25. Sabda Mabuk

17K 693 16
                                    

Sabda memasukkan nomor sandi pada pintu apartemen sebelum membukanya, begitu masuk dia melihat teman-temannya tengah duduk bersila di atas karpet bulu di ruang tengah. Mereka sudah lebih dulu tiba di apartemen.

Sabda tak lantas menghampiri. Pria itu melepas sepatunya terlebih dahulu, lalu meletakkan tas kantor di atas meja, baru bergabung dengan kedua temannya yang ada di sana.

“Maaf aku terlambat. Di kantor sedang banyak urusan,” ujar Sabda seraya duduk di seberang Andi dan Kara. “Maaf juga karena tak membawa apa pun ke sini. Rasanya terlalu mendadak.”

“Tak perlu membawa apa pun karena aku sudah memesan banyak makanan untuk menemani minum kita malam ini,” kata Andi. Sang pemilik acara segera menuangkan whiskey ke dalam gelas.

Sabda menerima uluran gelas kecil berisi minuman keras dari Andi, dia bersulang dengan kedua sahabatnya tersebut. Isi gelas tersebut ditenggaknya sampai habis, rasa panas dan kecut menyapa kerongkongannya yang kering. Sabda pikir keputusannya untuk minum-minum bersama dua orang ini adalah rencana yang tepat.

“Kenapa tiba-tiba mengajak kami minum?” Kara mengajukan pertanyaan setelah meneguk habis whiskey dalam gelas, pria itu mengambil kentang goreng dan segera melahapnya.

Sabda memang tak terbiasa berkumpul dengan teman-temannya setelah menikah, dia hanya keluar sesekali itu pun karena urusan pekerjaan. Mereka heran ketika Sabda mengajak untuk minum bersama. Padahal mereka pun tahu, Sabda tidak kuat minum. Pria itu sudah lama menghilangkan kebiasaan minumnya semenjak menikah dengan Shanum.

Tapi hari ini dia mengajak Andi dan Kara untuk minum bersama. Sabda tidak peduli kalau dia harus mabuk malam ini, sebab yang pria itu inginkan hanya melupakan problem rumah tangganya yang tak juga selesai. Sabda kembali menuangkan cairan beralkohol tersebut ke masing-masing gelas kosong.

“Aku merindukan kalian. Sudah dua bulan lamanya kita tidak bertemu dan jarang bertukar kabar. Aku ingin kita berkumpul lagi. Akhir-akhir ini banyak masalah menimpaku, tidak ada salahnya ‘kan kalau aku menghabiskan waktu dengan kalian?”

Kara dan Andi terkekeh, mereka mengerti dengan maksud Sabda. Padahal pria itu sedang ingin melepas kepenatannya karena masalah rumah tangga yang semakin retak akibat kata cerai yang dilontarkan Shanum. Meskipun begitu, Sabda tidak mau menyerah.

Ini sudah gelas keempat yang Sabda teguk. Bohong jika masalah akan terlupakan setelah dia memilih untuk minum-minum dengan sahabatnya. Bahkan dalam kondisi setengah mabuk saat ini, Sabda tak bisa melupakan masalah rumah tangganya bersama Shanum.

Rasa sakitnya seakan semakin menyesakkan menghunus dada, lalu merambat ke kepalanya. Sabda sudah berjanji akan menikahi Rania, tapi dia juga bimbang, haruskah menceraikan Shanum? Terdengar egois, tapi dia memang tidak akan semudah itu melepaskan Shanum dari hidupnya.

“Pasti ada masalah besar yang mengganggumu, jangan terlalu sibuk dengan tumpukan pekerjaan. Jadi, cepat ceritakan masalahmu. Jangan membuatku dan Andi menduga yang tidak-tidak.” Kara memulai obrolan.

Sabda mengulum bibir bawahnya. Menuangkan whiskey dan meneguknya sekali lagi. Memejamkan mata saat rasa pahit menyapa kerongkongan untuk yang ke sekian kali, lantas pria itu mengembuskan napas dalam.

“Kalian tahu, aku dan Shanum sudah lama bersama bukan?”

Andi dan Kara mengangguk mendengar pertanyaan Sabda. Tentu saja mereka tahu pria itu sudah menikah.

“Aku bahkan iri dengan pasangan yang satu ini.” Andi terkekeh dengan ucapannya sendiri. “Kalian sangat serasi. Sepertinya Tuhan sangat baik padamu, kau menikah dengan perempuan yang sangat cantik dan cerdas.”

Sontak Sabda tertawa hambar. Seperti biasa, semua orang selalu menyangka bahwa mereka pasangan serasi, rumah tangganya terlihat utuh dan harmonis, padahal di dalamnya sangat rapuh. Sekali sentuh bisa langsung hancur dan luruh.

Sabda menjatuhkan tatapan pada gelas kosong yang kembali diisi oleh Kara, lalu mereka segera meminumnya dalam sekali teguk.

Sabda menepuk dada saat napasnya tersengal.

“Dulu, kupikir dengan menikah lebih cepat akan membuat hidupku bahagia. Namun, seiring berjalannya waktu ... kami mulai paham bahwa menikah bukan lagi soal cinta. Menjalani pernikahan ternyata tidak mudah. Menyatukan dua orang dengan sifat dan isi kepala yang berbeda justru sulit. Kadang rasa itu terasa hambar dalam beberapa keadaan.”

Tangan Sabda memainkan cincin pernikahannya. Memandang benda itu dengan tatapan sayu sembari mengingat kembali masa-masa penuh perdebatan yang dilaluinya bersama Shanum di tahun-tahun mereka hidup bersama.

“Masalah akan selalu ada dalam pernikahan, kalian tidak salah,” kata Kara.

“Kau tidak ingin bilang bahwa salah satu dari kalian sedang memutuskan untuk berpisah, bukan?” ucap Andi perlahan.

Sabda sontak menggeleng. Andi dan Kara mengembuskan napas lega ketika melihat respons Sabda, mereka juga menyadari kalau rumah tangga sahabatnya itu berjalan dengan baik. Namun, mereka tersentak setelah mendengar jawaban Sabda yang tiba-tiba.

“Kami saling melukai. Sampai saat ini orang tuaku terus mengeluh karena selama lima tahun hidup bersama, aku dan Shanum belum mendapatkan keturunan. Kalian tahu rasanya mendapatkan tekanan tersebut, ‘kan?”

Sabda mulai menyimpulkan bahwa kebahagiaan pasangan berkeluarga tak lagi terletak pada saling menerima dan terbuka satu sama lain. Namun, kebahagiaan diukur dari kapan kau bisa mendapatkan keturunan.

“Apa Shanum menyalahkanmu hanya karena dia belum juga hamil?”

Sabda menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Kara. Kesalahan besarnya bukan pada Shanum, melainkan dirinya sendiri. Bagaimana wanita itu bisa hamil jika sang istri tidak pernah disentuh oleh suaminya?

“Tidak, Shanum bukan wanita seperti itu. Hanya saja, masalahnya ada wanita lain yang lebih bisa menuruti kebahagiaanku, sementara aku tidak bisa melepaskan Shanum, yang kulakukan hanyalah diam karena tak bisa melakukan apa-apa.”

Andi dan Kara mendadak marah mendengar Sabda mengatakan hal itu. Mereka tidak menyangka Sabda dengan tega menduakan Shanum. Hanya saja, mereka berdua juga tak bisa bertindak apa-apa untuk hubungan rumah tangga Sabda, sebab itu bukan ranah mereka untuk ikut campur. Jadi yang dapat keduanya lakukan hanyalah menemani Sabda yang terus meracau di bawah pengaruh alkohol.

“Ini sangat berat,” tutur Kara. Tangannya menepuk punggung Sabda. “Aku bahkan tidak tahu lagi harus berbuat apa untukmu. Ini pasti sangat sulit.”

“Sikap manusia memang tidak pernah berubah. Seseorang akan memilih barang baru yang jauh lebih unggul dari barang yang telah dia miliki sebelumnya. Memandangnya seolah hanya barang baru itu yang membuatnya puas, tapi ketika semua tak sesuai dengan ekpektasi, dia akan melepasnya dan kembali pada barang lamanya.”

Kalimat bernada sindiran itu keluar dari mulut Andi. Sabda sempat menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan. Dia sadar kalau dirinya memang berengsek, beberapa detik kemudian Sabda terkekeh miris.

“Aku tidak mengerti kenapa Shanum masih bertahan di sisiku.”

“Maksudmu?” tanya Andi bingung.

“Kami tidak bercerai saat dia tahu aku mencintai wanita lain.”

Andi dan Kara saling pandang, lantas berdecak kaget. “Kau bercanda, ‘kan?” tanya Kara memastikan.

Sabda menggelengkan kepala dan menertawakan dirinya sendiri. “Aku tidak ingin melepasnya untuk pria lain yang belum tentu bisa menjadi rumahnya. Bukankah aku begitu menyedihkan dan pengecut?”

“Kau sudah mengkhianatinya, apa yang kau pikirkan, Sabda? Pergilah. Minta maaf pada istrimu, seharusnya kau temukan kebahagiaan bersamanya,” kata Andi. Pria itu menuangkan minuman keras lagi, Sabda dengan cepat meneguknya.

Berdesis saat rasa pahit kembali menyapa rongga mulutnya. “Bukan bahagiaku sendiri yang kupermasalahkan ... tapi Shanum. Aku bisa saja pergi meskipun aku tidak benar-benar sanggup meninggalkannya. Lima tahun dia menjadikanku sebagai tempat persinggahan terakhirnya, dan dia yang telah membawa kuncinya. Jadi, seluruh kebahagiaanku ada di dalam sana.”
***
Sabda benar-benar mabuk saat jarum jam menunjuk angka satu dini hari. Shanum mendatangi apartemen Andi dengan tatapan kesal yang ia lemparkan kepada dua pria yang terus membuat Sabda meneguk cairan beralkohol tersebut.

“Apa yang kalian lakukan pada suamiku?”

Sabda sudah tak lagi sadar akibat pengaruh alkohol. Andi dan Kara hanya meringis ketika melihat wanita itu datang dan memijat kepalanya setelah mengetahui lelaki yang masih menjadi suaminya tengah mabuk berat.

“Aku dan Kara juga sedang mabuk, jadi tidak bisa mengantar Sabda pulang. Makanya kami menghubungimu.” Andi menjelaskan.

“Aku tidak mabuk!” Sabda mengoceh.

Shanum dihubungi oleh Andi kalau suaminya tidak bisa pulang. Shanum sebenarnya ogah menjemput pria itu karena merasa tidak ada urusan apa pun lagi. Namun, Andi terus meneleponnya dan mengatakan kalau Sabda tengah mabuk berat, mendengar hal itu, Shanum ingin marah sekaligus penasaran. Kenapa tiba-tiba Sabda kembali minum alkohol?

Setelah dibujuk beberapa kali, akhirnya Shanum berkenan menyusul Sabda ke apartemen milik Andi.

Shanum menarik tangan Sabda dan membantunya berdiri. Shanum mendadak pening ketika mencium bau alkohol yang menyengat dari tubuh pria itu. Sabda benar-benar menyedihkan.

“Aku pulang, nanti kita bertemu lagi,” kata Sabda pada dua sahabatnya.

Pria itu meraih tas jinjing di atas meja lalu berjalan keluar dari apartemen dengan langkah sempoyongan. Shanum mengikuti Sabda dari belakang.

“Bagaimana bisa kamu menyetir dalam keadaan mabuk begini?”

Sabda mendengkus lirih. “Sudah kubilang, aku tidak mabuk. Aku masih sadar dan masih bisa berjalan dengan benar. Sedang apa kamu di sini?”

Shanum mendengkus kesal, dia segera mengambil alih kunci mobil Sabda. “Biarkan mobilmu di sini. Besok aku yang akan mengambilnya.”

Keluar dari lift, mereka berjalan menuju tempat parkir. Gadis itu kemudian menyuruh Sabda untuk masuk ke dalam mobil SUV berwarna hitam milik Shanum. Sabda dengan langkah gontainya hanya bisa menuruti ucapan Shanum.

“Itulah kenapa aku selalu melarangmu untuk minum-minum. Kamu tidak kuat minum dan ini merepotkan!”

Shanum membantu Sabda untuk masuk ke dalam mobil. Meskipun kesal, tapi Shanum tetap saja melakukannya.

“Kamu masih sayang padaku, ya?” tanya Sabda dengan kedua tangan terlipat di atas perut. Menyandarkan kepala pada jendela mobil, tapi tatapan matanya tetap ia berikan ke arah sang istri.

“Ya, aku mencintaimu.” Shanum menyahut datar.

“Tapi juga membenciku?”

Shanum tidak menjawab apa pun, dia fokus menilik jalanan malam yang mulai sepi. Mobil tersebut melaju meninggalkan apartemen menuju rumah mereka.

“Kalau kamu mencintaiku ... kamu pasti akan setia di sampingku, tidak peduli aku sedang bersama siapa.” Sabda masih sibuk mengoceh. “Aku paham. Kamu pasti membenciku karena aku pergi liburan bersama wanita lain.”

“Jangan bicara omong kosong, aku malas berdebat denganmu!”

Sabda kini menyandarkan kepala pada sandaran kursi. Memejamkan mata saat ia mulai merasakan pening.

“Ini bukan kali pertama kamu menyakitiku, tapi sekarang kamu berhasil menghancurkan nyaris seluruh hatiku,” kata Shanum.

Tak berapa lama mobil itu memasuki kawasan rumah, sontak Sabda menyingkap mata dan sadar jika Shanum telah memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Shanum melirik ke arah suaminya yang tampak menyedihkan, sekarang dia harus memapahnya ke dalam.

“Diamlah, aku akan memapahmu. Kamu sudah mulai mabuk.”

Pria itu keluar dari mobil dipapah oleh istrinya sendiri. Melepas sepatu sembarangan ke atas lantai garasi, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah menuju kamar utama. Shanum sedikit kewalahan karena tubuh Sabda cukup berat. Shanum mendorong Sabda hingga pria itu terbaring di ranjang. Setelahnya, Shanum melangkah mundur sembari menghela napas kelelahan.

“Kamu memang menyedihkan!” Shanum memutuskan untuk pergi. Namun, belum sempat pria itu meraih gagang pintu. Suara serak Sabda memanggilnya.

“Sha ....”

Langkah Shanum terhenti mendadak, dia menoleh pada Sabda yang telah bangun dengan posisi duduk.

“Haus.” Sabda bergumam seraya menatap Shanum dengan mata sayu.

Menghela napas berat tanpa banyak berkata, Shanum melangkah ke arah nakas samping ranjang dan menuangkan secangkir air putih lalu menyodorkannya pada Sabda.

Sabda meminum air putih yang Shanum berikan, setelah isinya tandas dia menyerahkan kembali gelas tersebut pada Shanum.

“Rania ... kamu di sini?”

Mendengar nama itu, Shanum membulatkan matanya kaget. “Aku bukan Rania!”

Sabda tiba-tiba mencengkeram tangan Shanum kuat, membuat wanita itu mengaduh.

“Lepaskan aku, aku bukan perempuan murahan itu!”

Masih dalam kondisi mabuk, Sabda tak menuruti apa yang Shanum katakan. Pria itu tiba-tiba membanting tubuh istrinya ke atas kasur.



TBC

Cara sederhana untuk menyemangati author. Cukup vote, komen, dan share ❤️

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now