Bab 6: Harisa mengenal Abang

14.1K 1.2K 25
                                    

Malam ini aku dan Abang sedang menonton Netflix di ruang tengah ditemani keripik singkong di antara kami, setelah seharian beraktivitas di hari kedua ketemu sebagai pasangan suami istri.

Ada banyak hal yang kita lakukan hari ini, mulai dari pulang ke rumah orang tuaku untuk ambil pakaian yang 'layak', belanja keperluan apartemen, sampe berkeliling mal dan kota. Kata Abang sekalian mengenang masa kecilnya disini.

Seharian dengan Abang membuat hubungan kami lebih akrab. Memang masih kaku sih, tapi at least hubungan kami naik satu tingkat. Ibaratnya dari stranger jadi teman.

Walaupun begitu, menikah dengan tiba-tiba tetap tidak ku benarkan. Menikah itu bukan cuma tentang tinggal satu atap lalu menghasilkan anak dan bagi tugas rumah tangga. Menikah itu tentang menyatukan dua kepala dalam satu hubungan, menyatukan dua pikiran yang beda, saling menghargai, menurunkan ego dan masih banyak hal lagi.

Ibaratnya rumah, nikah tuh harus memiliki banyak aspek yang sesuai. kalo dari pondasinya yang lemah, rumahnya mudah roboh. Sayangnya dalam hubungan kami banyak sekali hal yang mesti kita sesuaikan. Kami bahkan sampai sekarang masih belum mengenal secara lebih jauh. Kami hanya dua orang asing yang tiba-tiba harus hidup dalam satu atap, tanpa persiapan apa-apa.

Aku gak tau dia, definisi berumah tangga versi dia seperti apa, konsepnya bagaimana, dia gak suka apa, dia suka apa dan masih banyak lagi. Jangan sampai ketika aku udah melibatkan rasa, ternyata kami berdua tidak sejalan mengenai visi atau konsep pernikahan. Aku gak mau. Apalagi ketika melihat gaya hidup dia, ditambah jam Rolex dan gelang Cartier di pergelangan tangannya saat menyetir.

Aku pernah bilang kan, cowok yang lebih superior akan punya power lebih dari kita.

Sedangkan definisi menikah menurutku adalah segala sesuatu dilakukan secara bersama. Aku gak mau ada di antara kita yang harus tunduk dan menundukkan. Kita harus equal, kerja sama dan saling berbagi, apapun itu.

"Em, menurut kakak, menikah itu apa sih?" Abang melirikku sebentar lalu kembali fokus pada layar.

"Living together, loving each other." Aku cuman mengangguk sedangkan dia kembali meraih keripik singkong yang telah ku masukkan ke toples. Ucapannya betul, tinggal bareng dan saling mencintai. Sayangnya kita berdua cuma ada di point pertama.

"Why?"

"Kita bahkan belum saling kenal dengan baik." Aku menunduk sambil memainkan jari. Abang berhenti mengunyah lalu menatapku dalam. Dia kayaknya mengerti arah pembicaraanku adalah sesuatu yang serius.

"What about you?" Saat aku mendongak, ternyata Abang masih menatapku.

"Apanya?"

"Definisi kamu tentang married." Aku mengalihkan pandangan dan mengendikkan bahu.

"Komitmen, kerja sama dan emm..... saling menyayangi, mungkin?" Abang cuman mengangguk tanpa menanggapi. Aku mengubah dudukku menghadapnya.

"Maksudku, kita menikah tanpa aba-aba kak, tanpa persiapan. Aku belum tau banyak tentang kakak, kakak juga begitu. Bisa saja definisi menikah kakak sama aku beda. Kalo dari fondasinya lemah, gak bakalan berjalan baik." Tambahku.

Setelah itu Abang mematikan tivi dan mulai memusatkan perhatiannya terhadapku. "I get the point. Maksudmu adalah kita butuh saling mengenal." Aku mengangguk.

"Iya kak. Supaya kita bisa menyesuaikan diri dan saling sepakat dalam pernikahan ini."

"Then, tell me about married in your brain or how you feel right now."

"Menikah kompleks banget kak. Bukan cuma tentang cinta dan tinggal bareng. Nikah menurutku, ya harus semuanya bareng-bareng. Mau hal kecil apalagi hal besar. Aku mikirnya nikah itu kayak kerja kelompok. Harus saling mengalah, harus saling mengerti."

Berlayarnya Perahu Nyonya Rian (SELESAI)Onde histórias criam vida. Descubra agora