Here We Are

18.3K 1.5K 64
                                    

"Keren!!!"

Luna menampakkan wajah memelasnya. Matanya menelusuri foto-foto polaroid yang ditata acak dalam sebuah album. Foto-foto sewaktu studytour sekolah Raka yang dipamerkannya pada Luna.

Luna sangat menyukai pantai pasir putih. Gulungan ombak, suaranya, dan semilir angin yang menyejukkan sekalipun terik matahari menerpa kulit. Dalam foto-foto itu, tampak pantai Kuta, Lovina, dan Finn yang diambil Raka tanpa objek tertentu. Hampir seperempat album merupakan foto-foto candid mantan pacarnya sewaktu SMA. Setengahnya lagi foto bersama teman-temannya.

"Pengen ke pantai, Bang," gumam Luna. "Pengen liburan!" Teriaknya, membuat mata Raka melotot, memperingatkan bahwa gedung ini masih rumah sakit.

"Bunaken would be perfect." Sebuah suara yang mereka kenal menginterupsi pembicaraan mereka.

Juna, pemilik suara itu, menutup pintu perlahan. Ia berjalan ke arah Raka dan menjabat tangannya akrab. Sementara itu, Luna terdiam di tempatnya. Tidak menyangka sama sekali bahwa Juna akan datang menjenguk sendirian. Atau setidaknya tidak ada Diandra yang menemaninya. Entah harus sedih, atau senang. Yang jelas, Luna tidak tahu harus bersikap bagaimana.

"Lo mau ke Bunaken?" Tanya Raka.

Juna tersenyum sumringah sembari mengangguk. "Dua minggu depan."

"Sama siapa?"

Juna melirik Luna sekilas sebelum menjawab, "Diandra... anak kelas... dan seangkatan gue beserta guru-guru pendamping."

Satu.

Dua.

Tiga.

Tepat dihitungan ketiga Juna, Luna bereaksi persis seperti apa yang ia ekspektasikan.

"What?! Sumpah lo, bentar lagi studytour?"

Luna mendesah keras. Ia melirik lututnya sambil berdecak kesal. Seketika planning ala remaja putri bersama sahabat-sahabatnya melintas dibenaknya. Semakin membuatnya mendesah kecewa.

"Udah, sih. Pikirin sehat dulu," ujar Raka diselingi tawa geli.

"Nih, gue bawain buku anak paling pinter seangkatan," tanggap Juna tanpa mengindahkan keterkejutan Luna.

"Untuk?"

Juna mengernyitkan dahi mendengar komentar Luna barusan. Untuk apa? Tidakkah gadis itu tahu bahaya apa yang mengancam setelah hampir dua minggu ia tidak masuk sekolah?

"Dengan kondisi kesehatan otak lo yang baik-baik aja, memangnya lo nggak akan ikut UAS apa? Minggu depan tuh udah UAS," jelas Juna. Matanya terpaku pada mini keyboard yang berada di nakas.

"Ya udah, sih. Biasa aja kenapa nggak usah pake ngegas segala," cibir Luna.

"Lagian lo opname gini, belajar kek. Main keyboard terus nggak bakal bikin nilai ujian lo bagus!"

Luna memutar bola matanya jengah. "Lo pikir? Dengan baca catetan si anak nomer satu seangkatan bisa bikin nilai ujian gue bagus?"

"Apaan sih, Lun. Niat Juna 'kan baik. Lo nggak bosen? Nilai skala 1 sampe 10, lo dapetnya kaya IPK terus," tanggap Raka menengahi.

Mau tidak mau, Luna hanya memajukan bibirnya. Kata-kata Raka memang tepat sasaran. Luna sangsi Raka pasti memantaunya habis-habisan dari Mama.

"Gue cabut dulu. Cariin Mama. Sekalian nyari minum buat kalian," pamit Raka.

Seperginya Raka, keadaan menjadi hening. Baik Luna maupun Juna sama-sama bergeming.

"Mana sini, gue liat bukunya." Luna angkat bicara guna menghapus kecanggungan yang tiba-tiba hadir.

Juna menyodorkan buku-buku Diandra yang bersampul rapi warna biru langit. "Heran gue gimana caranya lo belajar sampe bisa dapet nilai segitu."

Luna mencibir pelan sambil membuka buku Matematika Diandra. Ia mengangkat bukunya, memastikan wajahnya tidak terlihat oleh Juna. Diam-diam, ia tersenyum. Warna putih rumah sakit yang terasa dingin baginya, tiba-tiba menjadi hangat. Juga berwarna.

*****

"Dokter Anastasia?"

Anastasia baru saja menyesap kopinya di salah satu meja kafetaria ketika sebuah suara yang ia kenal memanggilnya. Matanya menyisiri sekeliling yang tidak begitu sepi.

"Siapa, ya?" Matanya menyipit, tidak begitu mengenali sosok yang dikenalnya baik 16 tahun yang lalu.

Perempuan tersebut memeluk Anastasia erat. Mengingatkannya pada 16 tahun lalu.

16 tahun lalu, Alia adalah seorang anak SD yang kehilangan kedua orang tuanya. Ia tidak pernah pulang, senantiasa berdiri di depan rumah sakit untuk meminta pertanggung jawaban atas kepergian kedua orang tuanya. Ketika semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Anastasia, salah satu dokter muda kala itu mulai iba dan mendekati gadis itu.

"Orang bilang dokter membantu orang sakit." Alia menggumam pelan. Sepersekian detik kemudian ia berdecak keras.

Anastasia menghela napas pelan. Mencoba menyelami perasaan kehilangan gadis itu. Matanya meneliti, mungkin suatu saat nanti Zahira, putri pertamanya akan tumbuh secantik ini.

"Kenapa orang tuaku enggak?"

Anastasia tersenyum. "Dokter adalah panggilan jiwa. Kami selalu berusaha sekuat tenaga, memastikan kemungkinan terbaik sekalipun hanya 0,1%."

"Kamu nggak tau, seberapa kecewanya ketika kami telah berusaha dan gagal. Kehendak Tuhan, siapa yang bisa menolak?"
"Rasanya, Dokter Anastasia masih sama seperti 16 tahun yang lalu," gumam Alia, nyaris seperti bisikan. Matanya memerah, menahan tangis.

"Lihat Dokter Anastasia sekarang, jadi ingat kedua orang tuaku."

Anastasia hanya tersenyum kecil. Sama sekali tidak menyangka gadis kecil yang hanya ia temani duduk-duduk dan berbincang singkat 16 tahun lalu akan mengingatnya sepanjang masa. Ada gemuruh haru yang merayapi dadanya.

"Nggak nyangka kamu masih ingat saya," ujar Anastasia sembari berdeham menyadari suaranya terdengar serak.

"Makasih, ya, Dok," tanggapnya.

Alis Anastasia terangkat, heran. "Makasih untuk apa? Dan, sebaiknya kamu tidak memanggil saya dokter," balas Anastasia disertai kekehan ringan. Ia tersenyum kecewa menyadari bahwa hatinya masih sangat rindu akan pengabdian ini.

"Karena sudah membuat saya berada di sini," jawab Alia lugas. "Kenapa Dokter tidak melanjutkan... maksud saya...."

Anastasia menarik kedua ujung bibirnya. Matanya berbinar penuh harap.

"Putri-putriku yang akan melanjutkan pengabdianku."

"Jika Alia ingin menjadi seorang dokter, bantulah semua orang. Kaya miskin, tua muda. Selagi kamu bisa, selagi kamu diberi jalan oleh-Nya."

*****

The Ex [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang