33. Amarah Orang Tua

18.6K 855 13
                                    

“Sabda!!”
Tiba di rumahnya sendiri, Wiratama tak dapat menahan gelegak emosi yang sejak tadi berusaha dipendam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


“Sabda!!”

Tiba di rumahnya sendiri, Wiratama tak dapat menahan gelegak emosi yang sejak tadi berusaha dipendam. Begitu mobil yang dikendarai sang sopir tiba di parkiran halaman rumah beliau, Pak Wira turun sembari membanting pintu. Diana hanya menggelengkan kepalanya. Beliau juga marah, tapi amarah beliau tidak ditunjukkan seperti apa yang suaminya lakukan.

Meskipun Shanum sudah berusaha untuk menutupi keretakan rumah tangganya dari keluarga suaminya, tapi tetap saja badai itu berembus sampai ke telinga mereka. Kabar Shanum yang ingin bercerai, secepat kilat menyebar ke telinga setiap keluarganya. Termasuk orang tua Sabda.

Pak Wira yang mengetahui lebih awal hal itu bergegas memanggil anak dan menantunya ke rumah untuk melakukan pembicaraan. Semua akibat ulah yang dilakukan Sabda. Lelaki itu tidak menyangka putranya akan memperlakukan sang menantu seperti ini.

Betapa inginnya Pak Wira mengamuk dan memukul Sabda habis-habisan jika beliau tak ingat bahwa putranya itu bukan lagi anak kecil yang pantas diperlakukan demikian. Pak Wira ingat, bahwa Sabda sudah memiliki istri, dan Pak Wira tak ingin membuat Sabda malu atau merasa rendahan di mata istrinya sendiri.

Melihat kemarahan sang Papa mertua yang sangat menyeramkan, Shanum memucat. Baru sekarang Shanum melihat mertuanya tersebut dalam mode paling menyeramkan ketika sedang marah. Diana meremas tangan menantunya supaya tetap tenang. Anehnya, meskipun Pak Wira tengah emosi, Sabda tetap menunjukkan riak santai. Mungkin dia sudah terbiasa melihat papanya marah semenyeramkan itu.

Brak!

Kali ini Pak Wira melemparkan tas kerjanya ke atas meja ruang keluarga hingga menimbulkan suara derakan keras. Semua orang tak ada yang berani bersuara.

“Kamu pikir apa yang kamu lakukan, Sabda! Mau sampai kapan kamu mempermalukan keluarga ini? Papa tidak pernah menyangka kamu bisa melakukan hal kotor seperti ini pada istrimu sendiri. Kamu sudah bosan jadi anak kami? Jika iya, kamu bisa pergi dari rumah ini dan jangan pernah memunculkan diri di hadapan kami lagi!” marah Pak Wira.

Wajah lelaki paruh baya itu memerah akibat ledakan emosi. Susah payah dia mempertahankan harga diri keluarganya di mata publik, ketika putranya sendiri membuat skandal perselingkuhan. Hal itu tak bisa ditolerir lagi.

“Pa.”

Sabda tidak percaya jika papanya tega berkata demikian terhadapnya. Akibat teriakan dan amarah Pak Wira yang tak terkontrol, para pelayan rumah saling bersembunyi dan berhenti menguping dari arah dapur. Mereka semua takut akan terkena imbas kemarahan tuan besar yang sedang tak terkendali.

“Papa memberimu jabatan dan kepercayaan di perusahaan karena kamu anak sulung di keluarga ini. Kami sudah menaruh harapan besar padamu, Sabda. Tapi lihat sekarang, gara-gara kebodohan yang kamu lakukan, perusahaan dan keluarga kita terkena imbasnya. Apakah seperti ini caramu membalas budi pada orang tua?”

“Bukan begitu, Pa. Papa dengerin alasan Sabda dulu.”

“Halah, alasan!” Pak Wira berdecih.

Sabda berusaha menjelaskan, tapi sang papa sama sekali tak memberikannya kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Apa yang pria itu lakukan sudah sangat fatal. Pak Wira sudah kehabisan kesabaran menghadapi skandal memalukan tersebut.

“Papa nggak butuh penjelasan busukmu lagi. Sudah cukup kamu bikin keluarga dan perusahaan kita dipandang buruk oleh orang-orang di luar sana. Sebenarnya apa yang kau cari? Apakah satu istri tidak cukup untukmu, sampai hati kau berselingkuh? Mau ditaruh di mana muka Mama dan Papa, Sabda?” Napas Pak Wira naik-turun.

Shanum tak bisa menengahi pertengkaran antara ayah mertua dan suaminya sendiri. Mereka memiliki kemiripan yang sama. Sama-sama tidak mau mengalah dan keras kepala. Shanum pun tidak tega melihat Sabda dimarahi habis-habisan seperti itu oleh ayahnya sendiri. Meskipun Sabda bukan suami yang baik untuknya, tapi Shanum tidak bisa melihatnya diperlakukan serendah ini oleh orang tua pria itu.

“Papa menjodohkan kamu dengan Shanum bukan hanya untuk memperkuat hubungan kekeluargaan dengan Tirta saja. Lebih dari itu, kami ingin kalian bisa belajar satu sama lain. Papa sudah sangat yakin kalau Shanum bisa membimbing kamu sebagai pria yang sukses dan bertanggungjawab, tapi apa yang terjadi sekarang? Kamu melakukan hal murahan di belakang istrimu? Apa yang kamu pikirkan, Sabda?”

Sabda terdiam, dia tahu dirinya salah karena sudah menyakiti Shanum dan itulah salah satu alasannya tak bisa menceraikan Shanum. Lebih karena dia adalah harapan keluarganya, tapi haruskah Sabda terus memaksakan diri untuk menerima di saat hatinya tak saling menginginkan?

“Sekarang dia sudah meminta cerai, kamu pikir kami akan menerima begitu saja keputusan kalian untuk bercerai? Kalau sejak awal kalian bilang tidak saling mencintai, papa dan mama tidak akan memaksa kalian untuk bertahan sampai sejauh ini!”

Pak Wira masih dengan emosinya yang meledak-ledak. Shanum menenangkan Diana yang menangis, beliau sedih karena kehidupan rumah tangga putranya ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Lebih dari itu, dia sedih melihat nasib Shanum yang begitu menderita selama menikah dengan putranya. Namun, wanita itu seakan bersikap seolah tak terjadi apa pun.

“Pa. Apa yang Papa lakukan padaku itu sudah kelewatan, Pa. Aku ini anak kalian, bukan boneka mainan yang bisa kalian atur begini-begitu. Kalian yang tetap berkeinginan menjadikan Shanum sebagai istriku. Bahkan kalian mengatur perjodohan itu tanpa membicarakan lebih dulu denganku. Sekarang, saat semuanya sudah memanas, kalian tetap mau menyalahkanku juga? Aku menikahi dia karena Papa. Aku bahkan tak pernah mau menyentuh Shanum sama sekali, tapi begitu aku teringat bahwa kalian menginginkan kehadiran seorang cucu. Aku menyanggupinya. Semua yang aku lakukan pada Shanum itu karena ulah kalian. Semua karena permintaan konyol kalian. Aku nggak pernah berkeinginan menyakiti Shanum. Papa yang telah membuat Shanum tersakiti.”

Sabda meninggikan suara di hadapan orang tuanya. Napas pria itu naik-turun tak beraturan. Segala emosinya tercurah pada orang tuanya yang terlalu banyak menuntut. Cukup lama mereka bersandiwara tentang rumah tangga yang bahagia hanya demi kebahagiaan orang tuanya terpenuhi, meskipun harus mengorbankan banyak hati.

Semua orang terdiam mendengar ucapan Sabda, air mata Shanum juga menetes begitu saja. Kenapa rumah tangganya serumit ini? Apakah benar berpisah adalah salah satu jalan terbaik untuk mereka?

Shanum ingin sekali menampar Sabda dan berhenti berkata demikian pada orang tuanya. Dia ingin waktu berhenti begitu saja, dia ingin Sabda menarik lagi ucapannya. Bahwa semua itu tidak benar, bahwa meskipun Shanum menderita. Dia tetap pernah dibahagiakan oleh suaminya.

Diana dan Pak Wira seolah tersadarkan oleh segala perkataan penuh amarah dari Sabda. Selama ini beliau tidak pernah memikirkan dampak dari perbuatannya. Segala paksaan yang harus Sabda jalankan telah membuat putranya tersebut tersakiti. Tak hanya sang putra, bahkan Shanum juga turut menerima kesakitan itu.

Apakah salah jika selama ini beliau menginginkan sesuatu yang terbaik untuk putranya tersebut?

Cairan bening menggenang di pelupuk mata Diana. Beliau menghela napas, lantas mengusap air matanya sebelum bergulir jatuh membasahi kedua pipinya yang mulai berkerut.

Shanum menatap Diana dengan iba. Dia tidak menginginkan hal ini terjadi, tapi mau bagaimana lagi, Sabda sudah membuat orang tuanya terluka.

“Sudah cukup, Pa. Berhenti mendebat putramu,” kata Diana tiba-tiba. Wanita itu menghela napas sebelum berkata.

“Jika itu inginmu, mama dan papa akan berhenti ikut campur. Jika kamu ingin melanjutkan hubunganmu dengan wanita lain, silakan. Jika dulu kami yang pertama kali mempertemukanmu dengan Shanum, maka kali ini kami juga akan mengakhirinya. Kami setuju jika kalian bercerai. Setelah ini, jangan berharap bisa menemui Shanum lagi. Jika kamu nggak bisa bersikap baik pada Shanum, ceraikan dia. Ingat satu hal, menantu perempuan Mama hanya satu orang, yaitu Shanum. Tidak ada yang lain.”

Shanum dan Sabda terkejut mendengar suara Diana. Wanita itu memilih untuk bangun dari sofa dan berjalan menuju kamar. Kepergiannya menjadi akhir dari segalanya. Sabda berpikir, apakah keputusan yang diambil adalah jalan terbaik?

***

TBC

Part ini nyesek banget, Gais.

Selamat hari raya eid adha dari author. Telat sehari gapapa, yak, wkwkw.

See you ❤️

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now