END PART: Harisa dan hari bahagianya

20.9K 1.2K 85
                                    

Suara dering dering handphone yang keras membangunkanku dari tidur. Berisik banget! Alarm Abang adalah salah satu hal yang ingin ku basmi dari muka bumi ini. Aku masih ngantuk karena tidur setelah subuh. Jangan tanyakan kenapa karena yang jelas, ini akibat dari perbuatan nista Abang.

"Alarmnya ganggu ih, matiin dong." Bukannya menjawab, dia malah mengeratkan pelukannya. Dia bahkan makin membelitku dengan kakinya dari belakang membuatku sesak.

"Kamu aja Yang, hapenya di depan kamu." Harusnya aku meleleh dengar suara serak basah bangun tidurnya, tapi alarmnya bikin naik darah. Mana ringtonenya suara ayam kejepit lagi. Hadeuh.. Heran, bisa-bisanya dia punya selera kayak gitu.

Aku berusaha bangkit untuk meraih handphonenya. Saat berusaha mematikan alarm bodoh itu, ia tiba-tiba meremas dadaku. Refleks ku pukul tangannya lalu kutarik dan ku gigit. Dia berjingkat kaget lalu menatapku dengan aura permusuhan.

"Jahat banget kamu, sakit nih." Abang ikutan bangkit dan menempelkan kepalanya di bahuku. Dia sama mengantuknya. Andai aja ini apartemen kami, mungkin aku yang duluan menarik dia untuk kembali tidur.

Membayangkan kembali tidur di dalam lipatan ketiaknya yang berbau khas menambah godaaan untuk kembali bergelung ke tempat yang menggoda ini. Aku jadi menyesal mengiyakan ajakan Abang untuk main jungkat-jungkit tadi malam.

"Bangun yuk, udah setengah tujuh tuh. Gak enak sama orang di bawah." Abang cuma berdehem sebagai balasan. Napasnya terasa sekali di bahuku. Akhirnya aku berbalik lalu mengusap kepalanya.

"Tadi malam bilangnya mau ke makam mama Mia. Kalo kesiangan nanti panas."

"Cium dulu."

"Mandi dulu." Aku membalas ucapannya. Dengan pasrah, Abang beranjak dari tempat tidur dan mengambil handuk di dalam wardrobe. Saat dia hampir masuk ke dalam kamar mandi, dia berbalik dan menatapku jahil.

"Mau mandi bareng gak?"

"Ogah. Mandi sana!!" Abang lalu tertawa puas dan masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah membersihkan diri, kami lalu turun ke bawah. Di meja makan sudah ada papa Alif, suami mba Rania dan Radit, adik Abang. Aku melirik sekeliling ruangan, sayangnya aku gak melihat mba Rania.

"Mba Ran kemana?"

"Masih di kamar baby. Sebentar lagi turun." Aku mengangguk mengerti. Bukannya ikut duduk, aku malah beranjak menghampiri mba Rania di lantai dua.

Saat membuka pintu, aku melihat dia sedang mengganti pampers Ayana. Mukanya kelihatan lusuh, sama lusuhnya dengan muka mas Adam, suaminya. Pantas sih, kemarin memang mereka mengadakan acara Aqiqah untuk Ayana. Belum lagi tengah malam tadi aku masih mendapati mereka berdua berusaha menghentikan tangis bayi cantik ini.

"Sarapan dulu Mba."

Mba Rania tersenyum, "iya bentar ya."

Aku mengamati dia yang telaten mengurus bayi. Dalam hati aku berdecak kagum. Powernya seakan gak habis. Kalau dipikir, riwehnya mengurus bayi itu sama kayak mengurus laporan praktikum, tapi aku belum pernah dengar dia mengeluh sama sekali.

"Kenapa liatin Mba kayak gitu?"

"Punya bayi seru gak Mba? Atau capek?"

"Dua-duanya. Kadang Mba capek. Tapi kalau lihat senyumnya, entah kenapa rasa capeknya hilang. Bukan seru aja, Mba merasa bahagia sekarang. Kayak hidup Mba tuh udah lengkap." Aku meliriknya dengan penuh minat. Cara dia menggendong Ayana sangat telaten. Mungkin kalau aku punya anak, aku bisa minta diajarin sama dia.

"Kamu mau baby juga gak?" Aku mengangguk dengan antusias. Sesaat kemudian senyumku memudar mengingat perjanjianku dengan Abang.

"Tapi Kak Rian belum bolehin. Katanya tunggu sarjana dulu."

Berlayarnya Perahu Nyonya Rian (SELESAI)Onde histórias criam vida. Descubra agora