3. Suara Shanum

20.3K 867 3
                                    

Shanum mengerjap sedikit kaget ketika sebuah lagu mengalun dari atas nakas tempat tidur. Ia sedang menyisir rambutnya di depan kaca rias, sedangkan si empunya ponsel masih melakukan ritual mandi.

"Mas Sabda, ponselmu bunyi!"

Tak ada sahutan apa pun dari arah kamar mandi. Shanum mengedikkan bahu, tidak mau ikut campur dengan urusan suaminya, tapi semakin lama bunyi dering ponsel itu semakin mengganggu. Shanum tidak tahan lagi dan meraih ponsel milik Sabda yang terus-menerus berbunyi.

'Summer' tertulis di sana. Wow, ini pasti Rania yang menelepon, pikir Shanum. Nama kontaknya sendiri di ponsel Sabda saja tidak semanis ini.

Shanum menggeser tanda hijau di layar ponsel sebelum mendekatkannya ke telinga kiri. Terdengar suara manja begitu telepon diangkat.

"Mas Sabda, kenapa lama sekali menjawabnya? Aku kangen. Kamu udah sampai di rumah?"

Shanum mengerjap dua kali ketika suara melengking seorang perempuan terdengar dari seberang sana. Begitu manja, begitu manis.

Jantung Shanum berpacu dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Lidahnya kelu, otaknya gagal memproses informasi. Selama beberapa saat ia mematung sebelum berdehem singkat mengenyahkan sesuatu yang mengganjal di tenggorokan.

Rania tidak mengenal Shanum, gadis itu sama sekali tidak tahu bahwa Sabda sudah beristri, yang gadis itu tahu; Sabda dijodohkan oleh orang tuanya, tapi dia menolak.

Sebenarnya Shanum ingin sekali melabrak perempuan itu, tapi rasanya percuma saja. Suaminya akan marah besar.

Shanum jelas tahu sesayang apa Sabda pada perempuan simpanannya.

"Sabda sedang mandi," kata Shanum akhirnya diiringi nada ketus.

Bisa Shanum tebak, gadis yang sedang meneleponnya saat ini pasti terkejut setelah mendengar suaranya. Shanum tidak peduli kalau Sabda akan marah karena gadis itu sudah lancang menyentuh ponselnya.

Terdengar lagi suara Rania dari seberang sana. Sedikit gugupm "Ma-maaf, i-ini siapa, ya?"

"Saya adalah--"

Satu sentakkan kasar membuat ponsel yang menempel di telinga Shanum beralih tangan. Wanita itu terkejut saat melihat Sabda berdiri di belakangnya dengan mengenakan sehelai handuk yang menutupi pinggang sampai lutut. Tetes-tetes air yang mengucur dari badannya mengindikasikan kalau ia keluar kamar mandi dengan terburu tanpa mengeringkan tubuh dengan benar.

"Maafkan aku, tadi itu bibiku."

Shanum membulatkan mata saat Sabda mengatakan hal itu pada wanita di seberang sana. Bisa-bisanya pria itu menganggapnya sebagai bibi.

Sabda berbalik menatap istrinya lembut tapi menusuk. Tatapan matanya lebih dingin dari yang Shanum biasa lihat. Pria itu kesal padanya.

"Ya aku juga kangen. Aku sudah sampai rumah tadi. Oke sekarang tidurlah, kamu pasti lelah karena sudah bekerja seharian ini."

Shanum muak sekali melihat tingkah sok perhatian Sabda. Selalu, Sabda selalu saja begini. Dingin pada dirinya, tapi hangat ke wanita lain, tak ingin membahas lebih lanjut. Wanita itu memilih untuk kembali duduk di kursi rias, melanjutkan kegiatannya yang tertunda.

Tak dihiraukannya suara dengkusan Sabda di belakang. Tidak lama lagi mereka akan bertengkar. Shanum sudah kebal dengan teriakan Sabda yang seperti orang kesetanan.

"Sha, berhenti ikut campur!"

Sudah Shanum duga, Sabda bersuara lantang saat panggilannya dengan Rania berakhir.

Shanum menoleh pada Sabda yang masih memaku dirinya di dekat nakas tempat tidur. Ekspresi pria itu sudah tak sedingin tadi, tapi tetap saja. Aura mengintimidasi itu masih terasa.

"Aku sudah manggil Mas sejak tadi, tapi gak ada jawaban. Cewekmu berisik banget, Mas. Lain kali bawa saja ponsel itu ke kamar mandi."

Shanum ikut menatap Sabda dengan tajam, menantang, dia menarik napas panjang ketika mendadak oksigen terasa menyusut di sekitarnya.

"Kita udah sepakat. Kamu juga bilang gak akan ikut campur, kan? Jadi jangan coba-coba memberitahu dia soal apa pun."

"Tentu."

Keadaan kembali hening. Shanum memilih untuk menghiraukan Sabda. Sampai kapan pun, berdebat dengan pria itu tidak akan ada ujungnya. Sabda tidak akan mudah mengalah secepat itu.

Biarlah Shanum yang mengalah kali ini, pria pengecut memang cocok dengan wanita murahan, begitu katanya.

"Terus, apa yang kamu lakukan tadi gak keterlaluan? Aku udah memperingatkan kamu dari awal untuk gak menyentuh ponselku."

"Kalau begitu, bawa saja ponselmu itu ke mana-mana. Aku tidak peduli dengan perempuan yang kau namai Summer itu, aku lebih terganggu dengan suara berisik di kamar ini!"

Bagi sebagian orang, pernikahan adalah hal sakral yang keutuhannya harus dipertahankan. Jangan membiarkan orang lain masuk dengan mudah dan menghancurkan ikatan itu.

Rumah tangganya dengan Sabda adalah salah satu hal yang sempurna di mata banyak orang. Terlebih di mata keluarga besarnya, semuanya selalu membanggakan mereka adalah pasangan serasi yang sudah berjodoh sejak lahir.

Mungkin begitulah yang orang lain lihat, terlihat utuh dan harmonis, tapi kenyataannya mereka hanyalah dua orang asing yang hidup satu atap selama bertahun-tahun.

***

Waktu mendengar suara perempuan lain di seberang sana. Ekspresi wajah Rania langsung berubah, dia terus kepikiran sampai telepon singkat dari Sabda berakhir, dia sudah menebak pasti ada yang tidak beres.

Rania langsung mengenyahkan pikiran aneh itu. Meskipun Rania sudah berusaha untuk berpikir positif, tetap saja dia takut kalau sabda menyembunyikan sesuatu di belakangnya. Tapi, selama ini perasaan Sabda pada gadis itu cukup besar. Mustahil dia bermain-main di belakangnya.

Karena ia percaya kalau hubungannya dengan Sabdatama baik-baik saja. Lagipula kalaupun pria itu benar-benar punya perempuan lain di luar sana, bukankah sekarang ia harusnya sudah meninggalkan Rania untuk perempuan itu?

Tidak, Rania menggeleng. Ia adalah satu-satunya perempuan yang Sabda cintai, dan itu adalah mutlak. Terlihat dari bagaimana Sabda memperlakukannya, dia memperlakukan Rania seperti ratu. Membelikan apa pun barang kesukaannya, sama seperti waktu mereka pacaran dulu.

"Aku menyukaimu."

Itu adalah kalimat yang diucapkan Sabda setahun yang lalu saat mereka bertemu di salah satu taman kota untuk pertama kalinya.

Waktu itu Sabda sedang ada urusan bisnis ke luar kota, mereka bertemu karena suatu insiden. Sabda tersesat dan justru Rania yang menjadi penolongnya. Dia membantu pria itu dan menghantarkannya sampai ke hotel di mana Sabda menginap.

Rania pun dengan polosnya menerima setelah melihat segala ketulusan Sabda. Awalnya dia tidak tahu bahwa pria yang menembaknya itu ternyata adalah sosok pria kaya raya. Berbeda dari dirinya.

Kekayaan Sabda yang tinggal diumpamakan uangnya cukup untuk membeli tiga gedung, itu juga masih kembalian kayaknya. Rania masih tidak menyangka. Bahkan untuk urusan beli saham mall besar di ibukota adalah hal kecil untuk seorang Sabda.

Dia merantau ke kota ini untuk kuliah sekaligus mendapatkan pekerjaan demi membantu perekonomian keluarga. Siapa sangka Sabda justru membantunya. Sempat pria itu menawari Rania untuk bekerja di salah satu cabang perusahaan miliknya yang ada di kota kelahiran Rania. Namun, gadis itu menolak.

Rania diberi supir sendiri juga kartu ATM dari berbagai bank berikut black card sakti, tapi Rania jarang memakai semua fasilitas yang diberi Sabda. Dia lebih sering naik taksi online atau bus. Setiap hendak berangkat kerja maupun ke kampus. Bukannya tak menghargai, kadang dia tahu diri untuk tidak terlalu bergantung pada pria itu.

Karena itulah Rania langsung down ketika mendengar suara wanita lain di rumah kekasihnya, meski Sabda berdalih bahwa itu adalah suara bibinya. Tetap saja ... Rania jadi kepikiran.

TBC

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now