4. Perang Dingin

18.1K 892 5
                                    

Sabda duduk di tepi ranjang, berkali-kali pria itu melirik jam dinding. Menunggu sang istri pulang. Kalau bukan karena hal mendesak, pria itu tidak sudi menghabiskan waktunya untuk duduk diam dan mengabaikan tumpukan dokumen yang harus dikerjakan dalam waktu singkat.

Tak berapa lama telinganya mulai mendengar suara ketukan sepatu semakin mendekat menuju kamar. Begitu pintu kamar dibuka, wanita berjilbab marun itu tersentak kaget.

"Apa yang kamu lakukan, Sha?" tanya Sabda to the point nadanya dingin, membuat Shanum mengerutkan keningnya bingung.

Ekspresi Shanum berubah drastis. Netranya mendapati raut tak menyenangkan dari Sabda yang terlihat marah sambil bergumam tak jelas, enggan menatapnya sedikit pun.

"Sebutkan kesalahan apa lagi yang telah kuperbuat?"

Dengan santainya Shanum berjalan menuju nakas dan meletakkan tas di sana, melepas jilbabnya, seolah tidak peduli dengan kemarahan Sabda. Ya, dia sudah sangat terbiasa.

"Jelaskan padaku apa ini? Apa maksudmu?"

Sabda langsung berdiri dan tiba-tiba melempar sebuah amplop cokelat berisikan beberapa lembar kertas tepat di wajah Shanum.
Sabda mencoba bertanya dengan nada tenang sekalipun wajahnya menunjukkan kemarahan yang tertahan.

Alis Shanum bertaut saat mendengar kalimat Sabda. Dia mulai mengambil amplop cokelat yang jatuh ke lantai. Wanita itu langsung duduk di tepi ranjang. Ia jelas tahu amplop tersebut berisi apa.

"Kenapa kamu menyembunyikannya dariku?" tanya Sabda lagi, penuh penekanan. "Apa sebenarnya yang lagi kamu rencanakan di belakangku."

"Kupikir kamu gak akan peduli dengan hubungan ini, Mas," kata Shanum berusaha tenang meski sedikit tak mengerti.

Dia baru saja pulang dan langsung disambut amarah. Ini memang bukan pertama kalinya Sabda bersikap emosian padanya, tapi hari ini pria itu tampak sedikit berbeda. Shanum seolah telah melakukan hal yang sungguh fatal sampai memancing emosinya.

Kali ini Sabda memijat kepalanya yang terasa pening. Pria itu sangat ingin meremas wajah istrinya sampai puas. Namun, faktanya, ia tidak mampu melakukan tindakan kasar pada wanita itu.

"Ada apa denganmu, Mas? Katamu aku bisa melakukan apa pun yang aku suka."

"Tapi tidak dengan surat penceraian ini! Untuk apa kamu melakukannya?!" Matanya melotot seperti siap keluar dan Shanum bersaksi kemarahan Sabda lebih mengerikan dari senyum Annabelle.

"Karena aku butuh," sahut Shanum jengkel, bisa-bisanya hal seperti ini saja diributkan.

"Lalu kita berpisah, dan kamu bebas mengencani pria mana saja, begitu?" Sabda memotong, kali ini dia kembali menyulut kekesalan sang istri.

"Astaga! Aku sama sekali gak berniat demikian!" kilah wanita itu dengan mata melotot tak terima. "Aku bahkan gak peduli kamu melakukan hal-hal kotor di belakangku. Terserah kamu mau ngapain, aku gak peduli. Kamu marah saat menemukan surat ini, tapi kamu ... istri macam apa yang kamu perlakukan jahat begini?!"

Sabda benar-benar sosok suami yang egois. Dia bebas berkencan dengan wanita mana pun, Shanum bahkan tak pernah mempermasalahkannya, tapi kenapa untuk masalah dokumen penceraian saja pria itu marah besar? Bukankah seharusnya dia senang karena bisa terbebas dari belenggu pernikahan yang rusak ini?

Kadang Shanum tidak mengerti dengan jalan pikiran Sabda, kenapa pria itu tetap kekeuh mempertahankan pernikahan mereka. Padahal sudah jelas tak ada cinta di sana.

"Aku hanya menyimpannya. Aku bahkan sudah lupa telah menyimpan surat ini." Shanum kembali menatap Sabda dengan ekspresi tak kalah dingin.

Sabda mendekat dan meraih dagu istrinya cepat, menyorot ke dalam manik cokelat itu untuk menemukan kebohongan kemudian melipat bibir rapat-rapat sebab tak mendapati kelicikan apa pun di dalamnya.

"Jika kamu berani macam-macam, aku pastikan akan menguburmu ke dalam tanah secara hidup-hidup!" kata pria itu, langsung memberi ancaman telak yang membuat Shanum merasa agak ngeri. "Aku juga akan membunuhmu. Aku tidak peduli jika tanganku harus kotor dengan darah."

Apakah pria ini memang sakit jiwa, berhati dingin, dan tak tahu belas kasih? Shanum bahkan sempat berpikir kalau dia bukan menikahi manusia, melainkan malaikat maut.

"Baiklah. Jika memang itu keinginanmu. Mulai sekarang perlakukan aku seperti istrimu. Kita memang menikah karena perjodohan, tapi bukan berarti kamu bisa memperlakukanku seenak jidatmu, Mas!" serang Shanum lebih bergemuruh. Suaranya bahkan mulai serak karena dehidrasi ditambah teriakan seperti orang kerasukan arwah.

Anehnya, meski diserang kemarahan sang istri, Sabda masih sanggup mempertahankan sikap normal. Tidak gentar, tidak pula mencekik istrinya.

"Kalau begitu, aku juga berhak menuntut lebih. Singkirkan surat penceraian itu, dan jangan mengadu apa pun pada papa," kata Sabda membangkitkan perkara baru sekaligus memancing keributan.

Sejak dulu Sabda paling malas jika harus berurusan dengan papanya sendiri. Beliau lah yang menjodohkan mereka berdua. Wiratama sangat menyayangi menantunya melebihi anak sendiri. Jika saja beliau tahu seperti apa perlakuan Sabda pada Shanum selama ini, mungkin pria itu sudah mati terpenggal.

Tak hanya kehilangan jabatan sebagai pemilik perusahaan, Sabda juga bisa mati tanpa kepala. Begitu dahsyat amarah dari sang ayah, karena itu dia paling malas jika harus membuat keributan dengan ayahnya sendiri.

Shanum benar-benar kesal dengan sikap Sabda yang selalu semaunya sendiri. Pria itu hanya memikirkan harga dirinya, tapi tidak pernah mau mengerti dengan kondisi Shanum yang memiliki banyak tekanan dari dalam.

"Apa maksudmu? Aku bahkan tidak berniat memberitahu orang tua kita."

"Yakin kamu bisa dipercaya? Jangan-jangan kamu lagi menyusun rencana supaya semua orang termasuk keluargaku tahu kalau aku ini adalah pria bajingan yang tak bisa menghargai istri."

Mendengar ucapan Sabda, Shanum terkekeh. "Memang benar kamu itu bajingan. Aku bisa saja mengatakannya, Mas. Tapi maaf, aku tidak setega itu untuk membuatmu jatuh miskin dalam waktu cepat."

Perdebatan seolah sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Shanum yang menyedihkan, dan Sabda yang egois. Sampai kapan pun keduanya tak akan pernah cocok, tapi anehnya Sabda masih saja mempertahankan Shanum di sisinya.

"Bagus kalau begitu." Sabda menghela napas, mereka sudah berada di puncak perdebatan. Pria itu mulai mengalah, dia pun mengatakan pada sang istri untuk bersiap-siap, karena malam ini mereka akan pergi ke suatu tempat.

Tidak mengerti siapa yang Sabda maksud, sebelah alis Shanum terangkat. Penasaran.

"Kamu gak baca pesan? Keluargaku mengadakan acara makan malam. Papa bilang ingin bertemu dengan kita malam ini, di rumahnya."

"Itu saja?"

Sabda mengangguk. "Kita sudah terlatih bersandiwara di depan mereka bukan? Jadi, jangan pernah mengungkit benda menjijikkan ini di depan mereka," kata Sabda. Pria itu membalik badannya seraya menghela napas.

Belakangan ini, Sabda memang paling susah jika diminta bertemu dengan ayah-ibunya dan Shanum tentu tahu alasannya adalah karena orang tuanya yang terus mendesak mereka untuk segera punya anak.

Siapa yang tidak mau punya anak? Shanum bukannya tidak mau. Hanya saja, jika melihat kondisi rumah tangganya yang bak kapal karam, terlalu mustahil untuk diharapkan.

Jangankan punya anak, bahkan Sabda tidak pernah menyentuh istrinya selama empat tahun ini. Benar, Shanum masih perawan. Anehnya perempuan itu masih sanggup bertahan.

Hanya gumaman ambigu yang bisa Shanum dengar, sebelum Sabda benar-benar menghilang dari kamar menuju dapur setelah mengakhiri perdebatan panjang mereka.

Shanum berdecak, dia menatap punggung suaminya yang menghilang di balik pintu.

"Mari bermain, Sabdatama. Mari kita lihat, siapa yang akan merangkak lalu bertekuk lutut dan memohon lebih dulu."

TBC

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now