A Piece of Cake

12.8K 1.2K 42
                                    


Hari itu tribun lapangan basket SMA Artara telah penuh sesak. Sepertiga bagiannya merupakan siswa kelas X dan XI dari SMA Artara dan SMA lain sedangkan sisanya anak-anak kelas XII mengingat anak-anak kelas XII sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional. SNMPTN pun sudah mereka lalui. Dan, ya, bisa ditebak kalau nilai rapor Luna tidak cukup terkualifikasi untuk ikut mendaftar SNMPTN.

"There is no hope for me though," candanya tiap kali membahas SNMPTN dengan orang lain.

Hanya saja iya kurang begitu peduli. Sedih, jelas. Tapi ada hal lain, yang lebih besar -baginya. Yang lebih membuatnya kecewa. Dia harusnya tidak duduk di tribun. Harusnya ia bergabung dengan  Artara Dance Crew di backstage. Setelahnya bergabung dengan anak-anak cheerleader yang lain. Ia melirik kakinya sambil terkekeh pelan mengingat hal sepele yang menjadi alasannya tidak fokus dan jatuh. Hal sepele yang justru merenggut apa yang dia punya. Tapi, sekali lagi, ia lega bahwa tangannya baik-baik saja. Masih bisa menekan tuts-tuts piano untuk menciptakan dunianya sendiri.

"Gue udah nunggu di depan sampe gue masuk gini Arvin belum juga nyamperin coba. Kesel, deh!"

Luna terkekeh tanpa menanggapi apapun. Matanya diam-diam menyisiri penjuru lapangan, mencari sesuatu. Lebih tepatnya seseorang. Sesekali ia menyadari dirinya mencari sosok sang mantan membuatnya geli, tapi tak juga menurunkan pandangannya.

"Sorry, telat banget, girls!"

Luna dan Kania yang duduk disebelahnya menoleh ke arah datangnya suara yang sangat mereka kenal.

Sheila yang baru datang tengah merapikan rambutnya yang tampak berlarian kesana-kemari menutupi wajahnya. Cewek itu mengusap tempat duduk di sebelah Kania dengan tisu lalu meletakkan selembar tisu lainnya, baru mendudukinya. Hal yang sudah disaksikan ratusan kali itu masih saja membuat Luna dan Kania memutar bola mata, risih.

"Hm," tanggap mereka berdua tanpa menatap Sheila lagi.

"Awas aja lo pada nyuekin gue terus baliknya neb-- Ih, apaan sih lo nyempil-nyempil?"

Dumelan Sheila terpotong karena Arvin yang tiba-tiba saja mendorong-dorongnya sehingga dirinya bisa duduk di antara Kania dan Sheila. Ia lebih kesal lagi karena cowok itu hanya meliriknya sekilas dengan alis terangkat lalu memalingkan wajah.

"Sorry, Babe, nunggu lama. Tadi aku ada briefing gitu bentar," ujar Arvin dengan nada yang membuat Luna meringis geli.

"Alah, bab, beb, bab, beb, giliran salah aja manggilnya bagus-bagus pake aku-kamu, biasanya aja lu balik ndiri bisa, kan, Kan? Capek gua," cibir Kania tanpa menoleh sama sekali.

"Nggak, lah, ya ampun. Ini, tuh, aku beneran ngerasa bersalah banget," tanggap Arvin yang menyikut lengan Sheila karena cewek itu makin brutal menepuk-nepuk punggungnya.

"Lo briefing sama pelatih lo atau cewek lain, nih, kok ngerasa bersalah banget?"

Arvin terkekeh lalu menyunggingkan senyuman kecil. "Ada-ada aja, enggaklah, ngapain nyari yang lain kalo udah punya yang paket komplit?"

Mendengar kalimat Arvin membuat Luna bergidik ngeri. It could be sweet, but... no, just, no. Ia jadi gatal untuk tidak ikut mencibir. "Bukannya lo dulu bilang kalo kedepannya bakal tetep gue, ya, Vin?" selanya dengan mimik serius dan kecewa.

"Nyinyir, lo, Lun," tanggap Arvin kesal. Namun, sepersekian detik berikutnya Arvin tersenyum sambil mengeluarkan bendera merah muda dari saku celananya.

"Tadi, gue telat dan dimarahin sama pelatih karena balik ke rumah ngambil bunga ini buat lo. Ntar pas gue tanding, biar gue semangat, kibarin, ya," ujar Arvin sebelum pamit karena Sheila terus-terusan menepuk-nepuknya.

The Ex [Completed]Where stories live. Discover now