2. Perhatian kecil

4K 234 7
                                    

Kalandra Realtas Diandre.

Laki-laki dengan sejuta pesona. Dibekali otak cerdas, serta skill yang dipunya membuatnya selalu dipuja-puja oleh guru maupun siswi.

"Babi lo, Al! Gue cariin dari tadi ternyata di sini. Siang bolong ngapain di lapangan basket?"

Aksa Aprilio Abian.

Laki-laki dengan kulit sawo matang dan tubuh semampai merupakan teman dekat Altas.

"Yang lain ke mana?" tanya Altas sambil mengedip-kedipkan matanya akibat silauan matahari.

"Ke kantin, lah. Lo itu, ya! Untung temen. Mau ikut nggak?" tanya Agam sambil beranjak dari duduknya.

"Lo duluan."

Ketika matanya berputar pada beberapa objek. Satu objek cukup mengganggu matanya. Perempuan itu lagi.

"Altas! Eh mau ke mana?"

Altas berdecak ketika tangannya ditarik oleh Olivia. Laki-laki itu menatap datar tangannya, kemudian menghempaskannya perlahan.

"Mau ke kantin, ya? Via ikut, ya?"

Laki-laki itu menatap Olivia dari atas sampai bawah membuat gadis tersebut kikuk. "Jalan banyak. Nggak cuman satu."

Dengan santai Altas meninggalkan Olivia di tengah lapangan tanpa memperdulikan wajah memerah gadis itu.

"Aduh-duh!"

Altas menggeram ketika di pertigaan koridor dirinya mendapatkan masalahnya lagi. Suara yang benar-benar familiar, atau lebih tepatnya memuakkan telinganya.

Altas menatap datar ke arah nasi yang berceceran di lantai. Gadis yang ia tabrak kali ini ... Violeta.

"Lo nggak punya jijik, ya? Itu kotor, kena lantai!" ucap Altas.

Viola mendongakkan kepalanya. Ah, ternyata Altas. "Tadinya mau Vio kasih ke Altas. Tapi ... malah jatuh."

"Meskipun itu makanan higienis, nggak akan gue ambil. Apalagi sampe jatuh ke lantai. Jangan harap!"

Violeta tersenyum. Entah dari apa sebenarnya hati gadis itu terbuat. "Nggak selamanya kata enggak itu selalu dipakai, Al." Ada nada sendu di suara gadis itu. "Karena takdir nggak ada yang tau."

Altas berlalu tanpa menoleh lagi ke arah Violeta yang masih terpaku di tempatnya.

-oOo-

Violeta menatap ke arah rintikan hujan yang turun ke bumi dengan derasnya. Jarak rumah dengan sekolahnya cukup jauh, dan dirinya hanya menggunakan sepeda sebagai alat transportasi.

"Andai aku punya mobil." Gadis itu bergumam sembari memandang lurus ke arah gerbang sekolah. Teman-temannya dapat pulang walaupun ribuan rintik hujan menghadang.

Wajah Vio langsung berubah drastis ketika dirinya teringat akan sesuatu. "Bapak ...."

Gadis itu langsung mengeluarkan jas hujan, kemudian langsung memakainya asal. "Nggak papa bolong, seenggaknya masih bisa dipakai."

Dengan semangat empat lima, Violeta mengayuh sepedanya membelah kota Jakarta di tengah rintikan hujan dengan goesan sepedanya.

"Hebat, Vio. Dia satu-satunya anak beasiswa yang hidupnya di bawah rata-rata. Tapi semangatnya ngalahin api yang baru dibakar."

Altas menolehkan kepalanya ke arah gadis yang mengayuh sepedanya di bawah rintikan hujan. Matanya menatap lurus dengan wajah tanpa ekspresi, tapi ... tidak ada yang tahu isi hati seseorang bukan.

AKARA (Terbit)Where stories live. Discover now