31. Memutuskan Untuk Putus

17.3K 740 15
                                    

Duduk bersama seorang wanita yang tidak pernah Shanum inginkan keberadaannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Duduk bersama seorang wanita yang tidak pernah Shanum inginkan keberadaannya.

Shanum sudah mengirimkan pesan pada Sinar dan mengatakan bahwa dia akan bicara sebentar dengan Rania, wanita itu mengerti dan memberikan mereka ruang untuk saling bicara.

Wajah wanita yang duduk di kafe bersama Shanum saat ini belum berubah dari yang pernah Shanum lihat. Perbedaan besar yang dia sadari hanyalah kantung matanya yang menghitam, kentara sekali dia kurang tidur.

Sampai pramusaji mengantarkan minuman, belum ada satu pun dari mereka yang bicara. Shanum yakin wanita tersebut egois, sama sepertinya. Melihat wanita ini sekarang, seakan melihat masa lalu Shanum yang penuh masalah.

“Kamu cantik, terlihat lebih muda dariku. Berapa usiamu?” tanya Shanum memulai pembicaraan.

“24 tahun.” Mata Rania yang gelap menyorot tajam. Suaranya dalam, parau, dan tegas.

Sedikit demi sedikit Shanum bisa menilai seperti apa dia sebenarnya. Rania tampak sangat gugup berhadapan dengan Shanum. Dilihat dari gerak-geriknya yang terus merunduk. Shanum tak bisa hanya diam saja menunggu perempuan di depannya bicara.

“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Omong-omong ada apa mengajakku bertemu?”

Perlahan Rania mendongak, Shanum tidak suka basa-basi. Terlebih sudah sepuluh menit berlalu semenjak mereka duduk di kafe. Shanum masih tak bisa mencari letak hal yang ingin Rania bicarakan.

Entah kenapa Rania merasa ingin kembali ke bekerja. Sepertinya dia salah memilih timing yang pas untuk bertemu. Kenapa harus ke sini? Kenapa harus bertemu Shanum?

“Ada apa? Kenapa tiba-tiba mengajakku bertemu? Ada hal lain yang ingin kamu katakan?” Shanum mengulang pertanyaan.

Beberapa detik berlangsung dalam keheningan, Rania akhirnya membuka suara. Suaranya terdengar pahit dan pilu.

“Aku hanya ingin minta maaf ... a-aku ... aku berpacaran dengan suamimu.”

Saat mengatakan itu, matanya tak lepas dari cincin Shanum. Wanita itu masih memakai cincin pernikahannya. Hal yang membuat Rania sadar bahwa dia bukan siapa-siapa di hidup Sabda. Setelah itu mata mereka kembali beradu. Seolah Rania benar-benar putus asa dan bingung harus bagaimana.

Shanum berusaha untuk mengerti apa yang gadis itu katakan, semua ini memang terdengar pahit dan Shanum masih setia mendengarkan kelanjutan ceritanya.

“Aku tidak bisa hidup tanpa pria itu, aku tidak tahu sebelumnya kalau dia sudah menikah. Lebih dari itu, dia bahkan sudah datang ke rumahku dan menghadap papa.”

Shanum menekuk kesepuluh jarinya di atas paha, meremat dalam tinjunya saat mendengar Rania mengucapkan seluruh rangkaian kalimat yang rasanya bekerja seperti kail pencungkil organ.

“Mas Sabda menemui ayahmu? Untuk apa?” Dia bertanya lagi.

“Hubungan kami sudah berjalan dua tahun, aku tidak tahu kalau kalian adalah suami istri. Waktu itu aku sudah meminta Mas Sabda untuk segera menemui papa dan menikahiku.”

Mendengar ucapan Rania, emosinya naik turun. Ternyata benar, apa yang Shanum dengar waktu itu mereka tak hanya sebatas liburan saja. Hati Shanum benar-benar sakit mengetahui fakta itu.

Rania juga tersakiti, dia masih tidak percaya kalau Sabda bisa sejahat itu padanya. Di sini bukan hanya Shanum yang merasakan sakit, Rania pun merasakannya. Bahkan dia tak tahu apa-apa.

Rania mengulum senyum. “Aku mencintainya. Sangat, tapi sekarang aku mulai berpikir, rasanya aku tidak bisa bertahan dengan pria itu lebih lama. Sekarang aku punya alasan kenapa aku harus meninggalkannya.”

Rania menengadahkan kepalanya dan tertawa tanpa suara. Dia mengambil napas sekali tarikan dan menatap Shanum. Seolah dia lega sudah mengatakan hal itu.

Kejujuran yang dipendam selama ini akhirnya bisa diluapkan pada seseorang.

“Kamu tidak mau menemani Mas Sabda lebih lama?” tanya Shanum memastikan. Dia terkejut mendengar gadis itu berkata ingin meninggalkan Sabda.

Sama seperti Shanum yang berkali-kali berniat meninggalkan Sabda dan menggugat cerai. Setiap malam Shanum selalu berpikir ‘apakah sampai akhir hubungan kami akan tetap seperti ini?’ tapi seperti yang semua orang lihat hari ini. Mereka masih bersama. Hubungan mereka belum masuk ke proses penceraian.

Rania menarik dua sudut bibirnya. Kali ini Shanum gagal menebak apa arti senyuman itu.

“Kamu wanita hebat, Mbak Shanum.”

“Begitukah?”

“Aku bahkan tak bisa membayangkan rasanya hidup bersama orang yang hanya bisa menyakiti,” tambahnya.

Shanum tidak tersanjung, baginya itu bukan hal yang pantas mendapat pujian. Shanum justru merasa menjadi perempuan bodoh karena sudah bertahan dengan pria yang sama sekali tak ada kemajuan apa pun selama menikah dengannya.

“Rania, bukankah sebelum berhubungan seharusnya kau tahu, siapa pasanganmu, seperti apa kondisinya, dan apa masa lalunya, kamu harus mengerti, ikatan pernikahan berbeda dengan pacaran yang bisa diputuskan seenaknya ketika bosan.”

“Jadi, ini salah satu alasan Mbak tetap bertahan, meskipun tak bahagia?”

Shanum menahan diri sejenak. “Jika hanya mencari bahagia, hidup saja melajang. Tujuan pernikahan bukan hanya tentang mencari bahagia. Pernikahan bukan hanya tentang cinta. Ada masa depan di dalamnya.”

Shanum tidak marah dengan Rania, dia bisa paham kenapa gadis itu bertanya demikian padanya. Shanum berusaha untuk menjelaskan.

“Pernikahan bukan tentang dua hati saja, tapi juga dua keluarga, dua kepala yang berbeda,” katanya, lalu dilanjutkan dengan nada setengah merenung ke dalam gelas milik Rania yang isinya hampir habis.

“Ayahku pernah mengatakan pernikahan itu berat. Hampir setiap hari dia terpikir, apakah dia bisa memperjuangkan pernikahannya sampai akhir, apakah kelak mereka bisa memiliki anak, apakah dia sanggup menjaga keluarganya, apakah mereka akan tinggal sehidup-semati, belum lagi memikirkan sumber pendapatan atau jaminan untuk keluarga. Terdengar mudah, tapi sulit dijalani. Sampai saat itu kamu takkan pernah menemukan seseorang yang cocok selain menerima mereka dengan tangan terbuka.”

Rania masih bungkam, Shanum terus melanjutkan kalimatnya.

“Rania, orang yang kau miliki sekarang, dia adalah suami orang lain. Dia orang yang pernah mengikrarkan janji suci di depan ayahku lima tahun yang lalu. Dia tidak sempurna, tentu saja. Namun, semua yang ada padanya sudah sesuai kriteria. Orang tuanya baik, mereka bahkan menyimpan harapan yang besar terhadapku, kiranya apa yang akan terjadi jika mereka tahu kami bercerai?”

Shanum hanya ingin memberi pengertian bahwa makna pernikahan tak sesederhana yang biasa dia lihat di FTV atau drama. Lebih dari itu dan memutuskan sesuatu tak semudah kelihatannya. Seharusnya Rania mengerti.

“Menurutmu, seperti apa pria itu? Suamiku, pria yang berselingkuh denganmu?”

Ketika Shanum bertanya mengenai hal itu, Rania menarik napas seolah tak mengerti kenapa Shanum bertanya. Bukankah dia istrinya, sudah pasti Shanum mengetahui jawabannya.

“Haruskah aku mengatakan hal ini, Mbak? Aku hanya takut menyakitimu.”

“Tidak akan.” Shanum tersenyum kecil. “Jelaskan saja.”

Rania menggigit bibir, tapi pada akhirnya dia menuruti perintah Shanum.

“Pria yang menjadi suamimu, adalah seseorang yang melihat bukan dari nilai. Namun, menjadikanku di atas standar. Seseorang yang peduli dengan kondisiku. Seseorang yang benar-benar mendengarkanku ketika berbicara, yang mampu mengingat hal-hal kecil yang kusebutkan dalam percakapan.

Seseorang yang akan memelukmu hangat ketika sedih. Seorang pria yang sanggup menahan rindunya agar dia tidak mengganggumu ketika istirahat, yang lebih senang meluruskan bukan selalu membenarkan, yang bersedia menghubungi ketika dia akan datang terlambat.”

Shanum tampak terperangah mendengar ucapan Rania. Sebaik itu Sabda memperlakukan gadis tersebut sehingga hanya kebaikan yang keluar dari mulutnya, mata Shanum memerah, entah kenapa Rania sedikit iba melihatnya.

“Mbak, dia tak pernah pernah meninggalkan seseorang kecuali seseorang itu memintanya. Sekarang dia layak mendapat seseorang yang ingin tinggal bersamanya dan mencintainya sepanjang waktu. Kurasa dia sangat mencintaimu, karena itu dia tak ingin kalian bercerai.”

Usai mengatakan hal itu, Shanum dan Rania kembali terdiam. Mereka benar-benar tidak bersuara. Entah sampai kapan keduanya akan terjebak dalam kehampaan seperti ini. Shanum pun tak menyangka akan benar-benar bicara dengan gadis yang Sabda cintai.

Segala aliran darahnya seperti berhenti di satu titik hingga membuat Rania menahan napas selama beberapa detik. Meski begitu, dia berpura-pura terlihat biasa saja saat wanita di depannya tersenyum dengan sorot tidak biasa.

Kini suara bising pengunjung kafe yang kerap menjadi penyebab kepalanya pusing tak lagi begitu terdengar. Satu-satunya suara yang paling berisik dan bergaung di telinga Rania hanya dari pikirannya sendiri.

Shanum tak bisa bergerak barang sedikit pun. Tubuhnya mirip kertas yang diremas dan dilempar ke lantai. Shanum terus memperhatikan wanita itu yang sedang tersenyum padanya.

Dia memang Rania. Duduk di depannya dengan senyuman manis dan anggun seperti biasa. Pantas saja Sabda jatuh cinta padanya.

“Kamu benar-benar mau mengakhirinya? Bukankah kalian saling mencintai. Jangan cemas, lagipula aku mungkin akan selesai dengannya tak lama lagi. Aku bisa hidup sendiri dengan bayiku nanti.” Shanum memulai obrolan karena Rania hanya terdiam sejak tadi.

Senyum Rania berubah begitu dia mendengar Shanum menyebutkan kata bayi. Pertahanan Rania semakin runtuh, hal yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Shanum hamil?

“Mbak, kamu hamil?”

“Iya, masuk usia tiga minggu.”

Perkataan Shanum membuat senyum Rania sirna beberapa detik. Serumit ini berhadapan dengan istri sah Sabda. Entah kenapa Rania merasa begitu jahat karena sudah membuat Shanum menderita, tapi dia pun tidak tahu apa-apa. Haruskah Rania merasa begitu bersalah padanya?

“Minumlah, barangkali bisa membuat perasaanmu membaik.” Shanum menyuruh Rania untuk minum karena wajah gadis itu tiba-tiba saja memucat.

Rania menyentuh minumannya. Dia benar-benar tak habis pikir dengan apa yang terjadi, kenapa hal ini bisa terjadi padanya. Sabda mau menikahinya di saat istrinya sendiri tengah hamil.

“Aku hanya menawarimu untuk minum. Tidak ada apa-apa di dalam kopinya. Aku tidak akan melukaimu, Rania. Tidak akan pernah bisa.”

“Mbak Shanum, kamu tentu masih ingat apa yang kukatakan, kan? Aku memang memintanya untuk memberi kepastian, tapi itu sebelum aku menyadari kalian sudah menikah.”

Shanum menghela napasnya sejenak. “Tapi sekarang kamu sudah tahu, kan? Dan aku juga tahu kalau kalian belum putus. Lantas, kamu pikir aku percaya begitu saja?”

“Aku tahu, aku cuma belum menemukan waktu yang pas untuk mengajaknya bicara. Aku terlalu takut,” katanya. “Tetapi yang temanmu katakan hari itu terus mengusikku. Semua tuduhanmu, perkataan bahwa aku mengencaninya karena harta semata, itu semua tak benar. Semuanya salah. Tuduhanmu salah, Mbak Shanum, jangan pernah mengecapku sudah berlaku jahat pada Sabda. Aku mencintainya karena suatu alasan, dan dia memahaminya.”

Shanum mengerti dengan keresahan Rania, dia akan menarik praduganya tentang hal ini. Rania memang tidak berharap apa pun kepada Sabda selain cinta. Namun, apakah cinta saja cukup?

“Bukankah kamu seolah-seolah mengatakan dia bisa memberimu apa saja?”

Rania menarik napas. Kelihatan tak berdaya dengan ucapan Shanum. Percuma saja dia mengubah suaranya semanis madu, atau membuat ekspresi selembut mentega. Shanum tidak akan terpengaruh.

“Jujur saja, aku mencintai semua tentangnya. Semua yang ada padanya. Bau citrus-nya, kehadirannya, mata polos berwarna cokelatnya. Perhatiannya yang selalu melimpah dengan kasih sayang.”

Mata Shanum berembun seketika. Bohong kalau dia tidak cemburu, segala hal yang Rania ceritakan. Itu sama ... sama seperti dia melihat Sabda.

“Caranya bersenandung hingga aku terlelap, membelai rambutku dengan jarinya yang indah, berbaring di tempat tidur yang sama denganku, kami sering bercerita mengenai pernikahan.”

Rania tidak bermaksud melukai Shanum, tapi dia hanya menjelaskan alasan lain kenapa dirinya mencintai Sabda, sama seperti istrinya sendiri.

Bolehkah Shanum menangis sekarang?

“Namun, pada kenyataannya kami harus sama-sama terluka. Mas Sabda sakit. Mbak Shanum, dan aku juga sakit. Ada yang tidak bisa kuterima dari hubungan ini. Aku akan memutuskan pergi darinya.”

Shanum menghapus air matanya dan menatap Rania lekat. Dia baru saja bersikap cengeng di hadapan kekasih Sabda. Ada jeda beberapa detik yang menyertai ucapan Shanum.

“Kamu mencintai suamiku?” tanya Shanum dengan berani, berusaha tegar dengan segala hal yang akan didengarnya. Meskipun agak menyakitkan.

Rania tampak terkejut dengan pertanyaan Shanum. Butuh waktu dua detik menunggu Rania menjawab ucapan wanita itu.

“Semua orang pasti mencintai kekasihnya, Mbak, tapi kurasa kami tidak bisa terus bersama, dan—“

“Tidak, aku bertanya apa kamu masih mencintai suamiku?” potong Shanum sekali lagi, sebab Rania menjawab tak sesuai keinginannya.

Rania hanya bisa terdiam sebentar, tak lama dia mengangguk.

“Masih. Itu yang selalu aku rasakan. Selalu sama.”


TBC.

Surga yang Terabaikan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang