30. Boleh Kita Bicara?

16K 700 13
                                    

Mengetahui bahwa sang istri hamil, Sabda tidak bisa menahan rasa keterkejutannya. Dia berjalan mendekati Shanum yang mulai tidak acuh. Perasaan wanita itu sakit. Sabda berusaha memastikan sekali lagi, tapi tampaknya wanita itu tidak peduli.

“Aku kehilangan setengah harapan darimu,” kata Shanum berterus terang. “Kamu tahu ‘kan apa akibatnya bila berbohong di pengadilan?”

Sabda tiba-tiba meremas tangan Shanum dan meminta wanita itu untuk menjelaskan apa yang terjadi.

“Kumohon jelaskan padaku, apa maksud kata-kata kamu tadi?”

Shanum melepaskan pegangan tangan Sabda, alih-alih mengulang kalimatnya, wanita itu justru marah.

“Kenapa harus berbohong sejak awal, Mas?” Shanum mencoba tidak goyah. “Kenapa terus menambal satu kebohonganmu dengan kebohongan lain? Kamu bilang akan menjauhi wanita itu, tapi ternyata kamu masih saja bertemu dengannya. Kalau masih mencintainya kenapa tak ajak dia hidup bersama kembali?”

Sungguh, Sabda bukan ingin mendengar kalimat itu, tapi kalimat Shanum tadi tentang kehamilan. Apakah wanita itu benar-benar mengandung anaknya? Apakah Sabda sedang bermimpi? Atau Shanum salah bicara?

“Aku telah bekerja sepanjang hidupku. Aku bisa menghasilkan uangku sendiri. Aku punya cukup tabungan. Bahkan jika malam ini aku harus melarikan diri, aku tahu ke mana harus pergi.”

Mata Sabda kembali tertuju pada Shanum, wanita itu benar-benar sudah menyerah. Dia merasa rumah tangganya bukan lagi di ambang kehancuran, tapi memang sudah retak luar dalam.

Keinginan Shanum untuk berpisah semakin kuat, tapi saat hal itu terjadi dirinya malah hamil. Shanum sendiri bingung harus bagaimana, terlebih dia malah mengetahui kabar bahwa suaminya akan menikah lagi.

“Aku bukan jenis wanita yang menumpang hidup pada pria kaya sepertimu. Aku bisa saja pergi jika terus menerus disakiti begini, tapi ....” Shanum tersendat oleh kata-katanya, dia menutup mulut dengan gemetar. Tak mau menangis, tapi dia terlalu cengeng.

“Mengapa aku dibohongi? Kenapa tidak katakan sejak awal tentang pernikahanmu? Kenapa tidak ada yang satu pun yang mengatakan padaku? Bukankah kita sudah sepakat tidak akan ada yang disembunyikan?”

“Kamu harus percaya ....” Sabda nyaris frustrasi dalam kalimatnya. “Semua kulakukan untuk menjaga hubungan rumah tangga ini, termasuk perasaan orang tuaku. Aku tidak bisa berterus-terang karena hal lain.”

Shanum terkekeh mendengar jawaban Sabda. Lucu sekali. Sesaat kemudian Shanum mengangkat wajahnya menengadah dengan kedua tangan, lalu menatap sang suami dengan datar.

“Jangan seperti ini. Alasanmu sangat tidak jelas, Mas. Adakah alasan lain yang bisa kauberikan? Pernikahan ini ... apa kau memang menginginkan pernikahan ini? Bukan soal penyesalan, Mas. Melainkan semua yang kau lakukan. Ucapanmu, tindakanmu, pesan-pesan manismu, pujianmu, kau melakukan itu hanya pada kekasihmu.”

Shanum menelisik ke dalam matanya dan nyaris menjerit. Namun, yang keluar justru nada serak yang semakin menipis. “Aku tak berharap diperlakukan sama dengan kekasih simpananmu itu. Aku hanya tidak bisa menerima jika kita harus berpisah seperti ini!”

Tangannya gemetaran. Shanum terdiam dan menyimak tatapannya dengan sungguh-sungguh. Dia sudah cukup lelah menghadapi semua hal sendiri. Benar-benar tak bisa dipercaya.

“Apakah kamu berniat untuk mengajaknya menikah kembali?” Shanum tampak bergetar mengatakannya.

“Shanum.” Sabda langsung menepis tegas. “Kubilang hentikan!”

“Jujurlah.” Suara Shanum mulai melambat dan pelan. “Katakan saja yang sejujurnya.”

“Aku sedang tak ingin membahas ini. Kita sudah berjanji untuk tak membahasnya.”

“Kamu akan jadi orang pertama yang dibunuh ayahku jika dia tahu apa yang telah kau perbuat pada putrinya selama ini.”

Sabda ingin membawa Shanum pada pelukannya. Namun, wanita itu telanjur mati rasa. Dia menghindari Sabda, Shanum tidak butuh pria dalam hidup jika hanya membuatnya menderita lebih banyak.

“Aku sakit,” Shanum masih histeris. “Aku tidak suka sakit!”

Shanum memukul dada bidang Sabda berulang kali, melampiaskan amarah dan kesedihan yang meruntuhkan pertahanannya. Shanum selalu berpikir bahwa dirinya kuat dan mampu melewati semuanya sendirian. Namun, ternyata sulit.

“Aku hamil. Kamu tidak boleh menyakitiku,” katanya nyaris kehilangan suara. “Jangan jahat padaku, Mas. Ini peringatan terakhirmu.”
***
Shanum meminum banyak air untuk membantunya kembali bernapas lega. Kemudian berdiri diam menatap keran wastafel setelah meletakkan gelas.

Dia meremas ujung jari mengingat pengakuan Sabda. Shanum ingin melupakan suara pria itu dalam kepalanya. Dia ingin mengganti kata-katanya dengan tangisan. Rasa marah, bingung, sedih, dan kalut. Kenapa Sabda tidak pernah mengerti?

Untuk saat ini Shanum membencinya. Dia marah pada Sabda, tetapi Shanum lebih marah pada dirinya sendiri saat menyadari betapa besar rasa sayang itu padanya.

Shanum kesal karena pada kenyataannya hati kecilnya menyimpan ruang untuk mencintai suami pembohong.

Malam itu dia memutuskan untuk pergi dari rumah naik taksi meninggalkan Sabda dan semua kenangan yang ada di rumah itu. Tidak ada kenangan manis yang tertinggal, selama mereka hidup berdua, hanya ada amarah dan air mata.

“Sha, setidaknya tunggulah besok. Kenapa kamu gak mau denger penjelasanku sedikit saja?”

Sabda membuntuti Shanum sampai ke luar, pria itu berusaha mencegahnya untuk pergi.

“Mas, tolong. Jangan membuatku semakin membenci calon ayah dari anakku. Mulai sekarang biarkan aku sendiri. Kita urus urusan kita masing-masing. Aku yakin kamu bisa jaga diri, tolong biarkan aku pergi.”

Shanum tidak boleh menyesal, keputusannya sudah bulat. Mulai sekarang dia akan putus komunikasi dengan Sabda, entah sampai kapan. Shanum tidak ingin memikirkan hal itu, sekarang ada hal lain yang harus lebih dia perhatikan. Menghindari Sabda adalah satu-satunya cara untuk lepas dari penderitaan.

Namun, entah sampai kapan.
***
Tiga hari berlalu setelah insiden perdebatan yang terjadi antara Shanum dengan Sabda. Wanita itu benar-benar pergi meninggalkannya begitu saja. Terlalu menyakitkan untuk bertahan. Namun, tak sedikit pun dihargai.

Shanum berusaha menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Seperti saat ini, dia tengah menatap lurus ke arah jajaran mie aneka merk dan varian rasa dengan tatapan sedikit enggan. Meskipun begitu, semua keriuhan di tempat tersebut tampak tidak menarik untuknya.

Shanum rasanya ingin makan mie goreng dengan cabai yang banyak ditemani segelas es jeruk dengan separuh kesadaran. Dia stres dan butuh pelarian sekarang.

Pelariannya pada makanan pedas.

Suasana minimarket siang itu lumayan penuh. Namun, Shanum merasa benar-benar kesepian. Dia mencoba tidak melirik betapa ramainya orang-orang berbincang. Hanya berdebat dalam hati dan melamun.

Bahkan dia mencoba abai pada sepasang suami istri yang tengah berbelanja bersama. Terlihat bahagia dengan bayi di tengah-tengah mereka. Sungguh jauh dengan kehidupan Shanum yang sunyi, sekarang dia hanya tinggal berdua saja bersama janin dalam perutnya.

Shanum mengalihkan tatapannya dari keluarga bahagia itu, mencoba menepuk kedua pipinya sendiri seraya memasukkan beberapa barang kebutuhannya dalam keranjang belanjaan.

“Sejak kapan Nyonya direktur suka makan mie instan?”

Celetukan itu membuat Shanum menoleh ke arah samping. Di sana sudah ada Sinar dengan tatapan datarnya menatap lurus keranjang belanjaan milik Shanum.

“Kenapa kamu belanja makanan tak sehat semua? Apa jangan-jangan kamu sedang ngidam?”

Shanum menghela napasnya. Dia memang tidak pergi sendiri, ada Sinar yang setia menemani ke mana saja. Namun, hal itu membuat Shanum kesulitan untuk leluasa belanja. Dia terlalu banyak aturan dan cerewet seperti ibunya.

“Hentikan, Sinar!”

Sang lawan bicara spontan tergelak sembari terus memegang kendali pada keranjang miliknya sendiri, mencoba mengamati raut datar yang tengah berusaha mengabaikannya.

“Aku tahu ibu hamil pasti punya banyak pikiran, tapi gak makan pedes juga dong,” guraunya bersama dengan nada prihatin yang dibuat-buat.

“Aku cuma kangen makan mie instan. Aku tidak akan mati atau sakit perut hanya makan satu piring mie go—“

“Belum. Pokoknya ini tidak sehat. Jangan cari penyakit.” Sinar memotong ucapan Shanum dan mengambil mie dalam keranjang tadi dan menyusunnya kembali ke dalam rak. Shanum sangat kecewa.

“Sebaiknya kamu makan makanan lain saja. Beli sayur atau apa pun, asal jangan micin.” Sinar menambahkan, Shanum semakin kesal.

“Kamu juga pernah hamil, kenapa seperti ini? Kamu pasti lupa rasan—“

Kalimatnya terhenti manakala Shanum melihat sosok perempuan yang tampak tak asing di ingatannya. Perempuan itu berdiri tepat di antara rak roti dan makanan ringan.

Emosi Shanum jadi tidak terkontrol ketika melihat perempuan yang sejak tadi menatapnya datang mendekat. Menyadari bahwa Shanum tiba-tiba terdiam, Sinar ikut menoleh ke arah pandang Shanum dan dia pun terkejut melihat siapa yang datang.

Perempuan itu mendekati mereka dengan senyum mengembang, hal yang membuat Shanum kebingungan karena ini pertama kalinya mereka bertemu seperti sudah saling mengenal.

“Permisi, kamu pasti Mbak Shanum. Aku Rania, bisa kita bicara sebentar?”

TBC

Kira-kira apa yang mau Rania bicarakan sama Shanum, ya?

Maaf telat gais, author sok sibuk. Partnya gak banyak, tapi semoga bisa mengobati rasa penasaran lah, ya. See u.

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now