53. Semua masalah

134 11 2
                                    

Sepulang dari sekolah, Rily langsung bersiap-siap untuk pergi belajar tambahan di luar jam sekolah (LES).

Rily menatap pantulan dirinya di cermin, ia tersenyum tipis dan menunjuk cermin itu dengan jari telunjuk. "Dasar boneka, hidup lo penuh permainan Ril." ujarnya sembari terkekeh pelan.

Tanpa ingin berlama-lama, Rily bergegas meraih tote bag dan ponselnya di atas meja nakas lalu berjalan keluar kamar. Saat hendak mengunci pintu kamarnya, ia melihat dari ekor matanya bahwa Raylan juga sedang keluar kamar.

Rily hendak melanjutkan langkah kakinya, namun suara Raylan yang memanggil namanya membuat Rily menunda pergerakan kakinya.

"Ril," panggil Raylan dan berjalan mendekat ke arah gadis itu yang sedang menoleh ke arahnya.

"Hmm .... " sahut Rily bergumam saat Raylan menghampirinya. "Kenapa Kak?"

Raylan meneguk ludah, berusaha mengendalikan ekspresi. "Mau ke mana?" tanya nya terdengar basa-basi.

Rily yang mendengar pertanyaan itu menghela napas dan melangkahkan kaki berjalan pergi. "Les," sahutnya dan berjalan menjauh dari Raylan.

Raylan dengan cepat langsung melesat ke samping Rily dan menuruni tangga secara bersamaan. "Mau abang antar nggak?"

"Nggak usah," jawab Rily acuh dan berusaha menguasai ekspresi wajah. "Aku bisa naik angkot."

"Jangan, biar abang antar aja."

"Aku lagi pengin sendiri Kak," Rily menghentikan lengkah kakinya dan menatap Raylan lurus. "Kak Raylan nggak perlu khawatir." ia dengan cepat melanjutkan langkah kakinya menuruni anak tangga.

Raylan terpaku, menatap punggung kecil Rily yang berjalan menjauh darinya. Ia tersenyum miris, dan menundukkan pandangan. "Mama jahat ya dek?" lirihnya pelan dan duduk di tengah-tengah anak tangga.

Sedangkan Rily sudah turun dari anak tangga terakhir dan melanjutkan langkah kainya dengan cepat menuju pintu utama. Raut wajahnya datar dan dingin, tidak seperti biasanya Rily yang selalu ceria kini mengeluarkan aura yang berbeda.

"Kamu di antar sama Mang Ali,"

Suara seseorang yang sedang Rily hindari itu kini terdengar di ruang tamu, ia meneguk ludahnya getir dan menoleh ke sofa ruang tamu. Di sana ada Amor yang sedang menonton televisi dan sama sekali tidak menatap Rily.

"Sekarang Mama bakalan lebih tegas sama kamu, kamu nggak bisa ke mana pun tanpa seijin Mama." Amor baru menoleh ke arah Rily setelah mengatakan hal itu. "Atau kamu harus pergi ke luar negeri, kalau nggak mau nurut sama Mama."

Rily menggigit bibir bawahnya. "Aku naik angkot aja Ma," ujarnya pelan berusaha untuk tidak bergetar.

Aku lagi ngalamin hari yang buruk, please ngertiin aku Ma. Jangan paksa aku kali ini...

"Nggak bisa, jangan coba-coba buat ngebantah Mama." tegas Amor penuh tekanan dan menatap tajam Rily.

Rily terkekeh, percuma saja ia membatin dan memohon. Amor akan tetap teguh pada pendiriannya, memaksakan Rily untuk mengikuti apa yang dia mau.

"Aku nggak mau nurut," jawab Rily dengan suara bergetar pelan. "Aku bukan boneka, yang bisa Mama mainin sesuka hati."

Amor tertohok.

"Mama mau nampar aku? Mau ngomong kasar? Silahkan, aku nggak akan ngelawan. Tapi aku mohon buat kali ini aja, kasih aku ijin pergi sendiri. Aku nggak bakal bolos kok, aku cuma mau naik angkutan umum."

Amor meneguk ludah, ia sadar bahwa kali ini ada yang berbeda dari anak bungsunya itu. Namun Amor tidak peduli dan membuang muka, ia kembali fokus menatap layar televisi yang sedang menyala. "Hm," sahutnya tanpa menoleh dan mengubah ekspresi wajah.

You Hurt Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang