dan terbuka. Arvin pikir itu adalah Mama Luna yang baru kembali setelah mengantarkan Papa Luna ke depan. Namun, ternyata teman-teman kelasnya Luna dan beberapa teman yang kenal Luna.

"Lho? Kok, lo udah di sini? Tadi gue juga ketemu Adrian sama Sasha di depan. Kok? Kok lo bisa bolos?"

Kania berdecak. "Kok lo bolos nggak bilang yang lain? Parah lo, Vin!" Tambahnya.

Arvin hanya terkekeh geli. Ia memberikan ruang yang cukup untuk sahabat-sahabat Luna mendekat.

"Lunnn! Lo kenapa nggak di sekolah pas ulangan Kimia, sih? Gue, kan, jadi sedih. Kalo nggak ada lo, nanti nggak ada nilai yang lebih jelek dari gue dong!"

Plak! Satu toyoran mendarat dipelipis Sheila.

"Lagi sakit juga, diingetin sama ulangan!" Cibir Kania.

"Adrian kok pulang?" Tanya Vita.
"Dia mau nganterin Sasha pulang," jawab Rian mewakili.

Jawaban tersebut ternyata menimbulkan keingintahuan mereka para jiwa-jiwa tukang gosip.

"Terus, terus, dia janji balik lagi?"
Luna menggeleng. "Dia langsung pulang ke rumah."

"Wah, parah. Lo gagal pdkt sama Adrian, ya? Tuh cowok ko--"

Luna tersenyum. "Dia mau jemput mamanya buat jengukin gue."

Setelah hening sepersekian detik, teman-teman Luna menatap Luna kesal sambil mencibir.

"Emang lo, Vit. Ketemu nyokapnya Denis aja nggak berani," cibir Kania di sela-sela tawanya.

Arvin hendak melerai perdebatan yang tampak mengganggu masa istirahat Luna. Namun, matanya tertuju pada Juna yang tidak tersenyum sama sekali. Rahangnya belum bergerak bahkan untuk tertawa maupun berbicara. Matanya menatap lurus-lurus ke arah Luna.

Sambil berjalan keluar, Arvin menyenggol lengan Juna. Mengajak cowok itu untuk berbicara di luar.

Mereka duduk di bangku koridor depan rumah sakit. Takut ada anak yang mendengar pembicaraan mereka.

"Gimana, Jun?"

Tanpa menatap Arvin, Juna langsung tahu arah pembicaraan ini.

"Refleks itu salah satu bentuk kejujuran," ujar Arvin dengan nada yang bijak.

"To the point aja maksud lo apa sekarang."

Arvin tersenyum tipis. "Setelah ini, Luna bakal butuh banget seseorang yang bisa nopang dia. Khususnya secara psikis. Kalo lo memilih untuk tetap menghindar, maka gue pastikan Adrian yang akan jadi orang itu."

Melihat Juna hanya bergeming, Arvin berdecak dan memutuskan untuk beranjak pergi.

"Terus kenapa?"

Arvin menoleh dan menaikkan sebelah alisnya. Meledek.

"Apa lo seyakin itu posisi lo nggak akan tergantikan?"

*****

Satu hari. Dua hari. Tiga hari.

Operasi yang telah dijadwalkan pun terlaksana dengan lancar di hari ketiga. Semuanya berjalan baik. Namun, setelahnya Luna memang harus tahu kondisi sebenarnya. Bagaimana ia tidak bisa seperti dulu. Bagaimana ia tidak bisa memperjuangkan club cheerleader dan ADC.

Raka tengah duduk di lorong rumah sakit ketika Adrian baru saja datang. Ia tidak menyapa Raka yang memang tampak tidak ingin bertegur sapa. Diliriknya gadis yang tengah duduk bersandar di ranjang dan menekuk kedua tangannya di dada. Matanya menatap lekat-lekat pada kaki yang terjulur dengan perban di lutut kirinya. Sesekali gadis itu menyunggingkan senyum sambil berdecak.

"Kemarin, nggak gitu."

Adrian menoleh menatap Raka yang tidak bergerak, tapi mengajaknya berbicara.

"Apa gue bisa ke Aussi lagi kalo gini ceritanya?"

Raka menyandarkan punggungnya pada tembok dengan lebih dalam. Ia melirik sekilas Adrian yang duduk di sebelahnya.

Raka mengangkat dua buah tiket ditangannya. Sebuah tiket turnamen basket dan sebuah tiket acara battle dance di SMA Pelita.

"Ada banyak yang harus dia lakukan sebelum jadi pelajar tingkat akhir," gumam Adrian.

"Kalo gitu, lo jangan memperberat masalahnya. Jauhin dia aja, mulai sekarang."

Adrian menghela napas berat. Senyumnya menyungging tipis penuh rasa heran.

"Nggak tau kenapa, kali ini kekhawatiran gue sama posisinya seperti lo," tanggapnya. "Sebagai kakaknya."

*****

"Makan di luar, yuk?"

Juna mendongak ketika sebuah suara muncul di sampingnya.

"Udah selesai bimbingannya?" Tanya Juna dengan wajah sumringah.

Diandra menggeleng pelan. Ia menunjukkan jadwal bimbingan bahwa saat ini ia tengah istirahat selama satu jam.

"Oh," tanggapnya. "Nggak usah lah. Makan di kantin aja."

Diandra melirik Juna yang tiba-tiba beranjak dan berjalan ke arah kantin. Ketika Diandra belum bergerak juga, cowok itu menoleh dan mengajaknya untuk lekas beranjak.

Cowok itu tampak tidak seperti biasanya. Irit bicara dan tidak menyentuh bola basket sama sekali untuk latihan menjelang turnamen.

"Bakso satu, Bu," pesan Juna. "Lo makan apa, Di?"

"Jus jeruk aja."

Hening. Sesekali Diandra membolak-balik buku Kimianya agar Juna tidak merasa diperhatikan.

"Kalo lo mau jenguk Luna, nggak harus sama gue, kok," ujar Diandra tiba-tiba.

Juna menoleh. Alisnya terangkat. Heran Diandra bisa menebak-nebaknya dengan begitu lugas. Apakah gerak-geriknya terlalu kentara?

Diandra menarik napas. "Gue percaya sama lo."
Untuk pertama kalinya ia akan mengucapkan kalimat yang selalu ingin diucapkannya. Selalu berharap Juna menanyakan sebuah kepercayaan padanya.

Entah kenapa kali ini dia ingin Juna terus berada di sampingnya. Ia tidak bisa lagi munafik untuk berpura-pura tidak tahu bahwa diantara Juna dan Luna masih ada barang secuil perasaan. Namun, tidakkah kehadirannya bisa menghapus noda secuil itu? Ia terhenyak begitu ia sadar. Hatinya, mulai menuntut lebih.


*****

The Ex [Completed]Where stories live. Discover now