12. Memendam luka

529 29 12
                                    


Rily sampai dirumahnya. Senyumnya merekah, sangat senang rasanya bisa menikmati waktu untuk sendiri. Namun, di sisi lain, masih ada hati yang patah, dan harus segera di obati.

Rily menekan bel, seragamnya sedikit basah terkena rintik hujan karena harus berjalan dari simpang kompleks perumahannya untuk sampai di rumah besarnya sekarang. Ia benar-benar menikmati waktunya untuk melakukan hal umum yang biasanya dilakukan oleh remaja seumurannya. Menaiki kendaraan umum, menonton bioskop, menikmati jajanan di pinggir jalan. Walau Rily melakukan semuanya sendirian, Rily tetap bahagia, lain kali ia akan mengajak Naza untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Semua itu, membuat Rily merasa lebih baik daripada harus berlarut-larut dalam kesedihannya.

Rily termundur kaget saat Amor membuka pintu dan langsung membentaknya. "Dari mana aja kamu?!"

"Aku ..."

"Udah merasa hebat kamu? Hm? Apa aja yang udah kamu lakuin sampai pulang magrib begini?"

"Ma ... Aku ..."

"Hp kamu kenapa mati? Sengaja kan? Kamu ini memang bebal banget jadi perempuan, berapa kali harus dikasih tahu, kalau kamu nggak bisa berbuat apapun sesuka kamu! Kamu paham nggak sih maksud Mama?  Jawab Rily! Nggak usah nangis, disini kamu yang salah!"

"Ma ... Rily ..."

"Tas kamu mana? Kamu bolos? Mama denger kalau kamu nggak masuk kelas abis bel istirahat. Mama pikir kamu udah berubah, tapi Mama salah. Kamu masih yang dulu, yang selalu nyari masalah dan buat Mama kecewa!" Amor memijit pelipisnya frustasi, ia berbalik badan, meninggalkan Rily yang sedang menangis.

"Aku capek Ma ..." Rily memberanikan diri untuk melangkah maju, tepat di ambang pintu. Ia menatap Amor yang berhenti melangkah, kini kembali menatap Rily dengan tatapan datar.

"Seharusnya Mama yang capek ngurusin anak kayak kamu!" bentak Amor emosi.

Rily tersentak, menatap Amor yang diam-diam menutupi rasa keterkejutannya karena mengatakan hal itu.

"Kalau gitu kenapa Mama besarin aku? Kenapa Mama lahirin aku? Kenapa Ma? Harusnya Mama gugurin aku sebelum aku lahir, atau kenapa Mama nggak jual aku aja?"

Amor terkesiap, lalu kembali mengendalikan ekspresi wajah.

"Kalau aku tahu aku harus hidup begini, aku lebih baik minta nggak usah diciptakan sama Tuhan! Tapi aku bisa apa?" Rily menyeka air matanya. "Kehadiran aku cuma nyusahin Mama kan? Bagi Mama aku itu anak yang suka nyari masalah, anak nggak tahu diri, dan nggak pernah bersyukur."

Amor diam, ia membuka mulutnya ingin menyahut, namun kembali menutup mulut rapat-rapat.

"Bukannya Mama juga perempuan? Mama juga pernah muda kan? Aku cuma minta waktu sehari, buat jadi diriku sendiri. Kenapa aku nggak bisa bebas buat mengekspresikan diri, kenapa aku harus penuh pengekangan dan peraturan. Kenapa Ma?"

"Karena kamu perempuan, kamu harus bisa jaga diri dan jaga kehormatan kamu!"

"Bukan! Karena aku anak dari CEO kan? Mama takut kalau aku buat masalah, orang-orang bakalan tahu identitasku? Dan aku bakalan malu-maluin keluarga ini, iyakan?" Rily menatap penuh kecewa kepada Mamanya yang kini membisu. "Kenapa aku dapat perlakuan yang beda? Bahkan dari aku kecil, Mama selalu bedain aku sama kak Rilan. Mama langsung khawatir dan obatin kak Rilan kalau jatuh dari sepeda, tapi Mama bakalan marah-marah ke aku pas aku jatuh dari sepeda.

"Dan Mama selalu mengatas namakan perempuan, karena aku perempuan! Aku nggak bisa melakukan apa yang aku suka, aku harus hidup seperti apa yang Mama mau! Aku nggak punya hak, bahkan untuk diriku sendiri."

Rily terisak, kenapa hari ini menjadi sangat-sangat melelahkan?

"Kak Rilan bebas mau ngapain, bebas mau kemana aja. Kak Rilan bebas mau sekolah mana, kak Rilan bebas menentukan pilihannya. Oke, mungkin aku memang nggak pantas pulang larut malam kayak kak Rilan. Tapi, apa boleh aku pergi main-main bareng temen, kecuali Naza?"

You Hurt Me!Where stories live. Discover now