Rollercoaster

12.9K 1.1K 49
                                    

Ujian Nasional

Luna berdecak untuk entah keberapa kalinya. Ia mulai bertopang dagu dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananya mengklik-klik mouse untuk menggeser-geser soal Ujian Nasional Fisika tanpa membacanya. Bukan apa-apa, rasanya ia hampir hafal isi soal tiap nomernya, yang memabukkan. Matanya mengerjap, pedih, setelah satu setengah jam berlalu dan masih berada di depan monitor.

Telinganya awas, menunggu siapa pun yang beranjak keluar agar dia bisa ikut keluar dari ruangan ber-AC yang tiba-tiba serasa di padang pasir ini. Sayangnya, semua orang justru tampaknya kekurangan waktu sehingga membuat Luna berpikir jangan-jangan hanya dia yang kesulitan mengerjakan soal-soal gila itu.

"Siapa juga yang ngurusin bola nggelinding di bidang setengah lingkaran," gumamnya pelan.

Tak urung, ia tetap mencorat-coret kertas untuk menghitung kira-kira pilihan mana yang tepat sebagai jawaban.

"Fix, gue salah jurusan," desisnya saat melihat soal tentang listrik dan tidak ada ingatan rumus atau teori apapun yang melintas di pikirannya.

Luna mengecek sekali lagi dan mendapati ia telah mengerjakan 29 dari 40 soal. Iseng, dia mulai menghitung berapa yang bisa diperolehnya kalau 29 nomer itu benar. Kalau.

"Not bad lah, masih dapet 7." Ia mengangguk-angguk pelan.

Setelah memastikan telah mengisi nomer yang masih ragu-ragu dengan mengerahkan perkiraannya, ia menggembungkan pipi, mengempiskannya, menggembungkannya lagi, begitu terus sampai ia melirik jam.

10 menit lagi.

Luna menegakkan kepala. Meyakinkan diri untuk mengisi satu soal lagi. Persetan dengan rumus, mungkin ia bisa mengerjakan dengan memperhatikan dimensi satuannya.

Setelah beberapa menit berlalu, Luna tersenyum puas. 30 nomer dari 40 soal. Sisanya, ia menghitung kancing baju atau memilih jawaban yang paling masuk akal. Baginya.

Dan, bel pun berbunyi. Diikuti kelegaan sekaligus desahan kesal bagi yang kekurangan waktu. Juga menandakan bahwa penderitaan mereka selama 6 hari belakangan telah berakhir.

*****

"Tuh, kan, salah." Kania menendang-nendang udara di depan kakinya. Diletakkannya kepalanya miring ke meja sambil meratapi kertas coret-coretannya. Kenapa, dia?

"Apa, sih?" tanya Luna sambil menyuapkan siomay ke mulutnya. Ia menendang kaki Sheila, meminta jawaban atas tingkah Kania yang uring-uringan begitu.

"Kaya nggak tau aja," celetuk Sheila. "Dia nih pasti tadi ada satu atau dua nomer yang bingung, terus barusan ngoreksi," sambungnya.

Jawaban Sheila membuat Luna memutar bola mata. Sedangkan Rian tidak peduli, ia masih berkutat dengan semangkuk bakso yang baru datang dan masih mengepul.

"Gue failed," desah cewek yang tidak memesan makan sama sekali itu.

"Serah lo," tanggap Luna dan Sheila hampir bersamaan. Dalam hati mereka mencibir, andai Kania tahu mereka berdua bahkan harus berjuang dan berpeluh-peluh keringat ditengah dinginnya ruangan untuk mengerjakan setengah dari soal yang diberikan.

"Kira-kira gue ada yang bener nggak, ya?" celetuk Rian dengan mulut yang penuh.

"Nah, bener lo, Yan. Harusnya lo ngoreksi juga. Bedanya Kania nyari ada yang salah atau enggak, kalo lo nyari yang bener!"

"Ya udah, sih. Lo bersyukur aja kenapa? 9,75 kok kalo salah satu doang," hibur Luna. Ia menggeser piring siomaynya yang tinggal setengah ke depan Kania. "Nih, makan. Biar nggak stress."

The Ex [Completed]Where stories live. Discover now