22. Minta Restu

13.1K 591 23
                                    

“Bagaimana kondisimu, apakah membaik?”

Arsa menatap Shanum yang tengah duduk menyender di sandaran ranjang. Gadis itu tampak pucat, hal yang membuat Arsa benar-benar iba. Biasanya Shanum datang ke toko di jam-jam seperti sekarang. Namun, sekarang dia harus melihat pelanggan setia Jun’s Bakery tampak tak berdaya.

“Alhamdulillah, aku baik. Kenapa kamu datang? Siapa yang memberi tahu alamat rumahku?” tanya Shanum.

“Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak datang ke toko. Setelah kutanya pada ibu, katanya kamu sakit dan aku disuruh mengantar roti.”

Rupanya Arsa mengetahui hal ini dari ibunya, beliau juga yang memberitahu Arsa alamat rumahnya. Sudah beberapa hari Shanum tak datang ke toko, hal itu membuat Arsa penasaran. Makanya dia datang dengan membawa roti kesukaan Shanum dan berharap wanita itu cepat sembuh.

“Sudah pergi ke dokter belum?”

“Sudah, ada adikku yang merawat. Tidak perlu mencemaskan apa pun. Terima kasih atas perhatianmu, Sa.”

Arsa tersenyum mendengar hal itu. Dia berharap Shanum lekas sehat. Shanum yang biasanya selalu terlihat anggun kini tampak tak berdaya dengan wajah dan bibir yang memucat. Shanum bilang dia tak selera makan karena mulutnya pahit.

“Suamimu tak ada di rumah?”

Shanum menggeleng. “Dia sedang ada urusan bisnis di luar kota, jadi belum pulang sampai sekarang.”

“Padahal istrinya sedang sakit, seharusnya dia segera pulang begitu tahu kamu sakit begini.”

Arsa menganggap Sabda bukanlah tipe suami yang peka. Bagaimana bisa pria itu pergi meninggalkan Shanum seorang diri dalam keadaan sakit seperti ini?

Arsa termasuk pria yang peka, meskipun Shanum tidak pernah menceritakan apa pun tentang rumah tangganya pada orang lain, tapi binar di dalam mata gadis itu tidak pernah bisa dibohongi. Ada luka tak kasat mata di sana.

Sekasar apa pun Shanum pada suaminya, dia tetap sosok perempuan yang butuh dilindungi dan diperhatikan. Justru kalau orang lain tahu dirinya rapuh, mereka punya celah untuk menyakiti Shanum.

Maka dari itu, dia mengatur sendiri hal apa saja yang bisa membuatnya sakit hati. Siapa yang harus Shanum tanggapi dan tidak. Sekalipun mendapat omongan tidak enak dari orang lain, entah itu saudara atau tetangga, Shanum tidak terlalu sakit hati, karena omongan mereka tidak perlu diingat apalagi ditanggapi.

“Aku bisa menjaga diriku sendiri, Arsa. Justru kalau Mas Sabda libur untuk mengurusku di rumah, pekerjaannya akan semakin banyak dan dia bisa keteteran nanti.”

Shanum sedang tidak mau membahas Sabda lebih jauh. Akan semakin terlihat kentara kalau mereka kurang akur. Meskipun Shanum benci perlakuan pria itu, tapi Shanum tidak mungkin sampai membuka aib suaminya sendiri di depan orang lain.

Mau bagaimana pun, Sabda tetaplah suaminya.

“Ah benar, kuharap suamimu segera pulang. Kamu harus segera ke dokter, Shanum.”

“Suamiku akan pulang sebentar lagi. Mungkin hari ini, Sa. Jangan cemas.” Shanum tersenyum ramah.

***

Sabda masih berada di kota kelahiran Rania, mereka makan malam di luar bertiga. Sabda sengaja membawa dua orang itu ke sebuah restoran mewah.

Tak hanya untuk membuat sang ayah terkesan, Sabda juga ingin menciptakan obrolan yang hangat dan menyenangkan. Karena itu, restoran mewah menjadi pilihan terbaik. Alam dan Rania tidak perlu memikirkan berapa biaya yang harus keluar, sebab Sabda yang menanggung semuanya.

Mereka memesan berbagai hidangan. Mulai dari steik, pasta, sup, salad, dan hidangan penutup lain. Semua sajian itu terlihat mewah dan menggiurkan, Rania senang ketika melihat ayahnya begitu antusias menlihat banyak hidangan lezat di hadapannya.

“Apa tidak masalah kalau kamu memesan makanan sebanyak ini?” tanya Alam pada Sabda.

“Tidak apa-apa. Om bebas untuk memesan apa pun, kalau butuh sesuatu bilang saja. Tidak perlu sungkan.” Sabda bersikap seramah mungkin.

Mereka makan malam dengan tenang. Suasana hangat diiringi alunan musik yang dibawakan oleh restoran tersebut cukup membuat suasana menjadi syahdu.

“Jadi, kamu sudah punya niatan untuk serius dengan putriku?” tanya Alam setelah dia menghabiskan makanan penutup, berupa kue tiramisu.

Sabda mengangguk, dia menoleh ke arah Rania dan tersenyum hangat. Seolah Sabda sedang melakukan pendekatan dengan calon mertua.

Sabda sudah sangat terlatih dengan hal ini, sebab dia sudah terbiasa melakukannya dengan ayah Shanum. Jadi, itu bukan lagi hal yang sulit. Sabda tentu lebih ahli dalam hal ini.

“Tentu saja, jika Om mengizinkan. Saya akan menikahi Rania.”

Mendengar ucapan penuh rasa percaya diri itu Alam menatap Rania, putrinya tersenyum bahagia, seolah dia tak salah pilih.

Sabda bisa bersikap sesantai itu tanpa memikirkan kondisi Shanum yang sedang kesulitan. Salah satu alasan yang membuat Sabda nekat untuk menikahi Rania adalah; dia berencana untuk menceraikan Shanum suatu hari nanti.

Awalnya, Sabda memang tidak bisa melepaskan Shanum. Sebab wanita itu adalah harapan keluarganya. Salah satu alasan sang ibu bisa menerimanya, tapi entah kapan Sabda berani menceraikan Shanum. Dia akan menunggu waktu yang tepat, mungkin.

Sabda menikahi Shanum pun bukan atas keinginannya, seharusnya Sabda hari itu menolak jika memang tak ingin, tapi dia sadar bahwa hal itu hanya akan membuat keluarganya sedih, akhirnya Sabda terpaksa menerima.

Shanum jelas bukan perempuan biasa. Dia mandiri, pekerja keras, bahkan cantik. Siapa yang tidak suka perempuan seperti Shanum? Meskipun begitu, Sabda tetap saja tidak terbuka hatinya selama lima tahun ini. Entah kenapa, meskipun sulit untuk mencintainya, Sabda tidak bisa melepaskan Shanum.

***
“Sayang, kenapa?”

Rania menyadarkan bayangan Shanum dalam benak Sabda. Pria itu tersentak ketika dia mulai sadar, Sabda menoleh ke arah kekasihnya lantas tersenyum hangat.

Mereka sudah pulang dari acara makan malam. Kini Sabda dan Rania sedang duduk di teras depan berdua, menatap langit yang sama. Alam sudah lebih dulu masuk ke dalam dan beristirahat, meninggalkan dua orang itu untuk mengobrol.

“Maaf kalau papa terlalu keras sama kamu,” kata Rania tulus. Dia cemas kalau Sabda tidak enak hati karena pertanyaan ayahnya.

“Tidak apa-apa, lagipula tidak ada yang perlu aku takutkan dari beliau. Kalau pun beliau marah, sudah pasti itu demi kebaikan kamu bukan?”

Rania menggeleng, enggan membuat Sabda berpikiran yang tidak-tidak tentang apa yang sudah terjadi. Dia juga takut kalau Sabda meninggalkannya.

Satu tahun jelas bukan waktu yang sebentar bagi mereka untuk memadu kasih, Rania memang sangat mencintai Sabda. Meski dia kerap dibuat curiga tentang banyak hal. Namun, Sabda selalu sukses membuatnya kembali percaya, seolah hal buruk yang ada di kepala Rania hanyalah prasangka semata.

Mereka berdua saling mencintai, sama seperti pasangan kebanyakan. Hanya saja, seandainya Rania tahu kebohongan fatal apa yang sudah disembunyikan oleh Sabda selama ini. Apakah wanita itu masih mau menerima?

“Kakimu masih sakit? Seharian kuajak pergi terus,” tanya Sabda mengalihkan topik.

Rania menggeleng, justru dia senang berjalan-jalan dengan Sabda. Mereka selalu berjalan beriringan, pria itu terlalu tinggi untuk Rania, meski Rania sudah mengenakan heels, tingginya tetap sangat keterlaluan.

“Kamu senang ada di sini?” tanya Rania.

“Karena bersamamu, semua tak seburuk yang kubayangkan.”

Rania tersenyum mendengar nada suara kekasihnya yang serak. Kemudian tatapan Sabda berkelana memerhatikan tulang selangka, bahu, lengan, dan apa pun pada tubuh Rania yang tak tertutup kain.

“Kemarilah.” Dia menjangkau tangan Rania dan membawanya dalam pelukan erat. Serat pakaiannya mengirimkan kehangatan. “Mulai hangat?”

Rania mendongak. “Kenapa memelukku?”

“Aku hanya ingin.”

Hening sepersekian detik, Rania tidak menyadari bahwa ada banyak hal yang sedang Sabda pikirkan. Lebih dari itu, Sabda mencemaskan banyak hal, tapi dia tidak ingin Rania menyadarinya.

“Aku berjanji akan menikahimu, aku sudah meminta restu pada ayahmu. Kita akan segera menikah.”

***
Ada kalanya, satu-satunya tempat yang paling kau ingin adalah di sisi seseorang. Tempat di mana kau ingin didengar, dipahami, dihargai, dan leluasa untuk menyampaikan segala hal di dalam dada yang selama ini membuat sesak.

Kau tak ingin apa-apa. Kau hanya ingin berada di sisi seseorang yang satu kalimat darinya mampu membuat segala gelisahmu runtuh. Kau hanya ingin berada di sisi seseorang yang di dalam peluknya kau menemukan tempat paling aman. Kau hanya ingin berada di sisi seseorang yang tawanya dapat memancing tawamu juga.

Kau hanya ingin berada di sisi seseorang yang membuatmu mampu menghadapi dunia sebab kau sadar kau tak akan dibiarkan sendiri. Karena sebesar apa pun dunia memberimu cobaan, cukup hanya satu dukungan kecil yang mampu menguatkanmu agar tak karam.

Kau hanya ingin berada di sisi seseorang yang menggenggam tangannya sama dengan kau menggenggam dunia dan isinya.

Namun, kembali pada kenyataan. Hidup tak melulu harus bergantung pada orang lain. Bahagia tak harus menjadi tanggung jawab orang lain. Seharusnya dirimu sendiri sudah cukup. Seharusnya kau tak perlu berharap apa-apa pada orang lain. Sebab sumber kecewa terbesar berasal dari pembawa bahagia terhebat dalam hidupmu.

Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Shanum baru bangun dengan tubuh yang setengah remuk karena rasa sakit yang masih melanda. Dia sudah minum obat, panasnya sedikit turun, tapi badannya masih begitu hangat.

Shanum terbangun karena dering ponsel yang tidak juga berhenti. Dia heran, siapa orang yang menghubunginya di jam-jam seperti ini? Tidak bisakah orang itu mengerti kalau Shanum juga butuh istirahat.

Beranjak dari posisi dengan tangan memegang selimut sebagai penutup dada, dia menjangkau nakas dan meraih ponselnya yang berbunyi, tanda sebuah panggilan masuk.

“Halo, siapa?” Shanum menyahut ketika ponsel itu sudah menempel di telinganya.

Tidak ada sahutan, yang ada hanyalah kesunyian. Shanum kembali menatap nomor yang tertera, dia tidak tahu siapa orang tersebut.

Tidak berapa lama, terdengar suara dari seberang sana, suara yang sangat Shanum kenali.

“Ini aku, maaf tidak menghubungi lebih dulu. Ponselku sedang rusak. Jadi, aku meminjam ponsel rekan.”

Shanum terkejut, matanya langsung membuka sempurna saat suara Sabda terdengar jelas meminta maaf dan beralasan kalau ponselnya rusak.

“Kapan kamu pulang?”

Sabda menghubungi Shanum, dia juga terpaksa berbohong supaya istrinya tidak curiga.

“Mungkin dua hari lagi, masih banyak urusan di sini. Kenapa?”

“Aku sakit, Mas. Tidak ada yang membantuku di sini. Pulanglah secepatnya. Aku malu jika harus merepotkan mama terus!”

Sabda masih diam menyimak, Shanum terus saja mengomel di telepon. Bahkan meski terpisah ribuan kilometer, hubungan mereka tetap tidak akur. Itu yang kadang membuat Sabda sakit kepala. Dia pikir, hubungannya dengan Shanum sudah membaik setelah dia meminta maaf.

“Baiklah, maafkan aku. Sekarang tidurlah. Ini sudah malam, aku akan pulang tak lama lagi. Pastikan kamu minum obat dengan teratur dan jangan membantah.”

"Kapan kamu pulang?"

"Mungkin besok. Pokoknya jangan menungguku."

Sabda tidak berkata apa pun lagi. Dia mematikan ponsel setelah mengatakan hal itu, seolah tidak mau mendengar penjelasan Shanum tentang sakitnya.

Bukannya Shanum manja, dia wanita yang mandiri. Hanya saja, suasana rumah yang sepi dan kondisinya yang sakit cukup merepotkan. Dia tidak bisa terus bergantung pada sang ibu.

Shanum menghela napas, lagi-lagi dia harus melalui semuanya sendirian. Memang benar, meskipun inginmu hanya sesederhana bersandar pada dada yang mampu membuatmu kuat dan lega, tetap saja dia bisa memilih untuk tak ada dan kau tak boleh kecewa.

Baiklah, akan Shanum beri perhitungan jika nanti pria itu pulang ke rumah.



TBC

Besok kita lihat Shanum ngamuk, ya. See u. ☺️

Cara sederhana untuk menyemangati author. Cukup vote, komen, dan share ❤️

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now