45. Yang sebenarnya

345 27 9
                                    

Selesai pemanasan, Rily dan teman-temannya yang lain duduk selonjoran di pinggir lapangan.

Mereka sedang menonton anak laki-laki anak kelasnya sedang bertanding basket dengan laki-laki anak kelas senior sebelas IPA 1.

Ica meminum susu kotak kemasan miliknya. "Risa mana ya? Kok pingsan gak ada di UKS?" tanya Ica dengan dahi berkerut. "Jangan-jangan kak Dava buang Risa lagi?" Ica memasang ekpresi serius, membuat Naza tak tahan untuk tidak menoyor pelan kepala gadis itu.

"Lo kayak nggak kenal Risa aja. Dia, kan, suka keliling sekolah bahkan bumi sendirian." Amanda tersenyum tipis. "Katanya itu bisa buat dia tenang."

Rily menoleh, "masa sih?" tanya Rily dengan pikiran berkelana saat Risa menaiki bus yang berjalan jauh dari rumahnya hingga ke komplek perumahan Rily.

"Hm, mungkin itu cara dia nenangin diri sendiri."

Rily manggut-manggut membenarkan. "Risa banyak masalah, mungkin?" ucap Rily yang terdengar seperti sebuah pernyataan bukan pertanyaan.

Naza memakan rotinya. "Setiap orang punya masalah masing-masing kok. Justru yang paling ceria, paling pintar nutupin luka." ujarnya santai dengan mata yang fokus memandang lapangan.

Keempat gadis itu kini sama-sama diam dan memandang ke arah lapangan sekolah.

Suara grasak-grusuk terdengar dan ketukan ritme sepatu yang semakin lama semakin cepat.

Rily dan yang lainnya menoleh penasaran, melihat Risa yang sedang berlari ke arah mereka dan melewati tengah lapangan begitu saja tanpa memperdulikan orang-orang yang sedang bermain basket.



BRUKKK

"RISAAAA!" Naza dan yang lainnya spontan berlari ke tengah lapangan tempat dimana Risa terkena hantaman bola.

Risa tidak bisa menahan rasa sakit di punggungnya, ia membiarkan tubuhnya oleng dan jatuh namun langsung ditangkap oleh seseorang.

Risa masih bisa membuka mata, ia mencoba melihat siapa yang menangkap tubuhnya. Namun saat melihat siapa sosok yang menangkap tubuhnya.

Risa reflkes memejamkan mata.

Dah lah, bye world. Ucap Risa membatin sebelum semuanya menjadi gelap gulita dan tubuhnya pingsan tak berdaya.

Sosok itu adalah...

Dava.

"Duh bego banget sih lo, kenapa lewat tengah lapangan coba?" panik Naza tidak memperdulikan Dava yang kini sedang membopong tubuh gadis itu ala bridal style dan membawanya menuju UKS.

Naza masih mengekori. "Kak Dava maaf ya merepotkan, gue nggak tahu kalo dia gampang pingsan. Udah dua kali pingsan dan dua-duanya kak Dava yang nolongin. Maaf ya merepotkan, pasti----"

"Enggak."

Amanda melongo. "Enggak?" beonya dan saling tatap dengan Ica yang mengedikkan bahu.

Naza berdeham. "Enggak? Enggak dimaafin maksudnya?"

"Enggak merepotkan." sahut Dava dan dengan langkah lebar tetap membopong tubuh Risa.

"Oh ... " Rily mendengus. "Susah ya kalo ngomong sama keturunan limbad."

Dava hanya diam dan tak menyahuti. Ia tiba-tiba menghentikan langkah, membuat Rily dan yang lainnya mengikuti untuk menghentikan langkah.

"Kalian gak usah ikut, biar gue aja." ucap Dava membuat Amanda menyerngit heran.

"Kenapa?" tanya Amanda tak paham. "Kita kan temannya, wajar dong kita ikut."

"Gak usah." tegas Dava. "Atau gue buang aja?" tanya nya dan menatap tubuh Risa di gendongannya yang sedang terpejam.

You Hurt Me!Where stories live. Discover now