Sticky Notes

19.7K 1.7K 40
                                    

Well, readersku syg, enjoy!


*****


Ada banyak hal yang terlewat,

Ada banyak cerita yang tak lagi terkenang,

Ada banyak kata manis yang kulupakan,

Ada banyak senyum dan tawa selepas kepergianmu,

Tapi, ada banyak cara yang dilakukan hati kecilku untuk tetap berpijak di tempat yang sama.

******

Luna melempar kaleng minuman yang telah kosong ke arah Rian. Cowok itu baru saja merampok alat tulisnya dengan alasan akan diadakan ulangan Sejarah. Bisa mati kalau dia tidak menyediakan alat tulis.

"Pelit banget, sih? Ntar juga dibalikin, Lun," cibir Delisa yang duduk bersama Luna pagi ini.

Luna memamerkan sederet gigi putihnya, kemudian menggaruk tengkuk. "Sebenernya tempat pensil gue nggak ada isinya. Nih, gue cuman bawa pulpen satu disaku kemeja. Makanya nggak gue bolehin."

"Yaelah, lo-- eh, eh, tuh doi berangkat tuh!"

Luna mencebikkan bibir. Ia mengeluarkan buku cetak biologi dan membukanya.

"Apaan, sih. Udah bukan siapa-siapa juga!"

"Widih, belajar lo?" Ujar Vano yang baru saja lewat di dekat Luna.

"Calon dokter, nih, Pak," tanggap Delisa mewakili.

Felinda, sang wakil ketua kelas yang baru saja melewati mereka berhenti. Ia mengamati Luna.

"Lo nggak ada potongan jadi dokter," ujarnya tiba-tiba.

"Potongan gue dari sononya emang jadi supermodel, iri lo?" tanggapnya asal.

"Nyokap gue dokter. Nyokap gue dulunya anak baik-baik, rajin, pinter, dan nggak banyak gaya kaya lo."

"Nyokap gue juga dokter!" Luna menggebrak meja dengan meletakkan buku ke mejanya dengan keras.

"Oh, ya? Dokter siapa? Kali aja nyokap gue kenal, Lun?"

Luna bungkam. Matanya mengedar ke sekeliling dan berhenti pada Juna yang tengah menatap perdebatan mereka. Cowok itu bersandar pada tembok, tampak tidak berminat untuk menyaksikan tontonan pagi itu.

"Lo ngomong gitu karena lo pengin jadi dokter juga, ya? Takut kesaing? Geez."

Felinda nampaknya kesal. Namun sorot mata menilainya belum luput juga dari Luna.

"Jangan ngomongin pasien dulu, deh. Lo liat dulu sana nilai-nilai lo. Mampu nggak buat jadi dokter? Attitude lo aja jongkok. Ntar kaya nyokap lo lagi, kebanyakan ngurusin urusan pribadi sampe nyawa pasien aja dipertaruhin, ck ck ck!"

Luna melirik teman-temannya. Memang tidak ada yang memihak pada Felinda, namun mereka hanya bungkam dan menatap Luna prihatin. Dan Luna membenci tatapan itu. Sementara Juna, cowok itu justru mengalihkan pandangan pada ponsel di tangannya. Tampak tidak terusik dengan keributan itu.

Luna tidak menanggapi kalimat terakhir Felinda. Ia hanya menabrak bahu cewek itu dan melangkah keluar kelas. Tidak, ia tidak akan menangis. Bukan Luna namanya kalau ia menangis karena hal seperti itu. Tapi.... apa Zahira dan Raka pernah merasakan apa yang ia rasakan kini?

*****


Adrian memantulkan bola basket di tangannya. Hari ini memang begitu menguntungkan. Selain karena jam pertama dan kedua adalah jam olahraga, jam ketiga dan keempat kelasnya hanya mendapat tugas Geografi.

The Ex [Completed]Where stories live. Discover now