6. Keributan Suami Istri

16.5K 824 5
                                    

Bunyi peralatan masak di dapur terdengar amat memekakkan telinga pagi ini. Sabda menutup telinganya dengan kedua tangan dan berkali-kali mengeluh kesal. Ingin rasanya dia datang ke dapur dan mengoceh pada sang istri yang sibuk memasak. Namun, seperti tak pernah beres.



Sepulangnya dari acara makan malam bersama orang tuanya, Sabda dan Shanum kembali ribut. Bagaimana tidak? Sabda dengan entengnya meminta Shanum untuk mengadopsi anak saja. Apa pria itu sudah sakit jiwa?



Shanum sehat, dia berkesempatan memiliki anak, tapi tanggapan Sabda malah begitu, seolah dia adalah wanita mandul yang susah mendapat keturunan. Padahal ini salah pria itu sendiri yang terlalu menjaga jarak.



Kekesalan Shanum jelas belum mereda. Karena itu, pagi ini dia melampiaskannya pada barang-barang yang ada di dapur.



Sabda semakin tak tahan mendengar suara barang-barang dapur yang saling menghantam bak rudal yang dijatuhkan ke tengah kota. Dia lekas keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju dapur.



Tak disangka-sangka, dia malah menemukan keadaan dapur yang sudah berantakan. Potongan sayur, botol saus, kecap, minyak, dan beberapa panci lainnya memenuhi permukaan lantai dapur. Pria itu membulatkan mata.



"Apa-apaan ini, Sha. Kamu gak bisa masak atau gimana? Kamu mau menghancurkan rumah ini?!"



Sabda mulai mengoceh. Dia mendekati Shanum yang masih sibuk dengan masakannya. Melihat ekspresi sang istri yang tampak menyeramkan, Sabda menebak dia tidak akan menemukan makanan enak di sana.



Mengabaikan kehadiran suaminya di dapur. Shanum fokus memotong sayuran secara asal-asalan. Sabda mengalah, dia tak mau ribut dengan Shanum pagi ini, banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Jika mereka ribut, sudah pasti Sabda akan terlambat.



Pria itu menduduki kursi makan, Shanum dengan wajah kusutnya berjalan mendekat dan menghidangkan sup yang-entah apa-berkuah bening dengan potongan wortel berukuran besar, sebesar jempol orang dewasa.



Sabda mulai mencicipi kuah masakannya dengan sendok kecil. Jika biasanya Shanum akan membuat masakan dengan cita rasa lezat bak koki terkenal dunia sekelas Gordon Ramsay. Kali ini tidak.



"Astaga apa ini?!" katanya dengan ekspresi yang benar-benar jelek, seolah menggambarkan penderitaan. "Kamu mau memberiku makanan beracun hari ini? Hei, cukup! Kemarin malam aku sudah meminta maaf padamu," oceh Sabda kesal.



"Masih untung aku mau memasak makanan untukmu! Memangnya kenapa? Kau bisa makan di luar kalau tak suka. Apa selingkuhanmu itu tak bisa masak?!"



Shanum tak kalah garang, dia mematikan api kompor kemudian duduk di kursi sambil memegangi dahinya dengan kedua tangan.



Shanum benar-benar tak bisa melupakan ucapan Sabda tadi malam di depan mertuanya. Pria itu memang sudah kehilangan otak.



Sabda menghela napas, dia ikut duduk di samping wanita itu. "Aku sudah minta maaf padamu. Orang tuaku juga tak terlalu memusingkan hal ini. Ada apa denganmu, Shanum!" katanya tampak frustrasi. Shanum mendesah malas.



"Kamu masih selalu bersikap kayak gitu. Emang kamu gak pernah mikirin apa kesalahan kamu selama ini? Mulutmu itu memang minta dilakban, ya? Pokoknya kalau keluargamu tiba-tiba menuduhku mandul, semua ini salahmu!"



Shanum kembali mengungkit keributan tadi malam. Shanum masih tidak terima ketika Sabda mengatakan pada orang tuanya kalau mereka tidak bisa memiliki anak dan akan memilih untuk adopsi anak saja.



Istri mana yang tidak terluka mendengar ucapan seperti itu dari mulut suami sendiri? Shanum rasanya ingin sekali mencincang suaminya bak psikopat yang memutilasi tubuh korbannya.



"Astaga, Sha! Kamu pikir keluargaku sepicik itu? Aku yakin mereka tidak akan setega itu untuk membenarkan semua ucapanku. Jangan berlebihan, kita baru menikah empat tahun. Masih banyak perempuan di luar sana yang belum punya anak dan usia pernikahannya lebih lama dari kita!"



Ucapan Sabda terdengar menyakitkan di telinga Shanum. Pria itu memang tidak tahu cara menghargai perempuan, sampai sekarang Shanum penasaran apa yang sudah merasuki pria ini sampai dengan entengnya berkata demikian.



"Dasar sinting! Dua hal itu tidak bisa dijadikan perbandingan. Apa otakmu itu sudah kau buang ke tempat sampah sampai-sampai dengan entengnya kau bicara omong kosong? Dasar gila!"



Pagi yang cerah di kediaman Tuan Sabdatama diawali dengan perdebatan antar suami istri. Para pelayan di rumah itu seolah sudah paham dengan sifat masing-masing majikannya. Mereka semua hanya bisa diam, bersembunyi di tembok pembatas, atau justru kembali bekerja.



Tidak ada yang mau ikut campur atau sekadar menengahi pertikaian dua pasangan tersebut.



"Aku salah apa lagi, Sha? Bukankah kenyataannya memang begitu? Lagipula apa yang diharapkan dari pernikahan ini? Kamu berharap punya anak dariku? Mimpi!"



Shanum mendengkus, Sabda kembali bersikap congkak. Wanita itu sudah sangat lelah menghadapi sikap egois Sabda yang sudah kelewat batas, entah harus dengan cara apa lagi Shanum menyadarkannya.



"Kau masih bertanya apa salahmu? Banyak! Mau kusebutkan dari mana? Atau mau kuungkit kesalahan-kesalahanmu dari awal kita menikah sampai sekarang?" Shanum menantang Sabda, kedua matanya melotot garang.



Shanum bukan tipikal perempuan yang hanya bisa menangis ketika disakiti suaminya. Sebisa mungkin dia akan mempertahankan harga dirinya supaya tidak terlihat lemah di hadapan orang lain. Shanum benci terlihat lemah. Dia benci dikasihani.



"Kenapa menatapku begitu? Baru sadar kalau ucapanku benar? Kau memang lelaki bajingan. Suami tak bertanggung jawab!"



Sabda ikut melotot mendengar ucapan Shanum yang begitu keterlaluan. Bisa-bisanya dia merendahkan suaminya sendiri.



"Jaga ucapanmu, Sha!"



Sabda masih saja belum menyadari apa kekesalan Shanum. Sudah cukup. Wanita itu tidak tahan lagi. Dia melepas apron yang melekat di tubuhnya.



"Makan saja di luar. Aku lelah berdebat denganmu. Kau tidak pernah mengerti apa pun. Mas! Sekarang berhenti bersikap peduli," kata Shanum malas. "Terserah mau pulang atau tidak. Aku tidak mau lagi berdebat denganmu. Pacaran saja dengan wanita yang kau anggap istimewa itu. Siapa tahu selama ini kalian memang berjodoh dan aku bisa pergi dari rumah ini."



Dia lekas beranjak hendak meninggalkan Sabda. Namun, pria itu dengan cepat menahan pergelangan tangan sang istri.



"Hey. Apa maksudmu tadi?"



Shanum yang sudah habis kesabaran hanya bisa menatap Sabda dengan ekspresi seolah ingin menghajar pria itu sampai babak belur. Paling tidak, sampai Sabda mati kalau bisa.



"Lepaskan aku!"



"Jelaskan dulu maksud dari kata-katamu tadi." Sabda bersikeras meminta Shanum untuk tidak pergi dari sana. Sementara itu sang istri sudah sangat pusing dan butuh tidur untuk menjernihkan pikiran.



"Lepaskan! Pergi saja ke mana pun, kalau perlu, hamili saja selingkuhanmu itu. Jadi, kau tak harus repot-repot mengadopsi anak!"



Sabda tidak sempat membalas ucapan Shanum karena wanita itu sudah lebih dulu melepas cengkeraman Sabda pada tangannya.



Sabda tersentak kaget mendengar ucapan Shanum yang benar-benar dipenuhi kemarahan. Masalah anak selalu menjadi topik yang sangat sensitif untuknya.



Setelah cengkeraman itu terlepas, Shanum kemudian beranjak pergi dari sana. Benar-benar memuakkan.

TBC

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now