From The Very First

14.2K 1K 22
                                    

"Yang namanya Rejuna Ardianata maju! Sekarang!"

Juna berdiri dengan tergesa. Mengumpat, ketika tali cocard-nya sedikit tersangkut pada jari tangannya sendiri membuatnya setengah tercekik. Sesekali ia menoleh ke arah gerombolannya di belakang dengan mimik wajah bertanya. Salah apa dia sampai kakak kelas panitia MOS memanggilnya dengan marah begitu?

"Kamu sadar nggak, kesalahan kamu apa?"

"Hari ketiga! Masih salah?!"

Juna berdecak. Kakak kelas-kakak kelas di hadapannya bersahut-sahutan membuat kepalanya pening.

"Maaf, saya nggak merasa melakukan kesalahan, Kak," sahutnya tak gentar.

Nyalinya sedikit menciut ketika senior-seniornya melotot terkejut. Tapi tetap saja, ia sama sekali tidak merasa melakukan kesalahan. Meskipun salah satu biang onar di kelas, ia tetap mengerjakan semua tugas dengan baik.

"Juna teman kalian, bukan?!" tanya salah satu senior tersebut pada anak-anak lain.

Serempak semua menjawab, "Iya, Kak."

"Jadi, siapa yang berani mengingatkan apa kesalahan yang diperbuat teman kalian ini?!"

Hening. Tidak ada yang bergerak. Tiap-tiap anak sibuk menunduk, menghindari kontak mata dengan para senior di sekeliling mereka. Hingga sebuah tangan terangkat. Juna dapat melihatnya berasal dari kelompok MOS yang sama dengannya melalui slayer biru di lengan.

"Juna naksir Kak Talita."

Seketika semua orang terkesiap tak terkecuali Juna. Detik berikutnya, ia menatap tajam cewek itu. Luna sialan.

"Perkenalkan nama, kelompok."

"Nama Aluna Annaura, dari kelompok Ki Hajar Dewantara."

"Maju."

Juna mengamati gerak-gerik Luna yang melangkah maju tanpa malu. Sesekali cewek itu meliriknya, lalu melemparkan senyum jenaka. Pandangannya beralih pada Talita, yang berdiri di tepi lapangan. Dengan profesionalnya menatap Juna datar.

Shit, Juna pun harus tak sengaja menatap Ferdi, panitia MOS yang mereka kenal mempunyai hubungan khusus dengan Talita. Dari sekian banyak celetukan asal di otak Luna, kenapa itu, sih, yang dia keluarkan? Matanya beralih ke Luna yang sudah berdiri di sampingnya.

"Siapa suruh lirik-lirik?!"

Punggung Juna menegang. Ia harus mengeksekusi Luna sore ini. Tepat usai MOS, batinnya kesal.

"Kesalahan kamu yang lain, apa?!"

Mana gue tau emang gue cenayang, "Maaf, saya tidak tahu, Kak."

"Kesalahan kamu yang lain," sebuah suara muncul tiba-tiba. Sosok yang dikenal sebagai ketua panitia MOS SMA Artara maju dengan memandangi lembaran kertas di tangannya.

"adalah," Dio, sang ketua panitia memelankan suaranya. "Kamu tidak memberi tahu teman-temanmu bahwa hari ini kamu ulang tahun."

Juna terperangah. Apalagi ketika sosok Talita bak bidadari dari Surga yang kini sudah membawakan sekotak kue ulang tahun dengan lilin di atasnya. Ia menoleh ke teman-temannya yang kini sudah bersorak-sorak, sama terkejutnya dengan Juna. Tidak menyangka bahwa evaluasi hari terakhir MOS ada kejutan seperti ini.

"Dek Juna?"

Juna menggelengkan kepalanya. Masih berusaha fokus dari keterkejutannya. Juga memfokuskan diri untuk menatap sosok Talita yang... siapa, sih, adik kelas yang tidak kagum pada sosok Talita? Pintar, wawasannya luas, ramah, baik lagi. Coba bandingkan dengan setan cantik seperti Luna yang tawanya bak lagu pengantar ke pintu Neraka.

"Eh, iya, Kak?"

"Ini potongan cake-nya buat siapa?"

Juna melirik potongan kue kecil yang disodorkan oleh Talita. Sepertinya cewek itu memotongnya ketika Juna selesai meniup lilin dan pikirannya melayang ke mana-mana.

"Eh, ng...." Baru saja Juna ingin menyebutkan "Kak Talita" matanya menangkap sosok Ferdi di belakang kakak kelas cantik itu, membuatnya berdehem dan dengan malas menyodorkan ke arah Luna.

"Buat lo aj-"

Pluk.

Ada sesuatu yang salah.

Juna masih memejamkan mata, lalu menggeram kesal. Tepat ketika oa menyodorkan potongan kue ke arah Luna, cewek itu malah dengan cepat mengarahkan tangan Juna ke wajah, membuat kue-kue tak berdosa itu menempel di sebagian besar wajah sebelah kiri cowok itu.

Tawa setiap orang menggema. Pun juga tawa Talita yang terdengar sejuk lagi menyejukkan telinga. Semakin membuat Juna kesal.

Ia benar-benar harus menghabisi Luna sore ini. Luna harus membayar mahal apa yang ia lakukan hari ini.

Ia membuka mata, sedikit perih karena cream-cream yang menempel di kelopak mata kirinya.

Ia mencari sosok Luna di sampingnya yang setengah menjauh. Sambil membungkuk menahan tawa yang tidak kunjung berhenti.

Makian Juna yang baru akan keluar terhenti, ketika ia melihat cewek itu menyipitkan mata saat tertawa. Pun juga ketika menyelipkan rambut-rambut di sekitar pipinya yang lepek karena keringat dan panas matahari.

Alih-alih memaki, Juna tersenyum sambil menunduk lalu menggeleng-gelengkan kepala. Bukan apa-apa. Ia hanya tidak habis pikir. Sudah satu minggu berlalu, kenapa baru hari ini ia sadar kalau tawa bak lagu pengantar ke pintu Neraka keluar dari mulut perempuan semanis itu?

*****

Lagi musim ospeque yha.

The Ex [Completed]Where stories live. Discover now