9. Suami Vs Istri

14.8K 732 7
                                    

“Mau sampai kapan menatapku dengan dingin begitu?”

Sabda menatap wanita di hadapannya lalu mengedikkan bahu merespon pertanyaan wanita itu.

“Memangnya kenapa? Aku juga punya mata.”

Pagi ini di meja makan, Sabda tampak tidak biasa, dia menatap Shanum terus menerus, bahkan pertanyaan Shanum ditanggapi dengan ketus oleh pria itu. Sang istri heran, apa lagi kesalahannya hari ini.

Sabda pulang pukul satu dini hari dan langsung tidur. Shanum tahu itu karena dia langsung terjaga saat mendengar pintu kamar mandi terdengar berdecit. Pria itu terlalu lelah untuk membahas maksud istrinya semalam, jadi dia memilih bicara esok hari.

“Sha, ayo kita bicara!”

“Tidak usah. Sebentar lagi kamu telat ke kantor!”

Ucapan Shanum benar-benar terdengar ketus, tidak peduli jika itu menyakiti perasan Sabda. Shanum tahu, pasti Sabda akan membahas maksud perbuatannya kemarin. Sebenarnya dia geli kalau harus mendengar ucapan Sabda tentang ulang tahun pernikahan.

Bahkan Sabda sendiri tidak ingat tanggal berapa dia melantunkan ijab sakral itu di hadapan penghulu. Hanya Shanum saja yang ingat.

“Kau ingat pesan mama tempo hari? Kita harus ke luar. Aku mau mengajakmu ke luar ... ayo kita jalan-jalan.” Sabda tampak sedikit ragu mengatakannya, tapi demi membuat Shanum bicara, Sabda rela menyingkirkan sedikit egonya.

Shanum menoleh ke arah suaminya, masih dengan tatapan yang sama. Wanita itu memilih untuk menyesap kopi hangat miliknya. Tidak peduli dengan ucapan Sabda sedikit pun.

“Aku sedang tak mau ke luar. Ini musim hujan.”

Sebuah penolakan yang membuat harga diri Sabda terluka, selama ini tidak ada satu pun orang yang berani menolak tawaran Sabda, hanyalah Shanum seorang.

“Kita harus membahas ini.”

“Bahas apa? Kalau begitu, bahas di sini saja. Kenapa harus repot-repot ke luar?”

Sabda menghela napas lagi, Shanum sungguh keras kepala melebihi batu. Sekarang dia bersikap seolah tidak ada apa pun yang terjadi.

Memilih untuk menuruti keinginan istrinya, Sabda mengajak Shanum untuk bicara empat mata.

“Kamu pernah bilang padaku jika pernikahan ini tidak ada artinya. Kamu juga bilang tak bahagia setelah menikah denganku. Lalu, untuk apa kamu melakukan perayaan konyol seperti kemarin?”

Perayaan konyol katanya? Shanum tertawa, bahkan meski tidak bahagia dengan Sabda, dia harus berakting di hadapan banyak orang agar terlihat seperti istri yang beruntung karena memiliki suami setampan dan sekaya Sabdatama Dzuhairi Nayaka.

Usahanya memang tidak pernah dihargai oleh Sabda. Dia hanya bertindak sewajarnya orang-orang melakukannya. Sabda hanya peduli pada Rania, bahkan saat gadis itu berulang tahun, Sabda memberinya kado satu unit sepeda motor. Berbeda dengan Shanum, pria itu malah sering lupa kapan perempuan itu dilahirkan.

“Anggap saja aku sedang merayakan hari di mana kita resmi hidup satu atap. Jangan terlalu memikirkan makna pernikahan. Kamu juga gak suka, kan?” Shanum menjawab ketus. “Aku gak mau ngapa-ngapain sekarang. Kalau kamu mau kerja, pergi saja. Aku tahu kamu sibuk. Tidak perlu memaksakan diri untuk bicara denganku. Itu buang-buang waktu.”

“Baiklah, aku tidak akan membahas ini, tapi kumohon berhentilah membuang-buang uang jika pada akhirnya makanan-makanan itu akan kau buang ke tempat sampah!”

Shanum mendongak menatap Sabda, ada kilatan bahaya yang terpancar di sana. Pria itu lagi-lagi mengajaknya ribut. Apa uang selalu lebih penting daripada perasaannya? Benar, Sabda hanya perhitungan kepadanya, tapi tidak pada Rania. Seandainya gadis itu meminta satu gedung megah sebagai tempat tinggal, Sabda sudah pasti akan mengabulkannya.

Hal tersebut membuat Shanum muak, kentara sekali kalau pria itu pilih kasih.

“Berhentilah mengurus uangku. Ini uangku, bukan uangmu. Mau sampai kapan kamu di sini? Pergilah ke kantor!”

Shanum mengusir, ia bangkit dari kursinya lalu melangkah pergi meninggalkan dapur. Hal yang membuat Sabda benar-benar tersinggung, istrinya selalu seperti ini. Tidak sopan.

“Kamu memang susah diajak bicara baik-baik. Aku masih tidak mengerti kenapa orang tuaku bisa menjodohkanku dengan wanita keras kepala sepertimu. Sehari saja, bisakah kita tidak bertengkar dan memperpanjang masalah?”

Sabda seperti habis kesabaran, dia ingin sekali mencekik wanita itu. Sayangnya, Sabda masih punya nurani. Lagipula Shanum bukan wanita biasa, dia bisa balik menuntut Sabda jika pria itu melakukan kekerasan.

“Kamu yang mulai, kenapa malah aku yang disalahkan? Kamu tidak pernah sadar, ya, kalau kamu juga salah? Mau sampai kapan bersikap egois?”

Shanum menjawab dengan tak kalah marahnya. Lihat! Bahkan Sabda hanya mengatakan hal itu, tapi Shanum sudah balik menyerangnya. Shanum bukan tipikal perempuan yang mudah menangis hanya karena berdebat dengan suami.

Dia sudah kebal hidup dalam neraka bernama rumah tangga. Awal-awal dia memang banyak menangis karena Sabda tak bisa memahami perasaannya, tapi semakin ke sini, Shanum mulai bersikap abai pada semua rasa sakitnya.

“Baik, terserah padamu. Aku lelah setiap kali kita bicara pasti berujung perdebatan.”

Sabda menyerah. Meskipun dia kesal dengan sikap Shanum. Akan tetapi, Sabda memilih untuk mengalah saja selagi hal itu bisa membuat keduanya berdamai dan tidak memperpanjang masalah.

Padahal sesungguhnya, Shanum hanya ingin didengar dan ditenangkan perasaannya. Mereka sudah masuk lima tahun pernikahan, masa Sabda masih saja tidak peka pada keinginan sang istri.

Ah, pada kenyataannya Sabda memang tidak peduli, bukan tidak peka lagi.

TBC

Surga yang Terabaikan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang