10. Tikus?

458 30 6
                                    


Rily berlari sekencang-kencangnya, air matanya terus mengalir membasahi pipi. Kedua tepalak tangannya sibuk menghapus air mata yang jatuh dari pelupuk mata, agar berhenti mengalir membasahi pipinya. Beberapa kali ia menubruk seseorang dari arah berlawanan tanpa sengaja. Rily bahkan tidak sadar dan tidak peduli, saat ada beberapa orang yang melayangkan tatapan datar kepadanya, dan mengggerutu kecil karena Rily berlarian di tengah koridor yang ramai.

Sakit, sangat-sangat sakit. Sesak di dadanya membuat Rily ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya, melampiaskan rasa sakit dan sesak yang menggerogoti dadanya. Ia berlari tanpa tujuan, langkah kakinya bergerak tanpa arah hingga kini Rily sudah berada di ujung koridor.

Rily berhenti di ujung koridor, tepat saat itu suara bel masuk berbunyi. Ia menangis, pikirannya berkecamuk. Kakinya melangkah pelan, berbelok menuju suatu tempat yang disebut dengan taman. Ia butuh menenangkan diri, kembali ke kelas dalam keadaan kacau seperti ini, Naza akan mengintrogasinya seperti petugas keamanan. Dan Rily tidak mau, membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.

Ia terisak, menyusuri taman belakang yang tidak terawat. Tetapi dedaunan kuning yang berguguran membuat taman ini terlihat cantik. Beberapa pohon yang sedang berbuah, tanaman bunga yang bermekaran. Dan pohon-pohon tinggi yang membuat taman belakang ini sering dikunjungi, juga salah satu tempat seseorang berteduh seraya menikmati bekal, berkumpul-kumpul bersama teman-teman, dan objek yang sering dijadikan tempat untuk berfoto. Namun semua keindahan itu terasa hampa bagi Rily, untuk sekarang.

Hari ini taman sangat sepi, mungkin karena bel masuk yang sudah berbunyi.

Rily duduk di sebuah kursi panjang yang tampak lusuh, namun tidak serapuh kelihatannya. Ia menangis, wajah David terus menghantui pikirannya. Bagaimana lelaki itu menatap Glapita, mengunci tubuh Glapita, jarak wajah mereka yang sangat dekat, dan satu tangan David yang menangkup rahang Glapita. Lalu, wajah ketakutan Glapita dengan mata yang tertutup rapat. Rily sangat sering membaca adegan itu di novel, bukankah mereka ingin ... Kiss?

Rily menangis, kali ini menangis dengan suara. Ia berteriak kecil, dan masih menangis.

Jika David mencintai wanita lain, mengapa memberi harapan kepada Rily, seolah-seolah Rily diberi kesempatan untuk memiliki hati David. Dari cara David memperlakukannya, bagaimana lelaki itu menatap dalam Rily, senyum hangat yang membuat Rily semakin jatuh pada sosoknya.

Namun, siapakah sosok Rily bagi David? Ini semua salah, jika David hanya menganggapnya sebagai adik atau bahkan teman, seperti penjelasan David kepada Amor, Ibu Rily. Mungkin saja David mengatakan yang sesungguhnya saat itu.

Emangnya Rily siapa, yang berhak untuk cemburu? Ia bahkan tidak pantas untuk merasa kecewa hingga berlari meninggalkan David dengan perasaan yang terluka. Karena, mungkin saja ia bukan siapa-siapa bagi David, dan kehadirannya tidak penting untuk lelaki itu. Hanya karena Rily jatuh cinta kepada David, menganggap David adalah pangerannya, bukan berarti David melakukan hal yang sama.

Seharusnya Rily tidak berada disini sekarang, menangis sengungukan dengan dering ponsel yang terus bergetar. Seharusnya Rily tidak bersikap seperti tadi, karena Rily tidak berhak untuk merasa cemburu, sekalipun. Proposal yang susah payah ia kerjakan, mungkin sudah disetujui oleh Kepala sekolah jika saja Rily tidak melakukan hal bodoh dan memalukan seperti tadi.

Bukankah, cinta tidak memakai logika? Bahkan ilmuan sekalipun, jika sudah jatuh cinta, ia tidak akan bisa meneliti dan mendeteksi, mengapa ia bisa jatuh cinta? Dan mengapa ia rela mengorbankan segalanya, hanya demi cinta?

Tidak ada jatuh yang tidak sakit, sekalipun itu jatuh cinta.

Lelah dan merasa terusik, Rily meraih ponselnya dari dalam saku. Ia pikir, David yang akan meneleponnya. Namun, Naza adalah orang yang sama, yang sedari tadi menelepon Rily tiada henti. Naza pasti khawatir, karena Rily belum juga kembali kedalam kelas sejak bel masuk berbunyi.

You Hurt Me!Where stories live. Discover now