27. Bertemu Shanum

18.3K 648 21
                                    

Rania baru saja pulang dari kafe tempatnya bekerja lebih awal hari ini. Dia ingin beristirahat dan mengerjakan tugas kuliah sebelum pergi makan.

Dia sudah menghubungi Sabda. Namun, ponsel pria itu kembali tidak aktif. Lagi-lagi Rania cemas, ke mana pria itu pergi, sejak dua hari yang lalu Sabda tak menemuinya. Apakah mungkin dia sedang sibuk?

Rania kembali melanjutkan langkah, dia ingin segera mengistirahatkan tubuhnya yang letih. Tak berapa lama langkahnya langsung terhenti ketika melihat wanita yang pernah memakai mobil milik kekasihnya turun dari dalam mobil. Wanita itu berpakaian elegan. Outer coklat dipadu inner dan celana kain berwarna senada.

Satu tangannya menempelkan ponsel ke telinga sementara tangan lainnya menenteng kantong belanjaan.

Melihat sosok tersebut suasana hati Rania langsung berubah. Rania memperhatikannya dari jauh, wanita itu tidak pergi dengan memakai mobil milik Sabda.

Dia sempat mencurigai Shanum adalah salah satu simpanan kekasihnya.

Jika seandainya hal itu benar, Rania akan meminta penjelasan pada Sabda. Dia takut kekasihnya bermain api di belakang.

“Aku habis membeli roti, kamu sudah makan? Aku sedang dalam perjalanan ke rumahmu. Banyak yang ingin kuceritakan sama kamu.”

Rania masih mengawasi wanita itu, dia tidak tahu siapa yang tengah bicara dengannya di telepon. Apakah Sabda, atau orang lain.

“Mau minum kopi? Kalau lambungmu bermasalah lagi, aku tidak mau tahu.”

Rania yakin bahwa sosok yang sedang ditelepon oleh Shanum bukanlah Sabda. Tapi, Rania ingin memastikan sendiri selagi wanita itu tidak menyadarinya sebagai kekasih Sabda.

“Lebih baik kita makan ramen saja, ditambah bubuk cabe lebih oke. Tidak perlu repot-repot membeli bahan. Aku sudah belanja banyak.”

Rania tidak kehilangan kesempatan. Dia sangat ingin menghentikan segala kecurigaannya pada Sabda, karena itulah dia seperti penguntit. Berjalan diam-diam mengikuti langkah wanita itu.

Shanum menutup teleponnya dan memasukkan ponsel ke dalam tas selempang. Mulai melanjutkan langkah. Dia tersenyum semringah menuju salah satu tempat, tanpa menyadari ada sosok Rania yang mengikuti di belakangnya.

Rania masih kesal bila mengingat kejadian waktu itu. Tak salah lagi wanita itulah yang membuat Sabda berbohong padanya. Bila memang tidak ada hubungan yang ditutup-tutupi, kenapa Sabda harus berdusta?

Rania mengekori Shanum yang berbelok menuju gang lebar. Dia tak mengetahui ke mana tujuan Shanum. Langkahnya berhenti di jalan utama mengarah pada distrik perumahan. Rania terus membuntuti dan bersembunyi tak jauh dari sana.

Tak berapa lama Shanum tiba di depan sebuah rumah sederhana bercat biru. Rania bersembunyi di samping mobil yang terparkir tepat di depan rumah itu. Memperhatikan Shanum dalam diam yang tengah menekan passcode gerbang, tidak butuh waktu lama, seorang perempuan berambut sebahu membuka pintu rumah dan tersenyum semringah.

“Sudah kuduga, kamu akan jauh-jauh datang ke sini, Sha,” kata wanita itu semangat. “Mana Sabda? Kamu gak ngajak dia?”

Mata Rania melotot saat gadis tersebut mengucapkan nama kekasihnya. Dia jadi tambah curiga dengan apa yang sedang terjadi. Apakah Sabda dan wanita itu benar-benar ada hubungan lain?

“Dia sedang bekerja, Sinar. Aku datang sendiri agar kita bisa leluasa bercerita.”

Sinar terkekeh. “Ya sudah, ayo masuk.”

Rania menatap kedua wanita itu yang kemudian menghilang dari hadapannya, kedua wanita itu masuk ke dalam rumah. Rania menatap nanar. Dia tidak percaya apa yang barusan didengarnya. Apakah Rania salah mendengar?

Rania jadi bimbang harus mengambil tindakan bagaimana. Apakah dia harus bertanya langsung kepada Sabda mengenai hal ini?
***
“Mukamu makin lama makin pucat.” Sinar menatap prihati pada sahabatnya. “Makan kagak, sih?”

Shanum tergelak. “Makanlah, emang lagi berasa capek aja.”

“Dua hari lalu aku datang ke rumah, kamu nggak ada. Ke mana?” tanya Sinar memastikan.

“Oh, ke rumah orang tua.”

Sinar mengernyit, menatap Shanum yang sedang meneguk teh-nya. Mereka duduk di bagian belakang rumah yang teduh. Menikmati teh hijau hangat yang dibuat Sinar.

“Ada masalah lagi sama suamimu?” Bahkan tanpa Shanum jelaskan pun, Sinar sudah mampu menebak sendiri.

“Biasa.”

Shanum kembali terdiam, malas untuk menjelaskan. Dia menunduk, menghela napas panjang. Satu-satunya orang yang mengetahui keretakan rumah tangganya hanyalah Sinar seorang. Wanita itu juga sering menjadi tempat Shanum meminta saran atas semua kegundahan hatinya.

“Serius, mukamu pucat Shanum. Kelihatan lelah. Apa yang terjadi di rumah?”

Shanum memejamkan mata, menyandarkan kepala pada punggung kursi. Benar yang dikatakan Sinar, ia memang cenderung mudah lelah akhir-akhir ini. Dia mengkhawatirkan sesuatu dan berharap itu benar. Mendadak ia membuka mata dan bertanya serius pada sahabatnya.

“Sin, kamu dulu berapa kali bercinta sampai hamil anak pertama?”

Sinar mengernyit, kenapa tiba-tiba Shanum mengatakan hal itu? “Kami dulu bulan madu tiga hari, bercinta bagai sepasang orang gila. Tapi, hamil enam bulan kemudian. Kenapa?”

Ah, masih ada harapan. Shanum mulai parno sendiri, ketakutannya tidak beralasan. Shanum menyimpan harapan tersebut di dada. Belakangan ini dirinya mudah lelah, hal itu membuat Shanum berpikiran yang tidak-tidak. Terlebih malam itu dia memang sedang berada dalam masa subur.

“Kenapa mendadak tanya soal hamil? Bukannya kalian sepakat untuk tidak saling bersentuhan? Atau jangan-jangan, kalian benar-benar sudah melakukannya?”

Menggigit bibir, Shanum menimbang perkataan. Dia bingung, apakah harus berterus terang pada Sinar atau tidak. Namun, dia tidak sanggup menahan sendiri. Shanum sudah cukup stres dengan berbagai konflik dalam rumah tangganya.

“Sebenarnya, ada satu cerita penting yang kamu nggak tahu.”

Sinar mengernyit. “Ada apa? Hal penting apa?”

Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati tersirat rasa malu. Namun, Shanum berusaha mengabaikannya. Dia menoleh ke belakang. Sekadar mencari tahu tidak ada yang mendengar mereka bicara. Terdiam sesaat, menatap wajah Sinar yang tidak sabaran, akhirnya Shanum mulai bercerita.

“Malam itu, Sabda meniduriku.”

Selanjutnya, kata per kata dia ucapkan dengan hati-hati. Berusaha untuk mengesampingkan resah dan malu yang menggelayut di hati. Saat kalimat terakhir selesai dia ucapkan, Sinar melongo dan tak mampu berkata-kata. Dia terkejut bukan main.

“Serius? Sabda benar-benar menidurimu kemarin? Setelah lima tahun hubungan antara kalian berjalan?”

“Ssst!” Shanum menempelkan jari di bibir. “Iyaa, jangan kenceng-kenceng ngomongnya.”

“Kok bisa, sih? Sabda dapet hidayah?”

“Huft, mau bagaimana lagi? Waktu itu Sabda tidak sengaja melakukannya. Nasi udah jadi bubur, ’kan?”

“Bubur sih enak kalau pakai ayam dan sate, tapi dalam hal ini kok aku kasihan sama kamu, ya? Aduh, gimana ini?”

Sinar memiliki pikiran yang sama dengan Shanum, hanya karena masalah itu dia menjadi resah dengan kondisi mental sahabatnya. Sebenarnya Sinar senang saat mendengar Sabda akhirnya bisa menyentuh Shanum, tapi ternyata pria itu tak sengaja karena semalam mabuk berat.

“Aku nggak tahu,” ucap Shanum pasrah. “Yang aku pikirkan sekarang adalah, gimana nanti ke depannya kalau sampai aku—“

“Hamil!”

Keduanya berpandangan dalam satu pemahaman yang sama. Memikirkan tentang kemungkinan yang akan terjadi. Entah harus bahagia atau sedih. Shanum memegang pelipis, memikirkan jalan keluar tentang ketakutannya. Di berharap Sinar akan membantunya mencari jalan keluar, nyatanya sahabatnya malah ikut bingung sepertinya.

“Semoga saja kamu hamil sesuai harapan kamu. Bagaimana tanggapan Sabda? Apa kalian sudah bertemu?”

Shanum menggeleng, ini sudah hari kedua dia tidak bertemu Sabda. Pria itu tidak kunjung pulang atau mengabarinya. Sekadar bicara empat mata pun dia seolah enggan. Sabda seperti sedang menghindar.

“Dia ... Kamu tahu sendiri, kan, suamiku itu kayak apa, Sin.”

Sinar mengangguk. “Suami laknat!”
***
Sudah seminggu berlalu semenjak Shanum terakhir kali bertemu Sabda. Hubungan yang mereka bina selama lima tahun lamanya, kini kembali renggang. Shanum berusaha untuk tidak menyesali diri, meski hatinya remuk redam.

Selama ini, meski bisa dibilang hubungan mereka tidak terlalu harmonis, tapi harus diakui Sabda laki-laki yang baik. Dia bisa memahami, kenapa Sabda menolak jika Shanum mengandung anaknya. Pria itu merasa belum bisa menjadi suami dan ayah yang baik.

Beberapa kali Sabda menelepon, Shanum tidak pernah mengangkat. Pesan pun tidak dibalas. Bahkan pernah satu kali Sabda datang mencarinya ke rumah sang ibu, dengan tegas Shanum menolak bertemu. Setelah itu, laki-laki itu tidak datang lagi. Hingga siang ini, kedatangan mama mertua membuat Shanum susah untuk menolak.

Wanita setengah baya itu mengamati rumah Shanum yang lumayan asri. Shanum meletakkan segelas teh hangat di meja setelah itu dia duduk di hadapan ibu mertuanya dengan canggung.

Diana mengamati Shanum dari atas ke bawah. “Kamu kurus, pucat pula. Apa kamu sakit, Shanum?”

Shanum menggeleng, dia tersenyum canggung, berusaha untuk tidak membuat beliau curiga.

“Kamu kena anemia, Sayang?”

“Bisa jadi, Ma.”

“Makanya jaga kesehatan. Jangan sampai sakit lagi. Baru kemarin kan kamu sembuh, masa habis ini sakit lagi. Sayangi diri kamu.”

“Iya, Ma.” Shanum tak bisa menolak perhatian dari ibu mertuanya.

Sesaat mereka terdiam, Diana melirik Shanum sesaat. “Sayang, kenapa kamu memutuskan untuk pindah ke rumah orang tua kamu? Mama berkunjung ke rumah kalian dan di sana tidak ada siapa-siapa. Apa yang terjadi dengan kalian?”

Shanum menahan napas, dugaannya benar kalau Diana datang demi memastikan hubungannya dengan Sabda. Menggigit bibir bawah, dia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan sebelum menjawab pelan.

“Nggak ada apa-apa, Ma. Memang aku sedang butuh suasana baru. Aku lagi kangen keluarga aja.”

“Jujur sama mama!” sergah Diana. “Bisa-bisanya kamu memendam semuanya sendiri. Ada apa? Apa Sabda kurang memperhatikan kamu saat sakit? Dia memang kayak gitu. Nanti mama bakal bilang sama dia untuk mengurangi kesibukannya di kantor.”

Shanum menggeleng. Bagaimana mungkin ia jujur tentang selingkuhan suaminya. Dalam hal ini, dia tidak mungkin menyalahkan Sabda. Apalagi jika sampai sang ibu tahu bahwa Sabda baru menyentuhnya kemarin malam.

“Shanum! Apa kamu dengar?”

Mengangguk dengan berat hati, Shanum berucap pelan. “Iya, Ma.”

“Jawab, kenapa kamu malah diam? Ada apa sama kalian? Kenapa?”



TBC

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now