12. Kelana Arsalais

14.3K 680 6
                                    

Mobil Pak Haris baru saja meninggalkan halaman rumah. Pak Haris merupakan dokter pribadi keluarga Sabda selama belasan tahun. Beliau bersedia datang malam-malam setelah Shanum menghubunginya.

Saat kembali masuk ke kamar, Shanum melihat Sabda sedang duduk tenang sambil menyandarkan punggung di kepala ranjang. Tatapannya mengarah pada jendela kamar, entah sedang merenungi apa.

Shanum berinisiatif membereskan meja nakas yang berantakan oleh piring dan gelas kotor. Dokter sudah meresepkan beberapa vitamin dan obat khusus, mau tidak mau Sabda harus bisa meminumnya. PR yang cukup berat untuk Shanum.

“Apakah tadi ada telepon dari kantor?” Sabda tiba-tiba bersuara, membuat penggerakan Shanum berhenti.

“Ya, ada. Asistenmu menanyakan dokumen akuisisi. Dia kerepotan karena dokumen itu tidak ada di kantor,” kata Shanum usai membersihkan meja nakas.

“Ya, karena dokumennya ada di rumah, dan itu harus diantar ke kantor.”

Seketika Shanum menghela napas tanpa mengatakan apa-apa, kemudian beranjak mendatanginya. Telapak tangan Shanum menyentuh kening Sabda. Untunglah panasnya berkurang setelah minum obat. Kondisinya beberapa jam lalu lebih buruk dari ini. Keringat dingin tak henti-hentinya mengalir.

“Berbaringlah.” Shanum berkata ketus, membuat Sabda mendongak ke arahnya. “Aku sudah menghubungi asistenmu. Kalau ada yang kau butuhkan dia pasti datang.”

“Sejak kapan kau peduli pada pekerjaanku? Bukankah sejak awal kaulah yang sering marah jika aku terlalu peduli pada pekerjaan?”

Bahkan dalam keadaan sakit sekali pun, pria itu sempat-sempatnya membantah perintah mutlak Shanum. Apakah Sabda tidak takut dicekoki obat oleh istrinya?

“Aku marah karena kau selalu sibuk kerja. Aku kesal karena kau selalu mengutamakan pekerjaan dibandingkan dirimu. Pada akhirnya aku sulit membujukmu istirahat.”

Sabda memijat pelipisnya, ucapan Shanum tidak salah. Dia memang terlalu gila kerja. Pria itu tidak pernah berpikir saat dirinya sakit, yang ikut susah adalah Shanum, bukan Rania. Selingkuhannya itu hanya bisa memberi ucapan cepat sehat lewat pesan, tidak bisa merawatnya secara langsung.

“Pada kesempatan-kesempatan tertentu aku jadi berpikir kau sedang menikahi pekerjaanmu.”

“Semua fasilitas yang kamu nikmati adalah hasil kerja kerasku, kamu gak akan menetap di sini kalau bukan karena aku. Ingat itu.”

Shanum menghela napas dengan kasar, menahan emosinya agar tidak tersulut lebih parah. Sabda benar-benar membunyikan genderang perang. Bagaimana bisa dia mengklaim semua fasilitas di rumah itu adalah hasil kerja kerasnya? Shanum juga berperan menaikkan ekonomi rumah tangganya, tidak hanya Sabda saja.

Sebelum egonya membengkak Shanum memilih untuk mengalah. Tidak mau memperpanjang masalah.

“Istirahatlah. Lupakan pekerjaanmu sampai sembuh.” Ketimbang memohon, suara Shanum barusan lebih terdengar seperti keluhan. “Aku sudah kehabisan akal, Mas. Aku tidak tahu bagaimana lagi caranya membuatmu diam di kasur atau bersantai melupakan berkas-berkas yang kau maksud.”

“Kau khawatir padaku? Tumben kau peduli,” kata Sabda lebih kepada sindiran.

Haruskah Shanum menjawabnya? Kalau dia tidak peduli, dia bisa saja membiarkan Sabda sekarat di rumah tersebut sampai mayat pria itu ditemukan keesokan harinya. Kadang Shanum berpikir, kenapa dia harus bersusah-susah merawat Sabda, padahal pria itu tidak pernah menghargai usahanya sedikit pun.

“Apa kau masih pusing?” Shanum mengalihkan topik.

“Sedikit.”

“Mualnya juga sudah berkurang, kan?”

“Membaik.”

Shanum bergegas menjauh dari hadapan Sabda, membawa piring dan gelas kotor yang ada di meja nakas untuk ditaruh di bak cuci piring.

“Istirahat saja. Kau merepotkan saat sakit.”

Sabda melotot, Shanum berlalu dari kamar. Sempat-sempatnya wanita itu mengeluarkan kalimat sarkas pada suaminya yang sedang lemah tak berdaya.

“Dasar wanita gila.”

***

Sudah tiga hari Sabda menghilang, Rania cemas karena pria itu tidak mengirimkan pesan atau meneleponnya. Setiap kali Rania menghubungi pria itu, nomornya selalu tidak aktif.

Dia juga jarang berkunjung ke kafe, entah apa yang sedang dilakukan Sabda, yang jelas Rania khawatir. Biasanya pria itu akan mengirimkan pesan untuk sekadar memberi tahu bahwa dirinya baik-baik saja.

Rania sampai tidak fokus bekerja karena terus dihantui kegelisahan. Kemarin Sabda sempat mengajaknya untuk makan malam di salah satu restoran ternama, tapi sekarang pria itu malah hilang selama tiga hari.

Rania sempat berpikir kalau Sabda bosan padanya, tapi dia segera menepis pemikiran tersebut. Rania percaya bahwa Sabda adalah sosok lelaki yang baik dan bertanggung jawab.

“Rania, apa kamu baik-baik saja?” Teguran Arya membuat gadis itu terlonjak kemudian menoleh ke arahnya, Rania tersenyum seraya mengangguk.

Arya bukannya tidak peka dengan perasaan gadis itu, dia tahu kalau Rania sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja, Rania enggan untuk bercerita, jadi Arya memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh.

“Masih menunggu dia, ya?” tanya Arya akhirnya, mencoba memberanikan diri.

Rania tersenyum, itu semua sudah mewakili jawabannya. Dia sedang tidak mau membahas Sabda, entah kenapa perasaannya selalu tidak tenang setiap kali mengingat pria itu.

“Kamu sudah menghubunginya?”

“Belum.”

“Kenapa?”

Rania mengangkat bahu, dia memang sudah menghubungi Sabda, tapi sama sekali tak ada jawaban. Jadi, daripada harus kembali menghubunginya, lebih baik Rania menunggu pria itu mengabarinya duluan.

Tidak tega melihat raut gelisah yang terpancar dari wajah gadis itu, Arya akhirnya berinisiatif untuk menghiburnya.

“Mau pergi makan denganku usai istirahat?” tawar Arya, yang pada akhirnya dibalas dengan anggukan oleh Rania.
***
Waktu menunjukkan pukul 12 siang, Shanum memutuskan untuk mampir ke toko roti kesukaannya yang terletak tak begitu jauh dari rumah hanya dipisah oleh dua toko bunga.

Karena suaminya masih terbaring tanpa daya di kasur, dan tidak berselera untuk memakan apa pun jenis makanan yang Shanum masak, maka gadis itu memilih untuk membeli roti saja. Ditambah Jun’s Bakery sedang mempromosikan salah satu menu terbarunya.

Hanya butuh waktu satu menit bagi Shanum melangkah memasuki toko roti tersebut. Penghidunya segera disapa oleh aroma khas roti sebelum ucapan selamat sore dari bibi pemilik toko membuat gadis itu lantas melebarkan senyum.

“Selamat sore juga, Bibi! Aku mau roti cokelat seperti biasa.” Shanum melihat-lihat beberapa menu roti di sana. Kemudian maniknya tergiur dengan salah satu Snowy Blueberry dan Cheese Bun. “Bibi, kurasa roti ini bisa menemaniku malam ini. Aku mau dua untuk dibawa pulang,” katanya sekali lagi membuat Bibi Hana terkekeh.

Wanita setengah baya itu menyerahkan pesanan Shanum. “Bonus Taro Blossom, Rocky Matcha, dan satu gelas es cokelat untuk pelanggan setia Jun’s Bakery!” Mata Shanum berbinar senang. Kata bonus dan gratis memang selalu diharapkan semua orang.

“Apa ini tidak terlalu banyak? Pesananku saja tak seberapa.”

Bibi Hana mengibaskan tangannya. “Tidak apa, suamimu juga sangat suka dengan Rocky Matcha ini. Dia sering datang setiap minggu. Apakah suamimu masih sibuk seperti biasa?”

Shanum menggeleng dan tersenyum manis. “Dia sedang sakit, kemarin suhu tubuhnya cukup tinggi.”

Shanum dan Sabda memang langganan toko tersebut, ditambah Sabda yang sangat baik selalu membagi-bagi bonus berupa uang setiap hari raya atau tahun baru.

Shanum menerima pesanannya, lantas duduk di salah satu bangku di dalam toko yang telah disediakan. Dia belum mau pulang karena di luar hujan turun cukup deras, lebih baik dia menunggu di toko seraya menyantap pesanannya.

“Kau sedikit berisi, Shanum. Suamimu pasti menjagamu dengan baik.”

Shanum tersenyum mendengar komentar tersebut, memangnya kebahagiaan dan berat badan saling berhubungan? Dirinya memang merasa agak gemuk. Mungkin karena pola makan yang tidak dijaga. Sial, Shanum harus diet.

“Tentu, aku selalu baik-baik saja, Bibi.”

Obrolan mereka terhenti manakala pintu toko roti terbuka. Muncul sosok pria tinggi dan kelihatan kekar di mata Shanum, mereka saling pandang beberapa saat, pria itu langsung tersenyum ke arah Shanum.

“Bu ....”

Bibi Hana segera berdiri dan menghampiri pria itu.

“Astaga, kenapa tidak bilang akan ke sini, Sa?!” Wanita setengah baya itu memukul bahu pria tadi sambil menunjukkan air muka terkejut. Shanum bisa melihat pancar mata kebahagiaan di sana. “Kemarilah. Kenalkan, ini teman Ibu.”

Shanum refleks berdiri dan tersenyum ramah padanya dengan sopan, lantas mengulurkan tangan hingga pria tersebut menerima uluran tangannya. “Saya Shanum.”

Ada jeda setidaknya satu menit setelah Shanum mencoba untuk mengenalkan dirinya kepada pria asing yang tak lain adalah seorang putra dari pemilik toko roti kesukaannya. Maniknya mengamati paras cantik wanita di hadapannya seolah tengah terbius. Kemudian pria itu berdeham ketika Bibi Hana menepuk pundaknya.

“A-ah, Kelana Arsalais. Panggil saja Arsa,” jawabnya mempersingkat. Tautan tangan mereka terlepas, lantas membuat Shanum kembali duduk. “Kita pernah bertemu, ‘kan? Bukankah kau wanita yang ada di toko kue waktu itu?”

“Maaf?” Pikiran Shanum menerawang, apakah dia pernah bertemu dengan sosok Arsa sebelumnya. Ketika pria itu hendak angkat bicara Shanum tiba-tiba saja menyadarinya.

“Oh, kita pernah tabrakan sebelumnya.”

Shanum ingat, waktu membeli kue di toko langganan untuk merayakan ulang tahun pernikahan, dia tak sengaja bertabrakan dengan Arsa. Shanum tidak mempermasalahkan karena dia juga sedang buru-buru dan tidak melihat keadaan.

Bibi Hana langsung membelalak dan menatap pria itu dengan tegas. “Kenapa kau menabraknya?”

Pria itu lekas terkekeh melihat ekspresi kesal sang ibu. Dia menaikkan bahu seraya menyeringai sampai gigi gingsulnya terlihat.

“Gak sengaja, Bu.”

Shanum ikut mengiyakan melihat drama yang tengah berlangsung di depannya. “Salahku juga terlalu buru-buru.”

“Apa kue milikmu baik-baik saja? Tidak rusak atau semacamnya, ‘kan?”

Shanum menggeleng, sedangkan bibi Hana menghela napas panjang. “Lain kali jangan terburu-buru saat masuk ke toko.”

Obrolan hangat langsung mengalir sampai Shanum tidak menyadari bahwa hujan sudah mulai reda. Perempuan itu melirik arloji di tangannya, sebentar lagi malam menjelang. Dia mulai berpamitan pada dua orang tersebut, dan berterima kasih pada bibi Hana atas roti yang dia berikan.

Arsa mengulas senyum manakala
Berselang enam langkah Shanum menjauh, bibi pemilik toko itu bicara lagi. “Haduh, orang-orang zaman sekarang itu cantik dan tampan atau bagaimana? Hasil operasi atau bukan?”

“Dia secantik itu, ya?” tanya Arsa, matanya masih menatap kepergian Shanum menuju mobilnya.

Arsa tersenyum maklum. Dia mulai beranjak untuk memesan roti hangat yang terhidang, sedangkan bibi Hana menggosok-gosokkan bagian depan apronnya dan berjalan ke balik etalase.

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now