Is it too late now to say sorry?

17.3K 1.5K 54
                                    


*

Pagi itu Luna duduk di bed sembari memfokuskan diri pada buku di pangkuannya. Malam ini dia sudah bisa keluar dari rumah sakit. Otomatis, besok dia sudah bisa masuk sekolah dan mengikuti susulan UAS. Sesekali dia menguap membaca catatan Kimia Diandra yang sudah dibacanya berulang-ulang akan tetapi tidak menambah pemahamannya sama sekali.

"Kayanya gue salah masuk jurusan," ujarnya lalu meneguk susu hangat yang diletakkan di nakas.

"Hai!"

Luna tersentak, lalu cepat-cepat diletakkannya gelas susu kembali ke tempatnya.

"Astaghfirullah! Lo gila, ya, Yan?! Kalo gue keselek gimana?"

Adrian baru saja masuk tanpa mengetuk pintu dahulu. Untung saja sewaktu Adrian masuk tadi, Luna telah selesai meneguk susunya. Sementara itu, Adrian hanya meringis tanpa rasa bersalah.

"Nih, gue bawain makan--, wow," Adrian menghentikan kalimatnya. Ia menempelkan punggung tangan kanannya ke dahi Luna, membuat sang empunya menggeleng risih.

"Kemarin pas lo jatuh, cuma lutut lo kan yang luka? Kepala lo enggak?"

Luna mengernyitkan dahi. Sejurus kemudian, ia memahami maksud tersirat Adrian.

"Lo kira gue semales apa? Gini-gini gue masih mikir belajar kali," tanggapnya.

Adrian tertawa kecil. "Kirain efek samping obatnya bikin lo 'sakit'."

"Tumben nggak sama Sasha? Biasanya lo kalo jengukin gue sama Sashaaa terus," cibir Luna.

Adrian mengedikkan bahu. "Tadi gue ngajakin, tapi katanya mau belajar. Bohong banget nggak? Dia kan bangunnya pas dzuhur kalo hari libur gini."

Luna mengangguk-angguk pelan mengiyakan. Entah kenapa ia agak risih mendengar Adrian membicarakan Sasha seolah-olah mereka begitu dekat. Meskipun kenyataannya memang demikian.

"Sendirian dong? Jomblo banget," ujar Luna sembari membuka kantong plastik yang Adrian bawa.

"Sama-sama." Sindir Adrian menyadari Luna sama sekali tidak berterima kasih padanya.

"Gue tanya sama siapa datengnya."

"Sama mama," jawab Adrian singkat.

"Terus, tante mana? Kok, nggak ikut masuk?"

Adrian terdiam sejenak. Ia melirik ke arah pintu, kemudian menatap Luna kembali. Senyum paksanya tersungging, meskipun Luna tidak menyadarinya.

"Lagi ngobrol sama nyokap lo."

*****

"Kenapa, sih, Mba? Itu sudah sangat lama bahkan mungkin mas Rama sudah melupakannya, kenap--"

"Disitulah posisi kalian," ujar Anastasia sambil tersenyum kecut. Matanya lurus-lurus menatap ke depan. Alih-alih menatap balik lawan bicaranya Ranti, ibu Adrian, ia justru menatap lantai putih yang sesekali diinjak oleh orang-orang yang lewat dihadapan mereka.

"Kamu nggak akan mengerti karena kamu nggak berada di posisi yang dikhianati. Dibohongi," lanjutnya.

Ranti bergeming. Matanya yang sedari tadi menatap Anastasia lambat laun beralih.

"Aku minta maaf, Mba. Untuk kesekian kalinya aku minta maaf," lirihnya.

Mereka sama-sama diam. Menyisakan langkah kaki orang-orang dihadapan mereka. Bernapas pelan-pelan merasakan bau khas rumah sakit sekaligus sesak yang mendera karena perasaan mereka yang tak kunjung membaik.

"Kalau kamu ingin minta maaf," Anastasia menoleh, "jauhkan Adrian dari Luna. Kali ini, aku yang memohon."

Ranti terkejut, bukan karena kalimat yang terlontar dari mulut Anastasia, tapi ketika wanita itu menoleh sambil mengucapkan kalimat itu, wajah keras dan dingin itu berubah. Matanya berkaca-kaca dan cairan bening menetes. Memilukan.

The Ex [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang