37. Selintas Kenangan

18K 661 21
                                    

Cahaya putih berseri memancarkan keindahannya. Menerangi seisi ruangan besar tanpa tiang penyangga. terdengar deru-deru angin membawa pergi awan yang saling berarak teratur menciptakan lukisan terindah-Nya.

Tempat itu terasa sepi dan sunyi. Hanya suara alat-alat di sana yang berbunyi mengisi kekosongan yang tercipta. Seolah mereka adalah satu-satunya penghuni yang menempati tempat tersebut.

Di salah satu ranjang rumah sakit, seorang pria tengah terbaring tak sadarkan diri. Meskipun lukanya sudah diobati. Namun, kondisinya tak kunjung mengalami kemajuan. Rafalan doa tak henti keluar dari mulut seorang perempuan yang duduk tepat di sampingnya.

"Kamu gak lelah tidur selama dua hari ini?"

Shanum bertanya dengan nada putus asa. Menatap lekat pria yang masih terpejam dengan beberapa luka di wajahnya.

"Aku janji setelah ini gak akan memarahimu lagi hanya karena Rania. Maafkan aku. Tolong bangun, Mas Sabda."

Kondisi Sabda yang sangat jauh dari kata baik-baik saja membuat air mata Shanum terus berjatuhan, dia menatap Sabda yang terbaring lemas dengan penuh kekhawatiran.

Meskipun Shanum sudah terbiasa merawat Sabda di kala sakit, tapi kondisi kali ini lebih menyakitkan lagi. Shanum masih tak menyangka Sabda akan mengalami sebuah kecelakaan tragis.

Sudah dua hari Sabda tertidur, dia belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Dokter bilang kepalanya mengalami benturan cukup keras sehingga hal tersebut menyebabkan Sabda belum sadar sampai saat ini. Shanum tetap setia menunggu.

Bayi dalam perut Shanum tampaknya memahami kondisi sang ibu, Shanum tidak merasa kesakitan atau lemas ketika berada di rumah sakit menjaga Sabda selama dua hari.

Setelah cukup lama menjaga suaminya, Shanum memilih untuk keluar dari ruangan di mana Sabda berada. Tepat saat Shanum keluar, seorang gadis duduk seorang diri di salah satu kursi tunggu rumah sakit. Dia mendongak saat mendengar pintu ruangan tersebut ditutup.

Shanum terkejut melihat keberadaan Rania di sana. Shanum bertanya-tanya sejak kapan gadis itu berada di sini. Apakah Rania menunggu Sabda seperti dirinya?

Rania bangkit dari duduknya lantas menghampiri Shanum dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Mata Rania tertuju pada perut wanita itu yang mulai membesar, melihatnya saja sudah cukup membuat hati Rania tersayat.

"Mbak, sepertinya Mbak butuh istirahat. Sebaiknya Mbak Shanum makan dulu, biar aku yang berjaga di sini. Mertua Mbak Shanum masih belum datang, kan?"

Rania berkata tanpa beban. Shanum mengernyit mendengar ucapan gadis itu. Entah kenapa Rania begitu berani mendatangi rumah sakit. Bagaimana kalau keluarganya bertemu dengan Rania? Wanita itu tak habis pikir.

"Tidak apa-apa, Rania. Kamu sedang apa di sini? Sebaiknya kamu pulang. Justru lebih berbahaya kalau kamu ada di sini berduaan dengan Mas Sabda."

"Kemarin aku sudah pulang, tapi aku tak bisa tidur karena terus mencemaskan kondisi Mas Sabda. Setidaknya izinkan aku untuk melihat Mas Sabda sadar kembali, Mbak."

Sungguh pengakuan yang sangat di luar dugaan. Mungkinkan Rania masih mencintai Sabda, karena itu dia sangat cemas padanya. Shanum paham itu, tapi dia malas untuk membuat keributan di rumah sakit.

"Istirahatlah. Jangan lupa, Mbak. Kamu sedang hamil."

Bukannya Shanum tidak peduli pada janin di dalam perutnya, tapi bagaimana dia bisa tenang karena keberadaan Rania? Rumah tangga yang berantakan, orang ketiga, dan kondisi Sabda yang belum sepenuhnya sadar membuat Shanum benar-benar kewalahan.

Seharusnya Rania mengerti untuk tidak menambah beban Shanum.

"Aku tidak bermaksud mengganggu hubungan rumah tangga kalian. Aku terlalu cemas dengan kondisi Mas Sabda. Begitu pihak rumah sakit menghubungiku kalau dia kecelakaan. Dunia seakan runtuh tepat menimpa kepalaku."

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now